22. Langkah Awal

3.7K 333 38
                                    

Setelah beberapa hari dirawat dirumah sakit, Aresha sudah diperbolehkan pulang.

Tetapi keadaannya tidak baik-baik saja, bahkan Ia enggan untuk mhakan karena masih trauma akan hal itu.

"Sha... makan yuk?" ajak Alka memasuki kamar Aresha.

"Makan darah?" tanya Aresha menyandarkan kepalanya dibalkon kamarnya.

Alka menggeleng dan tersenyum miris. "Makan nasi, yuk. Kamu belum makan, nanti sakit lho."

Sejak hari itu, Aresha berubah. Tidak ada lagi Aresha yang mereka kenal, dan Dokter mendiagnosis Aresha, bahwa mentalnya sedikit terganggu akibat stress dan trauma dari kepala kucing itu.

"Sakit kayak kepala kucing itu?" tanya Aresha lagi.

Alka mendekap tubuh Aresha. "Bukan, adeknya Abang."

"Nggak mau jadi kucing," Aresha menggeleng kuat.

Tubuh Alka bergetar, ia tidak kuat melihat keadaan mental adiknya.

"Bukan... bukan jadi kucing, sayang." Isakan kecil keluar dari bibir Alka.

Aresha melihat air mata yang keluar dari sudut mata Alka. "Ini darah? Ih, sana!!!!!!!" Aresha mendorong tubuh Alka, lalu berlari keluar kamar.

Saat didepan kamar, Ia bertubrukan dengan Farell.

"Kenapa Sha?" tanya Farell khawatir.

"Banyak darah, diam. Nanti kepala kucingnya datang." Aresha menaruh jari telunjuknya dibibir Farell.

"Shaa..." ucap Alka dari belakang Aresha.

Aresha terperanjat kaget, Ia menggendongkan dirinya ke Farell. Dengan sigap, Farell langsung membawa Aresha kedalam gendongannya.

"Dia punya kucing banyak. Suruh dia pergi!!!!!!!!!" jerit Aresha.

Keluarga Aditama langsung menghampiri mereka karena mendengar jeritan Aresha.

"Kenapa ini?" tanya Bara panik.

"Sutttttttt... nanti hantu kepala kucing itu datang, jangan berisik," ucap Aresha.

"Sha... makan yuk sama Papa, kamu belum makan dari pagi, lho."

"Makan kucing?" tanya Aresha.

"Makan nasi dong, cantiknya Papa. Ayok sini." Hendak Bara mengambil alih gendongan Aresha, namun Aresha dengan cepat turun. Ia bersembunyi dibalik punggung Bara.

"Nasinya nggak diambil kucing kan?" tanya Aresha sambil melirik Listy sekilas.

"Nggak. Nggak ada kucing kok disini, tenang aja," ucap Key.

Bara menuntun Aresha ke arah meja makan, diikuti mereka.

"Ini kucing?" tanya Aresha menunjuk ayam goreng.

"Bukan, itu ayam," dengan sabar Farell menjawabnya.

"Ada kepalanya?" tanya Aresha lagi.

"Nggak."

"Ada darahnya?"

"Nggak."

Aresha beroh ria. "Aku nggak mau duduk dikursi ini. Nanti kucingnya bisa datang."

"Terus mau duduk dimana? Dipangku sama Papa?" tanya Bara.

Dengan cepat Aresha menggeleng. "Dimeja boleh?"

"Boleh kok, sini duduk dimeja."

Mereka menggeser piring yang berisi lauk pauk itu untuk tempat Aresha makan.

Aresha sengaja menghadap ke Listy, melihat dengan jelas bagaimana raut kesal diwajah Listy.

"Kamu makan kucing?" tanya Aresha pada Listy.

"Nggak. Kakak makan ayam," jawab Listy.

"Ayam itu kucing! Kan suara ayam itu meong..." balas Aresha melemparkan sendok besi ke arah Listy.

"Awwhhh..." ringis Listy.

"Maaffin anak Mama ya, Lis," ucap Key tidak enak.

Listy tersenyum kecut dan mengangguk.

"Sasha, suara ayam itu bukan meong," ucap Arvi sabar.

"Kamu kucing!?" tanya Aresha kaget.

"Bukan, ini Abang. Abangnya Sasha, Arvi."

"Tadi kamu bilang meong!"

"Sasha juga bilang meong kok," ucap Gavin.

"Hahhh?? Mana meongnya!? Suruh pergiiiiiiii." Aresha menghentakkan kakinya dimeja makan itu.

"Aku nggak mau disini. Banyak kucing  yang bersuara meong, aku mau ke kamar aja," ucap Aresha lalu berlari ke arah kamarnya.

Tidak lupa mengunci pintu berwarna putih itu. Aresha langsung menyibakkan selimutnya, menutup dari ujung kepala sampai kaki.

Dibalik selimut, Aresha bersorak gembira. "Lahngkah awal, berhasil! Yessssss!!"

Aresha terkikik geli. Mengingat dirinya yang pura-pura menderita gangguan mental itu.

"Gue sendiri yang bilang ucapan itu doa, tapi gue juga yang langgar ucapan gue. Ah masa bodo, toh gue juga sering ada stress, depresi. Itu juga gangguan mental kan?" tanya Aresha ada dirinya sendiri.

Aresha(Tersedia di Google Playstore/Playbook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang