Duapuluh Tujuh

824 73 14
                                    

"Senyummu dan tawamu adalah hal yang paling aku suka. Tapi kesedihanmu adalah hal yang paling ku benci."—Arbani Arthala Bramansyah.

***

Tetesan air hujan seolah menjadi perantara untuk menghilangkan kesedihannya. Hujan memang membuatnya sesak tapi hujan juga mampu menjadi perantara untuk menumpahkan segala kesedihannya.

Sepertinya musim akan segera berganti, hujan selalu turun dari sore hingga malam hari. Arka masih berada ditempatnya tak beranjak sedikitpun. Tetesan hujan sudah berhasil membuat tubuhnya basah kuyup dan juga kedinginan. Air matanya luruh menyatu dengan tetesan air hujan yang membasahi wajahnya.

Matanya menatap sendu batu nisan yang bertuliskan nama Rayfalia—gadis ciliknya.

Hujan, mereka dipertemukan ketika hujan deras mengguyur ibukota.

Flashback On

Sosok bocah lelaki nampak anteng bermain dihalaman rumahnya sambil menikmati hujan yang terus turun dengan derasnya. Perhatiannya teralihkan ketika melihat bocah perempuan yang berjalan dengan terseok-seok. Wajahnya dipenuhi memar, sorot matanya redup seolah tak memiliki harapan lagi.

"Kamu kenapa jalannya gitu?" teriak bocah lelaki itu agar bisa terdengar oleh bocah perempuan diseberang sana.

Bocah perempuan itu mendekat dan mulai memasuki halaman rumah sang bocah lelaki.

"Sakit." Kata itu terlontar dari bibir mungilnya yang terlihat bergetar menahan isakan.

"Apanya yang sakit?" tanya bocah lelaki itu setengah berteriak agar suaranya tak tenggelam dengan gemuruh hujan.

"Hatiku, badanku juga," jawabnya pelan. Bocah lelaki itu melangkahkan kakinya menuju sang bocah perempuan.

"Namamu siapa?" tanya sang bocah lelaki.

Sang bocah perempuan tampak sedikit berpikir hingga akhirnya menjawab pertanyaan bocah lelaki itu, "Rayfalia."

"Hai, Rayfa! Aku Arka," sapanya setelah berkenalan.

"Hai," balas bocah bernama Rayfa itu kikuk.

"Tadi katanya kamu sakit, mana yang sakitnya?" tanya bocah lelaki bernama Arka itu.

"Ini." Bocah perempuan itu menunjuk ke arah dadanya.

"Hati aku sakit banget karena mamah lebih sayang sama kembaran aku," lanjut Rayfa parau.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Arka bingung.

"Aku dan dia berbeda. Dia itu ramah banget beda sama aku yang suka ketus ke semua orang. Dia juga penurut dan periang gak seperti aku yang suka membantah. Aku juga sering dimarahin sama dipukulin kalau buat dia nangis, kata mamah aku itu nyusahin gak kayak kembaran aku," jawab Rayfa. Sorot matanya penuh luka.

"Terus kenapa kamu keluar pas hujan gini?" tanya Arka lagi.

"Aku mau kabur dari rumah. Udah gak kuat dipukulin terus sama mamah," jawabnya pelan.

"Mamah kamu galak, ya?"

"Iya."

"Rayfa...." panggil Arka lalu memandang bocah perempuan di hadapannya.

"Iya," sahut Rayfa balas memandang Arka.

"Kamu jangan sedih lagi, ya. Kamu mau gak jadi temen aku?" ujar Arka sambil tersenyum.

"Aku gak sedih kok. Mau banget," balasnya sambil tersenyum menampilkan lesung pipinya.

"Wah, kamu cantik banget kalau lagi senyum ada lesung pipinya," puji Arka yang kagum dengan senyuman Rayfa. Sedangkan yang dipuji hanya tersenyum malu-malu.

TAKDIR [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang