Bagas terdiam di dalam mobil. Menyusun kepingan memori peristiwa penculikan adiknya. Entah kenapa benaknya memaksa untuk mengingat peristiwa itu. Betapa sakitnya, seseorang kebanggaan keluarga Abrisam harus pergi bersama penculik? Kenapa harus adiknya? Kenapa tidak dengan dirinya saja?
Tadi, saat dia melihat gadis itu dia jadi teringat sosok adiknya. Mungkin jika adiknya masih ada di sini, adiknya akan secantik dan setinggi gadis itu. Bagas menjatuhkan kepalanya di stir, membiarkan air mata berjatuhan di sana. Jangan katakan Bagas tidak merasa kehilangan, bahkan mungkin dia menjadi orang yang paling kehilangan dibanding Zella. Bagas terlihat kuat, dia tidak mau keluarga ikut sedih ketika melihat dirinya sedih.
Bagas membuka handphone-nya, menampakkan walpaper foto keluarga kecil Abrisam. Ada dirinya, Zella, adiknya, dan kedua orang tuanya.
"Key ... kamu di mana? Kakak rindu, apa kamu gak rindu sama Kakak? Kakak udah cari kamu ke mana-mana tapi kamu gak ketemu juga. Kakak tahu kok kamu masih hidup dan Kakak tahu kamu tumbuh cantik dan sehat di sana."
Bagas terdiam sejenak. Sehat? Cantik? Demi Tuhan semoga saja apa yang dia ucapkan benar. Semoga penculik itu telah binasa dan menitipkan adiknya di panti asuhan.
"Rafael," gumam Bagas datar, setelah itu kembali melajukan mobilnya.
***
Jantung Aliza berdebar-debar ketika matanya menangkap sebuah mobil Rafael terparkir asal di depan rumahnya. Kakinya yang sudah gemetar dipaksakan melangkah menginjakkan lantai rumah. Bagaimana bisa Rafael pulang lebih awal? Jika dia melihatnya baru pulang maka habislah dirinya. Ditambah Rafael baru pulang, pria itu pasti sangat lelah dan bisa saja emosinya melonjak saat itu juga.
Baru saja alas sepatunya menginjak batas pintu, suara deheman seseorang mengagetkannya. Tubuhnya semakin gemetar, kepalanya tak mampu untuk menoleh atau pun mendongkak.
"Baru sehari, tidak! Baru beberapa jam Kakak tidak ada di rumah dan kamu enak-enakan keluar. Seneng-seneng sama temen-temen baru kamu," sindir seseorang membuatnya merinding. Dingin, datar dan penuh penekanan. Dia tahu betul suara siapa ini, "bukannya sambut saya yang lelah ini tapi kamu malah membuat saya menunggu? Brengsek!"
Aliza diam tak berkutik, yang dia lakukan hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba, seseorang menarik rambutnya membuat wajahnya mendongkak dan kini, tatapan tertuju pada Rafael. Wajah Rafael memerah, urat-urat di leher menonjol. Rafael sedang marah, ya! Pria itu sedang marah besar. Karena takut, Aliza menutup matanya.
"Saya akan mengurungmu kembali. Berdiamlah di kamar seperti dulu, Aliza. Buat saya tenang."
Aliza menangis tersedu-sedu. Ini yang Aliza takuti selama hidupnya. Bukan hantu atau orang lain, dia hanya takut pada satu hal yaitu kemarahan Rafael.
"Kak, sakit, ampun ... Aliza minta maaf. Pak Jae gak jemput Aliza jad—"
"DIAM! Diam kamu Aliza! Saya benar-benar murka! Kemari, saya akan buat kaki kamu lumpuh. Biarkan saja, saya senang lihat kamu diam di rumah!" Rafael menarik Aliza lalu mendorongnya kuat sampai tubuh Aliza tersungkur di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Allovela [TAMAT]
Novela JuvenilWarning! 16+ "Bagi Kakak kamu itu kayak kapas. Ringan dan mudah dihempaskan." Ini tentang Aliza sang gadis tertutup. Hidupnya tertutup begitu pula matanya. Diculik selama sembilan tahun membuatnya menyayangi sang penculik sebagai mana seorang adik...