Bab 3

16.5K 1.1K 86
                                    

Satu minggu lebih dari dokter Hendra meminta nomor ponselku, dan malam ini di saat aku menikmati secangkir kopi susu dengan martabak manis, dan di hadapan ku terpampang wajah oppa Kim Soo Hyun.

[Sinta sudah tidur?]

Hari ini adalah hari sabtu dan untuk poli dokter Hendra sabtu minggu libur, maka aku bisa bersantai dua hari, dan yang biasanya aku akan pulang kerumah hari ini sengaja tak pulang karena minggu lalu aku sudah pulang.

[Belum dokter]

[Sini merapat ke cafenya Hendra]

Kulihat memang baru pukul delapan kurang, dan penyakit malas gerakku sedang kambuh, bahkan aku membeli martabak manis saja memesan melalui ojek online.

Tapi ini bukan ajakan biasa ini merujuk perintah dari seorang atasanku langsung, sehingga membuat ku segera bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti baju.

Bukan jam kerja, cukup kukenakan celana jeans dan kaos pendek membawa tas selempang kecilku, serta memaki sendal berjalan menuju tempat parkir kos, mengeluarkan motor yang sedari pagi tak kugunakan.

Sebenarnya berjalan kaki untuk keluar gang tak begitu capek, hanya saja di tambah menelusuri trotoar yang lumayan memakan waktu sepuluh sampai lima belas menit jika aku berjalan kaki dari tempat kos menuju cafe milik Mas Hendra, yang mana seperti yang kukatakan tadi penyakit ku sedang kambuh.

Kurang lebih lima menit aku sudah menakutkan motorku, masuk kedalam cafe yang terlihat begitu ramai di sabtu malam minggu seperti ini berisi para remaja.

"Sin"

Lambaian tangan dokter Hendra, membuat ku tahu keberadaan beliau duduk di sebelah mana.

Jangan lupakan kebiasaan yang selalu kubawa hingga saat ini, mencium tangan beliau ketika pertama kali berjumpa.

"Sin berasa tua banget, loe cium tangan segala"

"Kebiasaan, dokter kan lebih tua dari Sinta jadi harus hormat"

Menanggapi dengan tersenyum dan mengangguk kemudian menyerahkan buku menu kearah ku.

"Gue traktir malam ini"

Cukup mengerti keuangan anak muda seperti ku yang mana, masih baru sebulan menjadi pegawai tetap dan masih memiliki tanggungan cicilan motor.

"Rezeki di larang di tolak kan Dok, Sinta pilih yang mahal lah"

Tak ada akhlak memang diriku ini kalau menyangkut sesuatu yang gratis, tetapi ya cukup bercandaan semata.

Mengobrol bersama dokter Hendra sambil menunggu pesanan datang, dengan segala macam pertanyaan yang di ajukan dokter Hendra padaku, mulai dari asal sekolah hingga orang tua ku.

Hingga akhirnya aku baru tersadar jika Mas Fajar sedari tadi belum ada bersama kami, bahkan di cafe pun dirinya belum terlihat.

"Fajar masih perjalanan kesini, jemput isterinya dulu"

Penjelasan dokter Hendra yang sebelumnya aku hendak menghubungi mas Fajar, karena masih terasa aneh aku duduk hanya berdua dengan dokter Hendra di luar masalah pekerjaan, apalagi status beliau yang seorang duda beranak satu.

"Kapan-kapan kalau ke Bandung, boleh dong mampir kerumah"

"Silahkan Dok, tapi rumah Sinta mah jelek"

"Loe sudah ada rumah?"

Pertanyaan dokter Hendra membuat ku menggeleng karena memang aku belum memiliki rumah sendiri.

"Rumah orang tua kan? Dosa loe ngehina hasil jerih payah orang kue loe"

Benar juga, sama saja aku menghina rumah yang di bangun dengan hasil jerih payah mama dan papa, bukankah seharusnya aku sudah bersyukur akan semua fasilitas yang di berikan orang tua ku.

Pesananku telah terhidangkan, bersamaan dengan Mas Fajar yang telah tiba bersama sang istri.

"Sin, dapat salam dari dokter magang yang di ruang anak"

Kak Nilam isteri mas Fajar berucap santai kepada ku di depan dua laki-laki yang setiap harinya bekerja satu ruangan denganku.

"Yang mana Kak?"

Jiwa jombloku girang mendengar ada salam dari seseorang yang kurasa adalah seorang laki-laki dewasa, bukan lagi anak-anak.

"Bentar"

Kak Nilam merogoh tas untuk mengambil ponsel milinya, mengotak atik sebentar kemudian melihat kan layar ponsel kepadaku, dimana sebuah akun Instagram seorang dokter muda yang lumayan keren.

"Ganteng sih, cuma ibunya kayak ibu mertua kak Nilam enggak?"

Mas Fajar terbahak-bahak, begitu pun dengan sang isteri yang kurasa sudah di beri tahu akan curhatanku yang gagal menikah dengan seorang doker muda, yang dahulu bekerja dengan ku di salah satu puskesmas di Bandung, dimana tempat ku dulu mengabdi setelah lulus sebagai tenaga honorer.

"Kagak tahu gue kalau itu, tapi mertua gue emang the best"

Ucapan kak Nilam membuat ku mengerucut bibir ku, seolah kecewa akan keadaan jika hanya dirinya yang beruntung memiliki ibu mertua yang begitu baik.

Dokter Hendra meskipun tak tahu apa yang kita obrolkan, tak akan banyak bertanya ini itu, karena memang tipe seorang laki-laki yang tak begitu ikut campur urusan orang lain.

"Dok, loe tahu enggak nih si Sinta, di tolak calon ibu mertua nya karena kurang cantik"

Terlihat terkejut dengan sedikit melotot kearah ku, kemudian beliau baru berkomentar akan apa yang di katakan Mas Fajar.

"Buram apa? Gini kurang cantik"

Mas Fajar masih saja terkekeh, bersama sang istri, berbeda dengan ku yang lebih diam berpura-pura kesal, meskipun dalam hati memang kesal jika menginggat perkataan mama dari mantan kekasih ku.

"Kurang cantik pekerjaan dan uangnya katanya"

Sedikit serius, Mas Fajar menceritakan apa yang tempo hari kucurhatkan padanya masalah mantan kekasih ku, ketika sang mantan yang tiba-tiba datang mencari ku dan aku kabur dari rumah sakit dengan bantuan Mas Fajar yang sebelumnya sudah kuceritakan masalah dan status kami.

"Masih ya ada orang seperti itu"

Tetapi kemudian dokter Hendra terdiam dan mengangguk, kemudian membuka suaranya ketika aku mengatakan siap orang tua yang menolak ku, dan ternyata beliau saling mengenal yang mana dokter Hendra satu almamater dengan sang papa dari Rafli, mantan kekasih ku yang kini masih menjadi dokter umum, dan sedang menempuh pendidikan spesialis.

"Itu jangan dibilang, mama nya Rafli mah memang gitu, tanya deh sama dokter Sachi pernah berantem tuh"

Kami bertiga yang berada di hadapan dokter Hendra kompak terkejut, kemudian kembali dokter Hendra menjelaskan.

"Si Aci mah risih sama orang sombong suka pamer, pas kita masih pada muda dulu Aci tuh preman"

Dengan terbahak-bahak mencairkan suasana dengan mengejek sang sahabat, dan tentunya kami semua ikut tertawa.

"Jangan ngadi-ngadi Dok"

"Ngeyel kalian, Aci nusuk orang saja pernah"

Kembali kami semua terkejut, rasanya tak mungkin beliau seperti itu tingkat kenakalan nya semasa muda.

"Enggak percaya? Beli tuh novel nya yang berjudul Jodohku Duda"






Tbc

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang