"Jika harus memilih antara api yang telah membakar namun menyadarkan dan air yang menyejukkan namun tidak bisa mengembalikan semuanya maka aku akan memilih masuk ke dalam api, walau aku akan terbakar nantinya."
-Aliza Raline-
Alano tak berhenti-berhenti memandang Aliza sambil tersenyum. Padahal guru sedang menjelaskan materi di depan, andai guru itu tahu Alano tidak memperhatikannya maka habislah Alano hari ini. Tuhan masih berada di pihak Alano ternyata, Febri—pria bertubuh gempal itu sengaja tukar tempat duduk untuk melindungi Alano. Beruntung sekali Alano memiliki teman peka seperti Febri.
Bryn memukul kepala Alano menggunakan pulpen, membuat Alano tersentak kaget. Bryn sudah muak dengan tingkah Alano, menyuruhnya untuk menjauhi Aliza tapi Alano sendiri malah mendekati gadis itu. Ini tidak adil, sepertinya Alano memang sudah menyukai gadis itu. Lebih baik Alano ketimbang dirinya. Alano mendapat 1 poin karena telah berhasil berteman dengan Aliza. Ya, walau pun kakak Aliza garang Alano masih bisa berdekatan dengan Aliza sementara dirinya? Tidak ada harapan. Dia sudah mendapat pandangan buruk dari mereka—Aliza dan kakak Aliza— waktu pertama kali bertemu.
Alano menatap Bryn datar. "Kenapa si, Brynplay? Lo cemburu 'kan gue udah bisa temenan sama Aliza?" ledek Alano menyombongkan diri.
Bryn berdecih. "Lo suka? Kenapa sih Al, lo tiba-tiba suka sama cewek? Biasanya 'kan lo gak pedulian soal cewek. Udah ya, biar Aliza sama gue."
Alano menunjuk Bryn marah. "Gue gak percaya sama lo ya, Brynplay. Lo itu suka mainin hati ciwik-ciwik. Aliza itu temen gue, udah seharusnya gue jauhin lo dari bidadari selembut Aliza." Alano melirik Aliza.
Febri memutar bola matanya malas, telinganya seakan panas sekali mendengar kebisingan. Memang telinganya sedang membutuhkan bahan pergosipan, tapi saat ini waktunya tidak cocok. Sedikit demi sedikit, dia menoleh ke belakang lalu memandang Bryn dan Alano dengan kilatan emosi. Bukannya berterima kasih, Alano malah menambah masalah dengan satu komplotannya.
"Diem bisa gak? Bu Pipit lagi ngajar," desis Febri.
Alano dan Bryn saling berpandangan, sedetik kemudian tertawa kecil. Sengaja, agar tidak ketahuan oleh guru. "Eh Fefeb. Udah diem aja ya, jangan bilang lo suka juga sama Aliza?" tuding Alano.
Febri sontak menggeleng. "Enggak! Enak aj—"
"Itu yang di belakang! Ngapain berisik-berisik!" teriak — guru Sejarah Indonesia—sambil menunjuk ke arah belakang, "Febri! Kamu lagi ngapain ngadep ke belakang? Muka saya ada di belakang emang?!"
Semua murid menatap ke arah meja belakang. Lebih tepatnya ke Febi, Alano dan Bryn. Febri menyengir, menunjukkan sederet giginya kemudian sedikit demi sedikit membalikkan tubuhnya kembali.
"Maaf, Bu. Mau pinjem serutan hehehe," dusta Febri mengambil serutan milik Bryn lalu mengangkatnya ke atas.
Bu Pipit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya sudah! Ibu sudah sebutkan kelompok tadi, minggu depan sudah mulai prestasi ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Allovela [TAMAT]
Ficção AdolescenteWarning! 16+ "Bagi Kakak kamu itu kayak kapas. Ringan dan mudah dihempaskan." Ini tentang Aliza sang gadis tertutup. Hidupnya tertutup begitu pula matanya. Diculik selama sembilan tahun membuatnya menyayangi sang penculik sebagai mana seorang adik...