7. Membunuhmu🍁

9.8K 901 37
                                    

Hal buruk yang tersusun di otaknya ternyata salah dan meleset. Dia pikir Rafael akan menggantungnya di sisi balkon atau— merendamnya menggunakan air sedingin es. Tidak, Rafael tidak sejahat itu, tapi—soal merendam, dia pernah merasakannya. Rafael tahu soal bubur yang dimasukkan ke kamar mandi. Untung saja, Rafael tidak sekejam dan seburuk dulu. Bukannya hukuman yang Aliza dapat, melainkan ajakan makan malam di luar. Andai saja tadi dia kabur, mungkin hukuman yang sedari tadi Aliza rancang akan jauh lebih buruk.

Rafael masih terlihat sangat kesal. Wajahnya menahan emosi, kedua tangannya menggenggam setir erat. Aliza merasa waswas, kapan pun Rafael bisa berbuat nekat. Bisa saja dia membenturkan kepalanya ke kaca atau dashboard, mencekiknya, menarik rambutnya? Aliza bukanlah ahli dalam membaca pikiran orang, dia tidak tahu apa yang sedang Rafael rencanakan.

Mencoba untuk tidak memedulikan Rafael, Aliza menatap ke arah jalanan lewat kaca samping. Aroma Petrichor menyengat ketika jendela sengaja dibiarkan terbuka oleh Rafael. Air hujan bercampur mengenai tanah yang kering, sungguh aroma ini sangat menenangkan.

"Saya suka aroma ini," kata Rafael sedikit mengendurkan kepalan tangannya di kemudi.

Aliza mengangguk kikuk. "Aliza juga suka." Aliza memberanikan diri menatap Rafael. Ekspresi pria itu kembali semula.

Suasana kembali canggung, Aliza menatap ke arah jalanan lagi. Dia melihat gemerlap lampu yang sangat indah, alunan musik tradisional mengalun sangat merdu serta penonton mengelilingi alun-alun kota Jakarta.

"Festival," ucap Rafael seolah tahu apa yang Aliza tanyakan dalam hati. "Kamu mau ke sana?"

Aliza menggigit bibir bawahnya pelan. "Emang boleh, Kak?"

"Enggak boleh."

Jika begitu, mengapa Rafael bertanya? Sementara jawabannya sudah terlihat di depan mata? Aliza menghela nafasnya kasar. Menyandarkan kepalanya di sandaran kursi mobil.

"Di sana ramai, saya tidak suka berdesak-desakan dengan orang lain."

"Tapi ...." Aliza diam sejenak, memandang Rafael takut-takut. "Tapi, Liza mau."

"Yeah, sekarang kamu berani membangkang?"

Aliza menggeleng ribut. "Liza enggak ... Liza cuma mau, enggak paksa Kakak buat ikutin kemauan Liza. Hm ... maafin Liza."

"Kamu tahu cerita tentang seorang anak mencuri boneka kayu?"

My Chikys, sebuah buku dongeng di mana tak ada satu pun pesan moral yang Aliza dapat. Sejak kecil, jika dia tidak mau tertidur Rafael selalu menceritakan cerita itu sampai berulang kali.

Aliza mengangguk kikuk. "Chikys manusia yang diubah menjadi sebuah boneka karena kutukan, kemudian boneka itu dicuri di sebuah toko boneka ternama di kota, oleh seorang anak laki-laki."

Kedua sudut bibir Rafael mengembang. "Saya suka mendengar kamu bercerita, lanjutkan."

"Anak itu tahu kalau boneka itu sebenarnya manusia, dia berusaha merawatnya sebaik mungkin. Tapi ... anak itu sering sekali mematahkan tangan atau kaki Chikys walau akhirnya dia menempelkannya ulang. Sebenarnya Chikys—" Aliza menatap Rafael takut-takut.

"Bahagia karena sudah ditolong oleh anak itu. Sayang sekali, Chikys tidak tahu berterima kasih. Setelah berubah ke wujud aslinya, dia malah pergi."

Aliza menelan saliva kasarnya. Rafael bercerita dengan penuh penekanan. Tatapan dan raut wajah Rafael menunjukkan ketidak-sukaannya pada sosok pemeran utama pada cerita dongeng klasik itu.

"Kamu jangan seperti Chikys ya, Dek. Kakak tidak suka," ucap Rafael.

"I-iya Kak. Lagian Kakak—"

"Yayaya, tidak seperti bocah itu," potong Rafael.

Allovela [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang