Bab 2

18.3K 1.1K 32
                                    

Satu bulan telah terlewati menjadi asisten dokter Hendra, jika pagi bisa bersantai di tempat kost, karena jam kerja di mulai siang hari, dan pulang kerja yang kadang tak begitu malam, karena tergantung jumlah pasien, cukup santai bagiku dari pada sebelumnya yang bertugas di IGD.

Hari ini waktunya gajian, list barang yang ingin kubeli sudah berjejer rapi dalam otaku, tapi tunggu cicilan untuk bayar motor , bayar sewa kost, hingga beli token listrik harus kudahulukan.

Aku memang bukan lahir dari keluarga kaya raya yang tinggal bilang langsung tercapai, ayahku seorang pegawai kelurahan, sedangkan ibuku seorang perawat di salah satu puskesmas di Bandung, dimana aku anak pertama dan memiliki dua adik yang satu masih menjadi mahasiswa dan si bungsu masih berada di bangku sekolah menengah pertama, masih banyak biaya yang di butuhkan orang tua ku untuk pendidikan adik-adik ku.

Gaya hidup tinggal di ibukota, di tambah dengan jauh dari rumah, membuat ku cukup banyak mengeluarkan gaji yang kudapatkan.

"Gaji nambah nih"

Mas Fajar duduk di kursi depan ku, menunggu dokter Hendra yang hari ini sedikit terlambat datang, karena masih ada operasi di rumah sakit beliau menjadi seorang ASN.

"Kebutuhan juga nambah Mas"

Mas Fajar yang merupakan seorang perantau dari jawa tengah, sama dengan ku yang hanya saja aku dari Jawa barat, tetapi Mas Fajar telah bekerja disini sejak lima tahun lalu, dan kini menetap disini, karena menikah dengan wanita yang asli orang Jakarta.

"Biasanya sih gitu, dulu gue juga mana bujang belum kepikiran kebutuhan rumah tangga"

"Pacaran lama Mas sama bini lu?"

"Bentar, gue main kerumahnya empat kali tiap malam minggu, ngapel gitu sama bokapnya di tanyain niat serius enggak?"

Aku ikut terkekeh, mendengar Mas Fajar bercerita tentang dirinya, yang sambil terkekeh.

"Langsung loe lamar?"

"Kagak, gue tanya orang tua di rumah dulu, boleh kagak nikah sama orang sini, mereka jawabnya yang terpenting agamanya bagaimana, ibadah nya, terus gue ajakin aja bini gue pulang kampung, orang tua srek ya udah kawin deh"

"Baik orang tua loe Mas"

"Iyalah, anaknya aja baik hati dan tidak sombong gini"

Tawa Mas Fajar yang renyah dengan bencandaannya, hanya membuatku tersenyum tipis, pasalnya berbeda dengan laki-laki yang kucintai terakhir ini, orang tuanya tak menyukaiku lantaran perbedaan kasta kata sang mama.

Hingga suara salam terdengar dan di ikuti pintu yang terbuka, masuklah dokter Hendra yang sudah berganti mengenakan kaos polo, dan celana kain.

"Sorry telat banget, mandi dulu gue, pasien nya berapa Sin?"

Begitu santai, seakan tak ada celah diantara kami, bahkan beliau tak segan memohon maaf ketika telat datang yang memang sangat terlambat.

Setelah kujawab jumlah pasien yang sudah mengantri, dan beliau meminta ku untuk memanggil sesuai antrian maka pelayanan pun dimulai.

Jangan kira cukup sepuluh menit selesai dalam menangani satu pasien, untuk dokter Hendra yang merupakan bedah tulang bisa memakan sampai tiga puluh menit untuk satu pasien, semua itu tergantung pada masalah pasien, selain itu konsultasi dengan beliau sangat memuaskan tanpa memburu waktu agar lekas selesai.

Istirahat untuk sholat magrib, dokter Hendra pergi ke masjid rumah sakit bersama Mas Fajar, masih ada antrian tiga pasien, tetapi mereka akan datang setelah magrib.

Dua laki-laki dewasa itu kembali ke poli di saat aku masih sholat di ruang perawat, dan saat aku kembali pelayanan pasien sudah di mulai, dan aku cukup takut jika dokter Hendra akan marah padaku, ternyata beliau tak segalak yang orang-orang bilang, hanya saja postur tubuh beliau yang tinggi, dan badan kekar ketika berpapasan tanpa ada senyuman pasti akan terlihat garang.

"Doa lama bener Sin?"

"Iya lagi doa, minta mertua yang baik si Sinta"

Pertanyaan dokter Hendra di jawab oleh Mas Fajar, dan aku hanya bisa tersenyum menanggapi dua laki-laki yang menjadi tim kerjaku.

Seperti biasa, ketika pasien selesai aku yang telah selesai menyalin resep dan membuat laporan, sambil menunggu waktu shift selesai biasanya kami akan membantu IGD jika dirasa begitu ramai, dan untuk kali ini aku dan Mas Fajar lebih memilih duduk mengobrol di ruang poli pasalnya dokter Hendra belum meninggalkan ruangan.

"Kalau mau pulang duluan sok monggo, gue ada operasi kok nanti jam sembilan"

Pantas saja masih duduk manis di tempat duduknya, bermain ponsel dengan kadang tersenyum sendiri, dan itu biasanya beliau nonton stand up komedi di YouTube.

"Belum jam nya Dok, enggak pantas kita finger print"

Dengan tawa khas Mas Fajar lah yang menanggapi dokter Hendra sedangkan diriku lebih untuk membuka ponselku yang sedari tadi bergetar.

"Fajar, cafe loe dimana sih?"

Kembali terdengar suara dokter Hendra yang bertanya pada Mas Fajar yang duduk di kursi depanku.

Dan baru kutahu ternyata Mas Fajar memiliki cafe yang dia buka sejak setahun lalu, tepatnya setelah menikah, dan di setiap pagi hingga siang kesibukan Mas Fajar adalah mengelompokkan cafe tersebut, sebelum berangkat ke rumah sakit.

"Lah itu mah deket sama kosan gue, pernah sekali gue nongkrong disitu"

"Sering mampir lah Sin"

"Gratis ya Mas"

"Anak kos suka ya kalau gratisan"

Celetukan dokter Hendra yang menggodaku, membuat kami bertiga tertawa.

"Sewa berapa Sin sebulan disitu?"

"Kalau bayar bulanan sih tujuh ratus Dok, cuma token bayar sendiri di model pararel gitu tokenya perkamar, kalau tahunan delapan juta"

"Lumayan murah tuh"

"Iye cuma gang nya sempit kagak bisa mobil masuk, pindahan mesti jalan jauh bawa barang-barang nya"

Ketukan pintu ruangan membuat kami terdiam, kemudian pintu terbuka dan muncul lah isteri dari Mas Fajar yang menyerahkan kunci motor, karena setiap sang istri jaga malam pasti Mas Fajar lah keesok paginya akan menjemput, takut jika sang isteri mengantuk dan terjadi hal yang tak diinginkan, sungguh romantis.

"Permisi duluan dokter Hendra, Sinta"

Pamit sang isteri dari Mas Fajar dengan di antar sang suami keluar dari ruangan, dan tinggalah didalam ruangan aku dan dokter Hendra yang merasa tak nyaman, bingung akan mengobrolkan apa jika tak ada Mas Fajar.

"Loe umur berapa Sin?"

"Dua tujuh tahun ini dokter"

"Beneran? Gue kira masih dua tigaan"

"Sudah lulus ners juga Dok, sudah tua saya"

Kekehan beliau menanggapi jawabanku kemudian terlihat memasukkan ponselnya kedalam saku celana, dan berdiri berpindah duduk pada kursi yang tadi di tempati oleh Mas Fajar.

"Kasih nomer wa loe, sebulan kerja bareng kagak tau nomor telepon"

Kembali mengeluarkan ponselnya, dan memberikan padaku untuk mengetikan nomer ponselku.

"Nomer rekening juga enggak Dok?"

"Boleh, tapi berbunga ya kalau ngehutang"

Benar-benar humoris, pantas saja masih terlihat begitu muda, dan tentunya banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tetap terlihat awet muda.

Ketika akan kukembalikan tiba-tiba ponsel berdering, tertera id yang kurasa sang putri, karena terlihat foto seorang gadis kecil yang di beri nama kesayangan.

Melihat layar ponsel, sedikit tersenyum kemudian pamit keluar untuk menerima panggilan video.


Tbc

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang