Bab 28

11.2K 807 77
                                    

Kembali kedua remaja, ketika wanita yang ku kejar empat belas tahun di bawah ku, dimana diriku sudah berusia kepala empat, dengan warna rambut satu-dua telah memutih, meskipun jiwa ku selalu muda tetapi dari segi pemikiran aku sangat lah berbeda dengan gadis yang usianya masih berkepala dua.

Akan tetapi diriku semakin berpikir menjadi seorang anak muda kembali ketika selalu bersama Sinta, lingkungan ku membawaku muda kembali, dimana aku merasakan cemburu, merasakan ngambek, saling mendiamkan tapi bersamaan dengan rasa rindu ketika tak bisa mengobrolkan bersama, bercanda meskipun kami masih selalu berada di ruangan yang sama.

"Loe mesti ungkapin perasaan ke Sinta"

"Kan sudah jelas mak emak, gue udah ngomong ke orang tua nya, kalau serius mestinya Sinta ngerti lah"

"Cewek tetap saja butuh pengakuan, gue aja yang sudah emak-emak di gombalin laki gue, tetap suka"

"Tapi gue nggak gombal ke Sinta"

"Ya makanya itu loe tembak dia"

"Malu gue, udah tua"

"Terserah dah, males gue jadi penasehat cinta lu"

Sabtu siang ini kusempatkan diriku singgah di kediaman bapak Satria, yang mana kini istrinya telah mengomeliku di depan suami dan anak-anak nya tak tahu tempat.

"Om Hendra mau nembak tante yang kemarin?"

Saka si bocah yang kini sudah remaja, dan wajah maupun sikap yang semakin hari semakin mirip sang papa, ikut bersuara.

Kugaruk kepalaku yang tak gatal, bingung juga aku harus mengutarakan perasaan ku seperti para remaja atau cukup memberikan perhatian padanya.

"Hen, gue penasaran deh"

Dari suara dan wajah Satria yang sejak tadi fokus pada ponselnya dan kini ikut berbicara membuat ku merasa tak enak.

"Apa?"

"Lu tertarik ke Sinta itu karena apa?"

Kuraba dadaku, kutanya hatiku, aku tertarik kepada sosok seorang Sinta itu karena apa, kucari jawaban dari diriku tapi merasa tak menemukan jawaban itu.

"Nggak tahu juga gue"

"Good, berarti om Hendra mencintai tante Sinta tanpa ada alasan"

Saka menjawabku spontan, dan membuat kami semua terkaget, bahkan sang ayah pun sudah memberikan geplakan di pundaknya karena kaget.

"Soalnya om kalau ada alasan misal kecantikan nya dan suatu saat kalau cantiknya hilang cinta itu juga hilang"

Kamus dari seorang remaja laki-laki yang kini mungkin di gilai wanita, dan seorang anak yang di lahir kan oleh wanita yang pernah ada dalam hatiku kini telah mengguruiku.

"Teori aja kamu itu bang"

"Loh ini beneran bunda, sudah deh om ganti penasehat cinta nya ke Saka aja"

Anak dan bunda yang sedang beradu argumen, tetapi perkataan Satria yang selanjutnya membuat kami semua terdiam.

"Kemarin gue lihat sekelibat, kalau dari samping Sinta mirip mamanya Hana loh"

Terdiam, aku terdiam memikirkan perkataan Satria, memang awal kami bertemu aku sempat terkejut karena memang mirip tetapi setelah berhadapan langsung dan apalagi setiap harinya bertemu di tambah penampilan Sinta di saat bekerja yang rambutnya selalu di rapikan, secara fisik tak ada kemiripan sama sekali, apalagi dari segi sifat, Sinta adalah sosok wanita mandiri, tegas, ceria, pekerjaan keras, dan berambisi sangat berbeda dengan almarhum isteri ku, yang manja, kalem, pendiam mungkin memang karena dirinya tak bisa beraktivitas berat karena penyakit bawaan nya.

"Tapi mereka sangat beda Yah"

"Iya bund, cuma pas awal aja dari samping"

"Lu jangan sampai suka Sinta karena mirip masa lalu"

Mengerti apa yang di maksud kan oleh Satria, aku sendiri juga sudah merasa move on ketika setiap hari bersama Sinta, karena keterbiasaan bersama Sinta duniaku teralihkan hanya untuk nama Sinta.

Mimpiku kali ini sudah terisi Sinta, hidup masa depan bersama Sinta, tak ada masa lalu yang lagi membayangiku.

Mungkin hanya awal perantara ketertarikan ku pada Sinta yang terbayang masa lalu, tetapi setelah kami selalu bersama aku yakin akan perasaan ku jika aku jatuh cinta pada seorang wanita yang bernama Sinta karena dirinya sendiri.

Cinta karena keterbiasaan bersama, dalam lingkungan yang selalu bersama, atau pepatah Jawa mengatakan 'tresno jalaran soko kulino'. Atau bisa dibilang cinta lokasi.

Akhirnya dengan penuh tekat malam ini kujemput Sinta, kuajak dirinya makan malam seperti yang telah kurencanakan sore tadi, sebelum nya aku sudah mengobrol dengan Karin jika besok minggu itu aku ingin mengenalkan Sinta kepada Hana di Solo, dan pastikan Karin mengizinkan karena memang Hana sebenarnya bekerja di tempat Karin pun karena kuminta, bukan karena klinik yang kekurangan pegawai.

[Baca bismillah om, kuatkan hati misal di tolak]

Pesan dari Saka yang membuat ku ingin memaki Sachi, karena ini pasti ajaran sang ibu itu.

"Maaf ya dok lama"

Sinta telah keluar dari klinik, dan kami segera menuju mobil yang telah kuparkir sejak dua jam lalu.

"Nggak kok baru aja"

Kali ini tak perlu kutanyakan tempat kita akan makan, karena aku sudah memesan tempat makan malam kami, yang tentunya dengan tujuan lainya adalah mengungkap kan perasaanku.

Selayaknya anak muda yang akan mengungkapkan perasaannya kepada gadis pujaan, padahal aku sudah pernah melakukan ini saat mudaku dulu, bahkan mengucap ijab qobul pun sudah pernah tetapi entah kenapa masih saja membuatku gugup.

"Pedas ya dok? Keringetan gitu"

Kuanggukan kepalaku, sebenarnya bukan karena pedas tetapi gugup bukan main, mengatur kalimat yang akan kuutarakan pada Sinta, yang di ajarkan Saka gaya anak sekarang menembak cewek yang katanya anti gagal.

Acara makan kami selesai, aku sudah menghabiskan tiga gelas air minum, biar saja Sinta beranggapan aku kepedasan yang terpenting malam ini aku harus berhasil.

Tangan Sinta yang berada di atas meja bermain gelas, ketika kami bercanda kugenggam, Sinta tentunya terkejut di awal tetapi setelahnya dia terdiam.

"Maaf ya kalau aku nggak peka, kalau pria tua ini terlambat sadar, aku kira dengan kedekatan kita selama ini Sinta pasti ngerti, tetapi malam ini aku mau tegasin jika aku suka kamu, ingin di masa depan selalu bersama kamu sampai akhir hayat ku"

Bukan pertanyaan yang bisa di jawab iya atau tidak, tips dari Saka yang katanya tak akan pernah bisa di tolak wanita, dan bagiku ini menjadi membingungkan untuku karena aku menjadi butuh jawaban Sinta.

Keterdiaman Sinta, membuat juga bingung, takut jika dia menolak ku, sehingga kuajak dirinya berpindah tempat, ingin menikmati keindahan pantai di malam hari.

Setelah kuselesaikan tagihan makan kami, kuajak Sinta menikmatinya tenangnya pantai di malam hari di dalam mobil, dengan membuka kaca jendela, kami mengobrol.

Berawal obrolan santai, hingga entah kenapa berubah menjadi cerita yang membahas kehidupan ku, membuat ku teringat akan masa lalu kembali, kehilangan seseorang yang kumiliki, hingga aku teringat akan dosa-dosa ku.

Alam yang mengingat ku pada dosa-dosa ku, hingga akhirnya membuat ku tak tahu malu menangisi di hadapan Sinta, tetapi setelah aku tersadar, aku merasakan kenyamanan pada Sinta di saat dirinya memberiku perhatian.

Seorang laki-laki dewasa yang sudah lama yang merasakan dekapan wanita selain ibunya, dan mampu membuatnya nyaman, membuat rasa lainya menjadi bangkit.

Sinta yang ternyata ikut menangis ketika mendekapku disaat aku menangis, air mata yang masih tersisa di pipinya tanpa di minta tanganku terulur untuk mengusap pipi halusnya, dan bibir yang biasanya tersenyum dan tertawa di depan ku kini menjadi sebuah fokus ku disini.

"Sin"






Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang