10. Pain

59 13 0
                                    

Aku meringis.

Tanganku dengan telaten menuangkan antiseptik pada kapas dan mengoleskannya pada kulitku yang terbuka. Cairan merah tidak henti-hentinya merembes dari sana.

Ditambah lagi dengan tempat lukanya yang tergolong sulit untuk kubersihkan sendiri. Aku sampai harus berdiri didepan kaca agar dapat membersihkannya dengan baik.

Aneh, darahnya masih terus keluar.

Akhirnya aku berinisiatif untuk mengompresnya dengan es batu, semoga saja cairan berwarna merah itu cepat berhenti keluar.

Setelah kurasa sudah benar-benar bersih aku menutupnya dengan perban dan perlahan berbaring di atas kasur.

Seharusnya tadi aku memang tidak turun di daerah dekat rumah. Ah, seharusnya bahkan aku tidak meminta tumpangan pada Harris dan Haidar. Karena ketika aku sedang berada di trotoar  tanpa sengaja aku berpapasan dengan ayah.

Dengan kasar ia menyeretku ke dalam rumah, dan kalian bisa tahu  bagaimana akhirnya.

Aku memandang langit-langit kamar dengan sendu, kata-kata Kanara tampaknya melekat dalam pikiranku. Aku segera menggeleng, menepis semua kemungkinan-kemungkinan yang bergejolak dalam kepalaku. Aku terkekeh pelan.

Candra saja sudah cukup buatku.

Sepertinya,

....

Sejak tadi malam aku belum mendapat kabar apapun tentang pemuda bernama akhir Bagaskara itu. Ia seperti hilang ditelan bumi begitu saja. Candra tak membalas satupun pesanku atau menjawab telepon dariku.

Aru : can?

Aru : lo nggak mati kan?

Aru :  atau belum mati?

Aru :  lo dimana woi?

Aru :  jawab ga?

Aru : kalo ga jawab juga gapapa sih,

Aru : gue cuma nanya doang.

Aru : kok mbak-mbak operatornya bilang nomor lo berada di luar jangkauan?

Aru : hp lo mati?

Aru : oiya bodoh, kalo hp lo mati lo juga gak bisa bales pesan gue ya?

Aku jadi khawatir,

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, entah hanya ingin saja. Aku lupa kapan terakhir kali aku pergi ke rumah sakit untuk check up, atau baru kemarin?

Karena orang yang selalu mengingatkanku untuk check up sedang latihan mati suri sepertinya. Tiba-tiba aku merindukan omelan Candra sekarang.

Dokter mengatakan padaku kalau luka yang kudapatkan kemarin cukup dalam dan mungkin akan lama masa pengeringannya. Belum lagi ditambah luka-lukaku yang belum sembuh sebelumnya.

Ia beberapa kali menasehatiku, entah aku tidak terlalu mendengarkannya. Pikiranku sedang melayang entah kemana.

Kepalaku hanya mengangguk seiring dengan penuturan dokter padaku. Setelah beliau selesa dengan penjelasannya, aku  keluar dari ruangan tersebut dan memutuskan untuk berjalan mengitari rumah sakit sebentar.

Namun, pengelihatanku menangkap beberapa sosok yang sepertinya tidak asing. Itu memang dia, tapi kenapa ia mempunyai banyak luka?

"Candra?"

"Aru? Lo ngapain di rumah sakit?"

Kulihat tiga orang disamping Candra juga menatapku bergantian. Haidar, Harris, dan Kanara. Mereka bertiga tampak, eum kacau? Sepertinya begitu. Aku terfokus menatap tangan Candra.

Tangannya sedang terbalut perban.

"Lo belum jawab, lo ngapain disini Ru?" Candra menatapku dengan intens.

"A-ahh eumm anu, g-gue habis check up,,,elo sendiri ngapain disini?"

Candra terkejut, "Check up? Sejak kapan? Kok gue gatau? Mereke ngebuat lo luka lagi? Jawab Ru!"

"A-anu,, eum itu,,,," aku tergagap.

"Bilang yang jelas, elo kenapa?"

"Elo sendiri kenapa bisa disini?" aku mengalihkan pertanyaan karena terlalu ingin tahu apa yang terjadi kepada pemuda ini.

Ia mengangkat tangan kanannya yang sedang diperban "Tangan, tangan gue luka. Elo kenapa woy? Jawab gak?" desaknya.

"Loh? Kok bisa?!"

"Ngelindungin gue, kenapa?"

Bukan, bukan Candra yang menyahut. Tapi gadis yang sedang berdiri di sampingnya lah yang menyahuti pertanyaanku dengan pertanyaan, bukan jawaban.

Kedua alisku mengkerut, nadanya terasa seperti..eum sedikit sombong? 

Kenapa aku merasa gadis ini selalu berhubungan dengan Candra akhir-akhir ini? Sebenarnya ia ini siapa sih? Aku jadi penasaran dengannya.

"Elo kenapa emangnya?" tanyaku dengan nada datar.

Matanya melirik Candra lalu kembali menatapku dengan agak--sinis kurasa "Tanya aja sama sahabat lo satu itu" setelah mengatakannya ia pergi menyusul Haidar dan Harris yang telah pergi terlebih dahulu setelah menyapaku.

"Kanara kenapa? Tangannya juga luka-luka, kalian habis ngapain sih?" cercaku.

Pemuda di depanku tertawa renyah,"Lukanya karena,

"Rahasia dong hahahaha lo kenapa kepo sih hahaha?" Aku merunduk, sepertinya ia memang berniat menyembunyikannya dariku. 

"Ah, oke. Maaf."

"Lah malah pundung? Ayo gue anterin balik."

"Eum, engga deh Can. Tangan lo juga masih sakit." Tolakku halus. Karena sedari tadi aku merasa tidak enak. Entah hanya firasatku saja atau bagaimana namun yang jelas aku merasa ada sesuatu yang aneh yang sedang berusaha disembunyikan Candra dariku.

"Gue gak bawa kendaraan sendiri kok, ayo mereka udah nungguin noh!" Ia menujuk ke arah tiga manusia yang bersamanya tadi. "Engga deh Can, gue masih ada urusan. Makasih ya tawarannya."

Candra menatapku dengan penuh selidik, kedua tangannya--yang satunya masih terbalut perban-- menempel di kedua pipiku. Ia menggerakkan wajahku ke kiri dan ke kanan secara bergantian. "Lo kenapa jadi aneh gini? Lagi pms ya? Mau gue beliin apa? Sebut aja nanti gue kirimin oke, besok sekolah gue jemput."

Aku menggeleng, tak ingin apa-apa dari Candra. "YA BESOK GUE JEMPUT KAYAK BIASANYA OKE FIX!" Dia ini tak kenal tempat tiba-tiba berteriak dengan begitu kencang. Dikira ini lapangan apa? 

Bahkan banyak pengunjung yang sudah memperhatikan kami. Bisa-bisanya ia berteriak saat berada di rumah sakit, aku sungguh tak paham dengan pemuda satu ini.

"IYE CAN IYE SERAH LU DAH"

Ia mengacak rambutku pelan "GITU DONG NGEGAS, JANGAN LOYO TERUS. TERUS PIPI INI SAMA YANG SATUNYA HARUS DITARIK BIAR CANTIK. BWAHAHAHAHAHA TAPI JADINYA JELEK BANGET."

Tangannya melambai padaku dan ia meninggalkanku sendirian dengan wajahku yang mulai memerah. Aku pun berbalik ke ruangan bunda dengan senyuman yang masih tercetak jelas di wajahku. Sepertinya aku mulai gila.

Ingatkan aku untuk mengguyur mukaku nanti.

....

BagaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang