SELAMAT MEMBACA
***
Beberapa kilo meter dari tempat wisata kolam renang ada sebuah pantai yang sangat indah. Sebuah pantai yang jarang dikunjungi oleh masyarakat, bahkan sebagian dari mereka tidak mengetahui pantai ini. Banyak pepohonan lebat, pasir putih nan halus menggelitik kaki serta air laut yang biru jernih. Angin sepoi-sepoi menerpa wajah cantik Aliza. Sorot mata takjub terlihat jelas di wajahnya. Beberapa tahun mendekam di dalam rumah membuat Aliza menjadi gadis awam akan dunia luar. Sedikit dipertunjukkan keindahan alam, Aliza akan melompat-lompat kegirangan.
Rafael mengizinkan Aliza menyentuh air laut atau berlari-lari kecil di sekitar pantai. Dari arah kejauhan Rafael memandang Aliza. Gadis itu tampak senang sekali bermain air laut. Tidak ada orang satu pun di sini kecuali mereka, jadi tidak ada yang bisa mengambil Aliza darinya. Kalau pun Aliza kabur, dengan sangat mudah dia menangkapnya. Tidak! Aliza tidak akan bisa berbuat licik seperti itu. Otak Aliza sudah penuh dengan racun, gadis itu tidak akan bisa ke mana-mana. Ke mana pun Aliza pergi, sudah pasti Aliza akan kembali.
Kedua sudutnya mengembang, menampilkan senyuman tipis di wajah Rafael. Kedua tangannya terlipat di dada, pandangannya tak terlepas dari sesosok gadis kecil yang tengah asyik bermain air. Aliza sudah remaja, gadis itu sudah sangat besar tapi, entah mengapa dia masih menganggapnya bayi besar? Yang harus didampingi dan dididik dengan baik.
Rafael melihat Aliza sama seperti dia melihat Raline, adik kandungnya. Semakin lama tinggal bersama Aliza, semakin besar pula rasa takut kehilangan. Apakah hidupnya akan terus seperti ini? Berputar pada satu titik, di hidupnya hanya ada Aliza, Aliza dan Aliza. Senyuman di wajah Rafael tiba-tiba berubah menjadi seringai. Ini tentang hidupnya, dia yang mengatur dan menjalaninya. Dan— dia nyaman seperti ini.
Hari semakin petang, matahari sore semakin menggelincir ke bawah. Aliza masih senang berlari-lari dan melompat-lompat, membuat cipratan air membasahi rok di atas lututnya. Rafael sangat yakin sekali, saat dia menyuruh gadis itu berhenti bermain gadis itu akan mengeluarkan raut wajah kecewa.
"Aliza!" panggil Rafael membuat Aliza berhenti melompat kemudian menatap dengan tatapan bertanya. "Sudah hampir gelap, kita pulang sekarang."
Aliza diam sejenak, menatap sedih genangan air laut. Walau Aliza tak rela meninggalkan laut ini, Aliza tetap berlari mendekati Rafael. "Jangan sedih kayak gitu. Nanti kalau ada waktu, kita ke sini lagi," ujar Rafael berjongkok membersihkan sisa-sisa pasir di kaki Aliza.
"Aliza masih mau di sini," gumam Aliza. Pelan sangat pelan, dia berharap Rafael tidak mendengar suaranya.
Rafael terkekeh pelan. "Pulang ya?" Aliza membalas pertanyaan Rafael dengan anggukan. Pertanyaan yang konyol, mau Aliza setuju atau tidak pun Rafael akan membawanya pulang. Jika Aliza menolak maka Rafael akan menggeretnya atau paling tidak, mendapat tamparan. "Kita pulang sayang." Rafael menggenggam tangan Aliza, sebelah tangan kirinya menenteng sepasang sandal Aliza. Gadis itu berjalan tanpa alas kaki menuju mobil. Sengaja, agar kakinya bisa bermain-main dengan pasir.
***
Perjalanan menuju pulang, Aliza tertidur pulas setelah bercerita panjang tentang hari ini. Bagi orang mungkin hal biasa, tapi bagi Aliza hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Setelah sekian lama Rafael mengurungnya di dalam rumah, tiba-tiba gadis itu dikejutkan dengan keindahan alam yang luar biasa.
Sebelah tangan Rafael terulur, mengusap kepala Aliza lembut. Menatap wajah Aliza, ia jadi teringat soal permintaan Aliza tentang sekolah. Mengingat itu, refleks tangan yang semula mengusap kepala Aliza kini kembali ke kemudi mobil.
"Sekolah," gumam Rafael memikirkan kembali soal permintaan Aliza.
Kalau dipikir-pikir kembali, Aliza memang membutuhkan sekolah. Aliza butuh bersosialisasi dengan banyak orang. Wajah Aliza sewaktu kecil dan Aliza sekarang sangatlah berbeda. Tidak mungkin keluarga kandungnya langsung mengenali Aliza. Rafael menggeleng-geleng pelan, dia tidak boleh gegabah. Ikatan darah lebih kuat dari pengenalan wajah.
Sekolah memang bisa dilakukan di rumah, tapi bagaimana dengan kuliah? Mau tidak mau Rafael membiarkan Aliza keluar dari jangkauannya. Dia seharusnya mulai belajar mengawasi Aliza tanpa mengurungnya di rumah. Aliza tidak mungkin pergi darinya, dia sangat yakin hal itu. Buktinya saja saat ada orang yang ingin membantu Aliza untuk kabur, Aliza malah berontak dan kembali ke pelukannya.
"Aliza, Aliza, Aliza. Kenapa saya harus menuruti permintaanmu hm? Kenapa? Seharusnya saya membuatmu menderita bukan menciptakan kebahagiaanmu," ucap Rafael geram, menatap wajah polos Aliza seakan ingin mencekiknya sampai tiada.
"Mungkin karena saya sudah muak dengan suara tangisanmu Aliza. Saya ingin melihat kau tertawa bahagia sambil berlarian memeluk saya." Rafael terkekeh gila. "Saya akan mencoba untuk mengabulkan permintaanmu kali ini, Aliza."
***
Sesampainya di rumah, Rafael mengendong Aliza masuk ke dalam kamar berpintu putih. Dengan sangat hati-hati Rafael membaringkan tubuh Aliza di atas kasur. Dia mengangkat kedua kaki Aliza, membiarkan menggantung di sisi kasur. Rafael mengambil lap basah kemudian membersihkan kaki Aliza.
"Saya akan panggil Bi Nilam ke sini. Pasti kamu tidak nyaman tidur dengan pakaian penuh keringat." Rafael mengangkat kaki Aliza ke posisi semula.
"Selamat malam. Saya akan mengurus masalah sekolahmu malam ini juga." Rafael terkekeh lucu, mengusap wajah Aliza. "Sepertinya saya juga harus membuat perjanjian lagi. Kamu anak baik, anak baik tidak suka melanggar janjinya." Setelah mengatakan itu Rafael langsung pergi meninggalkan kamar Aliza.
Rafael membuka handphone-nya, mencari-cari nama kontak seseorang lalu menghubunginya. Dia berdiri, di depan kaca balkon utama. Tidak lama panggilan itu diangkat.
"Halo?"
"Halo Wiliam. Saya mau meminta bantuanmu."
"Ada apa Tuan Rafael? Bantuan apa yang sedang Anda butuhkan? Sebaik mungkin, saya akan membantu."
"Saya ingin bertanya, di daerah tempat saya tinggal adakah sekolah yang tidak terlalu terkenal namun bagus kualitas pendidikannya?" tanya Rafael pada si penelepon.
"Maaf sebelumnya Tuan. Sekolah untuk siapa ya kalau boleh saya tahu?"
"Adik saya, Aliza."
"Oh ya. Ada! SMA Tunas Bangsa 2, tidak terlalu terkenal tapi bagus masalah pendidikannya. Akreditasinya A juga, di sana saya mengenal kepala sekolahnya. Kalau Anda mau—"
"Boleh, persiapkan semuanya. Saya mau besok Aliza sudah bisa pergi ke sekolah."
"Be-besok? Bagaimana bisa?!"
"Saya sudah banyak sekali membantumu Wiliam Arzen, kenapa saya meminta bantuan hal kecil seperti ini kau banyak sekali mengeluh? Kalau kau tidak mau, tidak papa. Saya bisa mengurusnya sendiri."
"Eh, enggak bisa kok. Saya bisa! Saat ini juga saya akan mempersiapkan semuanya. Terima kasih karena Anda telah meminta bantuan pada—"
"Masalah ukuran baju seragam, saya akan mengirimkannya lewat pesan. Urus semuanya dengan sangat baik. Saya tidak mau ada kekurangan sedikit pun."
"Baiklah Tuan Rafael, saya janji saya tidak akan mengecewakan Tuan."
Tut
Rafael mengembuskan nafasnya kasar, menyimpan handphone kembali ke saku celananya. "Semakin cepat semakin baik. Saya tidak boleh egois sekali ini saja," ucap Rafael yakin.
TBC
Follow Ig @Sherinauci dan @storynauci
KAMU SEDANG MEMBACA
Allovela [TAMAT]
Novela JuvenilWarning! 16+ "Bagi Kakak kamu itu kayak kapas. Ringan dan mudah dihempaskan." Ini tentang Aliza sang gadis tertutup. Hidupnya tertutup begitu pula matanya. Diculik selama sembilan tahun membuatnya menyayangi sang penculik sebagai mana seorang adik...