16. Rafael Marah🍁

7.3K 752 50
                                    

"Hati yang keras akan melunak jika diberi sedikit kelembutan. Diam dan dengarkanlah, maka dia akan lelah sendiri dengan kekerasan hatinya. Saat melunak, barulah berikan penjelasan sejujur-jujurnya dan saat itu juga, masalah akan selesai dengan sendirinya.

-Aliza Raline-

Saat tengah malam, Aliza terbangun dari tidurnya. Suaranya hampir saja hilang, tenggorokannya sakit. Bahkan untuk menelan salivanya pun sangat susah sekali. dia tidak bisa menahan rasa sakit ini lagi. Rasanya benar-benar menderita. Ini kali pertama Aliza merasakan sakit seperti ini.

Aliza bangkit dari tempat tidurnya, dia berjalan keluar dari kamarnya. Lampu di ruang tengah dan sekitar kamarnya padam. Memang seperti ini, setiap malam hampir seluruh ruangan gelap.

Tangannya meraba di udara, mencari-cari jalan menuju kamar Bi Nilam. Sengaja Aliza tidak menyalakan satu pun lampu sebagai penerangan, dia tidak ingin membangunkan Rafael. Setibanya di depan kamar Bi Nilam, Aliza mengetuk-ngetuk pintunya pelan. Sedari mengetuk, dia juga menoleh ke kanan dan kiri memastikan semuanya baik-baik saja.

"Bi? Bibi udah tidur?" tanya Aliza setengah berbisik.

"Bibi? Bangun ...." Aliza menangis, mengusap air matanya. Ini semua gara-gara makanan itu. Mungkin semua makanan yang kelihatan lezat dan nyaman di mulut, tidak baik untuk dirinya. Selama ini dia tidak pernah memakan makanan seperti itu.

Pintu kamar terbuka, menampilkan wajah bantal Bi Nilam. Mata Bi Nilam membulat melihat majikannya menangis, berlinang air mata. Aliza memeluk Bi Nilam erat, menangis terisak di sana.

"Non kenapa? Mimpi buruk ya? Mau Bibi temenin sampe tidur?"

Aliza melepaskan pelukannya setelah itu menggeleng-gelengkan kepalanya lemah. "Liza ... tenggorokan Liza sakit. Aliza gak bisa nahan lagi, gak bisa buat nelen," keluh Aliza sedari mengusap-usap lehernya.

"Yaudah, Bibi ambilin air hangat dulu ya. Non tunggu di sini dulu," balas Bi Nilam lantas pergi meninggalkan Aliza.

"Bi Nilam!" panggil Aliza membuat langkah Bi Nilam terhenti dan membalikan badannya kembali. "Jangan bilang Kak Rafa ya? Dia ... dia pasti marah banget."

Bi Nilam mengangguk. "Iya, Non. Tunggu sebentar ya?" Aliza mengangguk menatap Bi Nilam yang sudah hilang dari pandangannya.

Aliza duduk di tepi kasur kamar Bi Nilam. Kasur yang tidak terlalu besar namun cukup nyaman. Tebal nan lembut. Dari dulu Bi Nilam mengurusnya sampai sebesar ini. Tidak heran, Bi Nilam sering diperlakukan khusus oleh Rafael. Misalnya, Rafael ikut serta membiayai sekolah anak Bi Nilam atau membelikan sesuatu untuk keluarga Bi Nilam.

Mulutnya mati rasa, dia masih tidak bisa menelan salivanya dengan mudah. Seakan ada dinding yang menghalangi arus tenggorokannya. Aliza tidak berhenti-berhenti menangis. Dia gadis yang amat sangat lemah dan cengeng tentunya. Menangis adalah andalannya.

Suara derap langkah kaki memenuhi indera pendengarannya. Tiba saja suara itu berhenti di depan pintu. "Non?" panggil Bi Nilam. Langsung saja Aliza mendongkak, menatap Bi Nilam sendu. Bi Nilam melangkahkan kakinya mendekati Aliza, tangannya memegang nampan berisikan secangkir air hangat dan sebotol madu. "Ini minum dulu, kalau bisa habiskan ya Non." Bi Nilam menyodorkan secangkir air hangat ke Aliza.

Aliza mengangguk, mengambil cangkir itu lalu meminumnya sampai habis. "Bi Nilam ... Bibi gak akan ngasih tahu Kak Rafa 'kan? Tolong, kali ini aja. Liza, Liza ...." Aliza menundukan kepalanya. Rambutnya terurai, menutupi wajahnya. "Aliza takut. Aliza bener-bener takut, aku mohon Bi. Nanti Liza gak boleh sekolah lagi. Liza ... Liza mau sekolah."

"Takut hm?"

Deg!

Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Tangannya bergetar, dia mengigit bibir bawahnya pelan. Suara itu? Dia tahu betul suara siapa ini. Takut-takut Aliza mendongkak, matanya langsung tertuju ke arah mata Rafael. Ya, orang itu adalah Rafael. Sepertinya, Rafael habis bangun tidur. Terdengar sekali suara serak dia tadi.

Tapi— ke mana Bi Nilam? Kenapa Bi Nilam tega meninggalkannya bersama Rafael. Jadi, dari tadi Rafael mendengar keluh kesahnya?

"Takut?" tanya Rafael sekali lagi.

Rafael mengambil sebotol madu di atas nakas. Dia sedikit menunduk, menatap Aliza dari bawah setelah itu menggendongnya bak karung beras. Aliza terpekik kaget, tangannya refleks mencengkram kaus belakang Rafael.

Aliza tidak berkomentar apa pun, dia pasrah dibawa Rafael entah ke mana. Dia rasa, Rafael membawanya ke kamarnya atau kamar Rafael. Ternyata pilihan Rafael jatuh pada kamar dia sendiri. Pria itu membuka pintu lalu menguncinya dari dalam.

Rafael menurunkan Aliza di atas kasur tebal berselimut hitam. Aliza tidak berani mendongkak sedikit pun, posisinya masih menunduk.

"Minumlah!" perintah Rafael menyodorkan tutup botol yang sudah terisi madu.

Dengan segala keberanian, Aliza mendongkak. Tangan bergetarnya dia paksakan terulur hendak mengambil tutup botol yang sudah dituangkan madu. Rafael berdecak, sebelum tangan kecil Aliza mencapai tutup botol pria itu langsung menuangkan madu ke dalam mulut Aliza tanpa aba-aba terlebih dahulu. Sontak saja Aliza terbatuk-batuk karena terlalu tiba-tiba.

Aliza menangis terisak, kedua tanganya mengepal berusaha untuk tidak menangis lebih kuat lagi.

"Berhenti menangis, Aliza. Itu menyebalkan di telinga saya. Rasanya tangisanmu ingin memancing sikap kasar saya kembali," ucap Rafael datar.

Kata ganti 'saya' sudah menunjukkan secara jelas, semarah apa Rafael saat ini.

Aliza membungkam mulutnya sendiri. Tangannya bergetar, air matanya luruh. Sakit dan takut telah memperadukan rasa malam ini. Dia berharap malam ini adalah mimpi buruknya. Sungguh, dia tidak mau Rafael marah.

"Saya sudah bilang, saya benci kamu sakit. Kamu makan apa di sekolah huh? Saya tahu, di rumah ini hanya makanan-makanan sehat dan terjamin kualitasnya."

Aliza mengusap air matanya, kepalanya sedikit mendongkak. "Aliza gak tahu. Aliza mau beli apa di sana. Maafin Aliza, tolong Kakak jangan nyuruh Aliza sekolah di rumah lagi. Aliza mohon," jawab Aliza memohon. Matanya sendu dan penuh harap.

Rafael terkekeh pelan, tangannya terulur mengusap kepala Aliza. "Tidurlah Aliza," titah Rafael menyuruh Aliza untuk tidur. Aliza diam, tidak menggubris perintah Rafael. Karena geram, ucapannya tak didengar Rafael mendorong tubuh Aliza hingga kepalanya terjatuh tepat di bantal empuk.

"Kak, Aliza minta maaf. Aliza mau sekolah."

Rafael diam, dia ikut naik ke atas kasur kemudian tidur di samping Aliza. Mata Rafael dan mata sendu nan berlinang air mata Aliza bertemu. Sebelah sudut bibir Rafael terangkat, menciptakan smirk yang menyeramkan.

"Bermimpi dulu ya, Dek. Besok kita bicarakan, sekarang tidur yang nyenyak."

"Kak Rafael," lirih Aliza.

"Hm? Masih sakit?" tanya Rafael dibalas gelengan oleh Aliza, "yaudah tidur. Memohonlah besok agar kamu bisa terus bersekolah."

"Kak Rafa ... Aliza mau terus bersekolah. Aliza janji! Aliza gak akan ulangin lagi. Kak Rafa boleh hukum Aliza... aku mohon," cicit Aliza.

Rafael menutup matanya. "Tidurlah Aliza. Atau Kakak bisa saja membukam mulutmu dengan kain," ancam Rafael tak membuka matanya.

"Ta-tapi Kak ... Aliza mohon."

Rafael membuka matanya geram. "Aliza Raline. Kakak tidak bercanda dengan ucapan Kakak. Ucapan Kakak betulan, kalau kamu masih berisik Kakak gak akan segan-segan bungkam mulut kamu. Sekarang tidur!"

Aliza menghapus air matanya, mencoba untuk tertidur. Bagaimana dia bisa tertidur saat keinginan bersekolah bisa saja pupus malam ini juga.

"Aliza mau sekolah," batinnya.

Allovela [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang