Bab 6

14K 1.1K 101
                                    

Mas Fajar terbahak-bahak, serta menggodaku ketika kuceritakan jika partner kerja kami mengisi saldo gopay ku, dan meminta untuk naik ojek online agar nanti ketika pulang kerja bisa bersama-sama beliau.

"Mas, gue kok jadi takut ya"

"Takut jatuh cinta loe?"

Kuanggukan kepalaku, selain itu aku juga takut akan omongan orang lain jika sampai ada yang tahu aku di ajakin pulang bareng dokter Hendra.

"Kagak, beliau itu cuma nganggep loe adiknya kok, tenang saja"

"Semoga ya mas"

Lama kami terdiam dan sibuk pada ponsel masing-masing, setelah selesai menyiapkan peralatan untuk pelayanan poli, dan kali ini dokter Hendra sepertinya sedikit terlambat.

"Mas cariin gue pacar, please".

Mas Fajar mengerutkan keningnya, menatapku seakan memastikan apa yang kukatakan.

"Loe takut beneran ya sama dokter Hendra?"

Kembali kuanggukan kepalaku, karena aku benar-benar takut jika sampai jatuh hati dengan beliau akan perlakuan nya yang begitu baik pada ku.

Karena yang tahu akan diriku adalah aku sendiri, bagaimanapun aku mudah jatuh cinta, dan sebelum itu terjadi aku harus jaga jarak terlebih dahulu.

"Tenang, kagak apa-apa beliau memang baik kok sama semua nya"

Benar kata mas Fajar, tetapi perasaan ku seakan berkata lain, jika kode yang di berikan dokter Hendra selama ini bukan sekedar partner kerja saja.

"Assalamualaikum"

Salam dokter Hendra masuk kedalam ruangan, membuat ku segera bangkit berdiri untuk memanggil pasien yang mengantri di depan poli.

Sebelumnya pandangan kami bertemu, kemudian mas Fajar mencoleku yang melewati dirinya.

"Mandi Sin beliau"

Memang terlihat dokter Hendra tak memakai kemeja, seperti beliau ketika biasanya yang berangkat kesini dari rumah sakit umum daerah, dan kami hafal jika beliau setelah poli disini ada acara atau operasi pasti akan mandi terlebih dahulu sebelum poli di rumah sakit ini.

Dan kali ini, memakai celana jeans, kaos polo warna navy dan rambut yang di sisir rapi dengan olesan pomade.

"Sin, bantuin Fajar"

Suara dokter Hendra membuat ku untuk segera menghapus mas Fajar yang merawat pasien cedera pada kaki dan tangannya.

"Setelah selesai, kamu antar ke radiologi, biar Sinta kubantu buat pasien selanjutnya"

Gila, ini benar-benar gila, mungkin jika seperti minggu-minggu  lalu ketika dokter Hendra belum begitu perhatian padaku, aku akan biasa saja tetapi kenapa saat ini seakan tak biasa, jantung ku tiba-tiba tak tenang.

Mas Fajar telah keluar membawa pasien untuk ke ruang radiologi, dan pasien berikut nya pun sudah masuk kedalam ruangan.

"Sin, rontgen terakhir nya"

Segera kubuka amplop besar yang berisi hasil gambar tulang pasien yang di hadapan ku.

"Sudah pernah injeksi lutut?"

Kugelengkan kepalaku, pasalnya aku selama ini belum pernah melakukan nya.

Injeksi lutut, untuk menambah cairan sinovial atau cairan pelumas pada sendi, yang mana banyak menimpa pada orang lanjut usia yang menderita osteoarthritis.

"Lihat dulu saja ya sekarang, besok aku ajarin"

Setelah pasien kedua selesai berlanjut kepasien berikut nya, yang hari ini tak begitu banyak jumlah pasien mengantri, hingga di pukul tujuh malam poli orthopedi selesai, dan aku bersama mas Fajar bergeser ke IGD membantu menangani pasien yang saat ini terlihat begitu ramai.

"Dok, kita ke IGD dulu ya, pasiennya ramai"

Beliau hanya mengangguk dengan pandangan tetap fokus pada layar ponselnya, ketika aku dan mas Fajar pamit keluar ruang poli.

"Loe mau di ajak kencan Sin"

"Jangan gitu dong Mas, gue nebeng loe aja deh pulangnya"

"Beneran takut loe?"

Anggukan ku semakin membuat mas Fajar terbahak-bahak, menertawakan diriku yang memang benar-benar takut saat ini menghadapi dokter Hendra.

"Entar di IGD di lama-lamain saja"

Kembali aku mengangguk mendengar saran dari mas Fajar, mungkin dengan begitu dokter Hendra lebih memilih pulang dulu daripada menungguku yang masih lama beranda di IGD.

Waktu berputar begitu cepat, merasa jika baru saja aku dan mas Fajar membantu pelayanan pasien di IGD dan saat ini pasien-pasiennya itu baru saja di antarkan ke ruang perawatan, dan tersisa beberapa pasien yang tidak perlu rawat inap, dan dalam kondisi pemulihan.

"Poli orthopedi sudah beres ya?"

Terdengar pertanyaan senior ku terdahulu ketika di IGD yang bertanya kepada mas Fajar.

"Cuma dikit hari ini"

"Tapi beliau masih di ruangan, barusan aku lewat"

Memang jalan untuk menuju pintu IGD ini melalui lorong poli, sehingga siapa saja yang pulang dan datang pasti akan melewatinya.

"Nunggu operasi mungkin"

Dan itu adalah jawaban mas Fajar, tetapi di balik jawabannya ada senyum mengejek yang menghadapku dengan mengedipkan satu matanya.

"Kalian kagak pulang?"

Waktu pulang untuk sift siang memang sudah selesai lima belas menit yang lalu, bahkan para tim sift jaga malam sudah tiba, dan mengobrol bersama kamu di meja perawat.

Akhirnya aku berjalan mengikuti mas Fajar menuju poli, tetapi di dalamnya sudah tak ada dokter Hendra, yang kata anak-anak IGD yang sift malam saat tadi melewati poli melihat beliau masih berada di ruangan.

"Kemana si duren Mas?"

"Tadi takut, sekarang nyariin"

Aku ikut terkekeh mendengar jawaban mas Fajar yang terkekeh ketika menjawab pertanyaan ku.

Aku tunggu di mobil

Tak lagi gue, dokter Hendra meninggalkan pesan singkat, pada secarik kertas kecil yang berada di atas mejaku, dan di tempelkan pada layar komputer.

"Mas"

Kupanggil mas Fajar yang bersiap untuk pulang untuk mendekat kearah ku, dan kutunjukan layar komputer ku.

Lagi dan lagi mas Fajar terbahak-bahak, kemudian mengajak ku menuju tempat parkir mobil, lebih tepatnya mengantarkan diriku ketempat dokter Hendra berada, dengan alasan agar ketika karyawan rumah sakit yang lain melihat nya tak akan ada pemikiran negatif terhadap ku.

"Gue nebeng loe aja deh"

"Loe mau di diemin besok pas poli, atau mau di pecat sekaligus, beliau sohib nya dokter Sachi"

Benar apa yang di katakan oleh mas Fajar, aku yang hanya butiran debu ini pasti akan kalah oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan.

"Sudah sana, jalan sendiri gue lihat dari sini beraani kan?"

Akhirnya aku berjalan dengan banyak keraguan menuju mobil Pajero hitam yang terparkir pada area khusus dokter, takut akan ada masalah kedepannya dengan keputusan ku malam ini.

"Dok"

Kusapa dokter Hendra yang sudah menunggu ku di dalam mobil, dengan tersenyum manis menyambut ku yang masuk kedalam mobilnya.

"Mau makan dimana?"

Semakin membuatku gugup, bukan karena pertanyaannya melainkan tindakannya di saat bertanya untuk makan dimana, bersamaan dengan tangan beliau yang membantu ku memasang sabuk pengaman.




Tbc

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang