05. Beginning

81 17 1
                                    

Aku terbangun lebih pagi daripada biasanya, dan berjalan turun ke lantai bawah. Dugaan ku tepat, mereka bertengkar kembali tadi malam. Tapi syukurlah tidak ada genangan darah seperti biasanya, hanya beberapa barang yang pecah dan berserakan di lantai. 

Tanganku mulai membersihkan semua kekacauan ini. Hingga aku terdiam memandangi foto--yang sepertinya telah disobek--berserakan di bawah kakiku. Aku memungutnya dan menyimpannya ke dalam saku, akan ku beri selotip nanti.

Aku lelah.

Ini sudah yang kesekian kali. Setiap mereka bertemu rumah akan menjadi seperti ini. Selalu ada teriakan, barang pecah, bahkan darah. Tak jarang juga mereka melampiaskannya padaku.

Iya, luka di kakiku juga disebabkan oleh itu.  Tapi jangan bilang pada Candra ya? Dia bisa marah padaku.

Sebentar--

Ponselku bergetar, pertanda ada panggilan masuk.

"LO BERANGKAT SENDIRI YA NYET! PERUT GUE SAKIT MAU BOKER DULU"

Panjang umur sekali, baru saja namanya disebut.

Aku hanya mengumam mengiyakan dan menutup sambungan. Setelah menutup pintu dan menguncinya dari luar, aku menaiki angkot untuk berangkat ke sekolah.

Ponselku bergetar kembali, kali ini ia mengirimiku pesan.

Candra : TUNGGU DILUAR RUMAH, BERANGKAT SAMA HARSA! UDAH GUE BILANGIN KOK! NTAR GUE NYELIP WAKTU ISTIRAHAT PERTAMA UDAH SELESAI. SEKARANG GUE MAU SARAPAN. BYE!"

Aru : TELATT, GUE DAH NAEK ANGKOTT

Candra : NANTI KABARIN GUE PAS UDAH ISTIRAHAT OKE!

Aru : LU BOLOS MULU EMANG ANYING!!

Aru : IYE GUE KABARIN NYET.

Akhirnya angkot yang aku naiki sampai didepan sekolah.

Aku mulai menuju kelas dengan wajahku yang tertunduk. Bukannya tidak mau menyapa teman-teman yang lainnya. Hanya saja aku tidak mengenal mereka.

Sebenarnya aku ingin mempunyai teman yang banyak seperti Candra, ah ralat. Mempunyai kepribadian seperti Candra, yang dengan mudahnya bisa mengakrabkan diri dengan orang baru.

Tapi aku tidak bisa. Terlalu sulit.

Candra selalu menyuruhku untuk mencoba mencari teman. Tapi hasilnya nihil. Aku selalu gagal untuk berteman lagi.

Berbeda dengan Candra, yang sampai ibu-ibu kantin, tukang kebun, bahkan mamang satpam pun akrab dengannya. Mungkin aku memang sudah tidak bisa. Atau aku saja yang tidak mau?

Apa mungkin aku sudah sangat bergantung kepada Candra hingga ia menyuruhku untuk berbaur dengan yang lain?

Aku tahu dia bermaksud baik, agar aku tidak kelihatan menyendiri seperti ini. Karena kelihatannya sangat tidak sinkron jika siswi penyendiri sepertiku bersahabat dekat dengan seseorang seperti Candra.

Bayangkan saja, ketika kami bersama awalnya orang akan menilai aku mempunyai sifat yang sama seperti Candra. Tapi ketika aku sendirian, mereka bisa melihat bagaimana sifat diriku yang asli.

Penyendiri dan pemalu.

Bahkan ketika akan dibagi kelompok belajar aku selalu tidak mendapatkan teman. Hanya Candra. Disekolah pun aku duduk bersampingan dengannya. Jika Candra tidak ada, aku seperti anak buangan. Tidak ada yang menganggapku.

Sebesar itu pengaruhnya dalam hidupku.

....

BagaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang