12. Sekolah🍁

7.4K 831 52
                                    

Versi kali ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Versi kali ini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Namun untuk ending, saya buat berbeda.

-Selamat membaca-

Pagi-pagi sekali, Rafael masuk ke dalam kamar Aliza. Berniat untuk membangunkan gadis itu. Dalam semalam Wiliam menyiapkan segala hal yang dia minta yaitu memasukkan Aliza ke sekolah umum. Kebetulan sekolah yang dipilihkan Wiliam adalah sekolahnya dulu. Memang benar, sekolah itu memiliki kualitas bagus. Akan tetapi tidak terlalu populer seperti sekolah-sekolah lain pada umumnya. Satu yang dia harapkan dari Aliza setelah masuk sekolah, menjadi lebih pintar. Anggap saja ini sebagai percobaan untuk merubah kehidupannya.

Tidak mungkin kehidupannya akan selalu seperti ini kan? Sudah waktunya dia menjalani kehidupan tanpa dendam. Dari pantauannya, keluarga Aliza sudah menyerah dan memutuskan untuk menghentikan pencarian Aliza. Mereka semua menganggap bahwa Aliza sudah tiada. Inilah kesempatannya untuk mengambil peluang. Bohong saja jika dia sudah melupakan apa yang mereka lakukan pada adiknya. Sampai kapan pun amarah ini masih tersimpan.

Perlahan dia duduk di tepi kasur dekat Aliza yang sedang tertidur pulas. Tangannya terulur menyentuh pipi gadis itu lalu ditepuk-tepuk pelan. Aliza tidak mungkin bangun hanya ditepuk-tepuk seperti ini. Tidur Aliza seperti orang pingsan. Suara teriakan atau hantaman benda sekalipun tidak akan membangunkan gadis itu.

Sadar dengan cara halus seperti ini tidak akan membangunkan Aliza, dia bangkit mencari-cari sesuatu yang setidaknya bisa membangunkan gadis itu. Sebuah pulpen berujung lancip berhasil dia genggam. Biasanya Aliza akan bangun jam setengah tujuh, tapi sekarang dia akan membangunkan Aliza dua jam lebih awal.

Rafael menempelkan ujung pulpen yang lumayan lancip ke telapak kaki Aliza. Sedikit menekan pulpennya sampai bagian sekitar pulpen menjorok ke dalam. Aliza melenguh, kakinya menendang-nendang kecil.

"Aliza bangun," titahnya lembut.

Kelopak mata Aliza terbuka, matanya membulat kaget tatkala melihat Rafael di sampingnya. Dia terkesiap dan bangun dari posisi tidurnya. Jantung Aliza berdegup sangat kencang. Matanya bergulir ke bawah tepatnya ke tangan Rafael yang sedang memegangi pulpen lancip. Takut, cemas dan panik berkerumun menjadi satu di dalam otaknya. Bertanya-tanya dalam hati kesalahan apa yang sudah dia perbuat. Seketika dia teringat pernah membuat Rafael marah dan Rafael menusuk telapak tangannya sampai berdarah. Hanya sebuah tusukan pulpen, tapi rasanya sangat menyakitkan.

"Ka-Kak? Liza, Liza kaget," ucap Aliza gugup.

Rafael bangkit, menatap Aliza datar. "Saya mempunyai hadiah untukmu."

"Hadiah?" beo Aliza. Pikirannya sudah berkeliaran ke mana-mana. Hadiah yang dimaksud Rafael itu apa? Apakah hadiah memang benar hadiah atau—sebuah hukuman.

Satu lagi, Rafael tidak dalam mode baik. Biasanya pria itu akan mengubah kata ganti orang pertama 'saya' dengan 'kakak'.

"Hari ini kamu akan bersekolah. Maka bersiaplah!"

Allovela [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang