bab 31

11K 926 101
                                    

Mungkin ini adalah patah hati yang sesungguhnya, bukan karena di tolak oleh wanita yang kusukai tetapi di tolak oleh papa dari wanita yang kucintai.

Kemarin pertemuan Sinta dengan kedua orangtuaku berjalan dengan lancar, dan ketika obrolan kami menyinggung tentang keluarga Sinta, mama mengutarakan apa yang sudah kubicarakan pada Sinta tentang rencana keluarga ku untuk bersilaturahmi kepada keluarga Sinta di Bandung, bahkan semalam Hana juga sudah menginap di tempat kos Sinta dan malam harinya mereka terlihat begitu akrab ketika nongkrong di cafe milik Fajar.

Dan sore ini Hana ikut merasakan patah hatiku, seharusnya Sinta peka jika seorang laki-laki dewasa bersilaturahmi mengajak kedua orangtuanya menghadap pada keluarganya itu pasti ada maksud keseriusan, tetapi Sinta begitu polos yang mengira ini sekedar main-main semata.

Perjalanan pulang dari Bandung, aku yang sempat tersulut emosi membuat mama memarahi ku karena cara mengemudi ku yang ugal-ugalan.

Bahkan papa lebih menggoda ku, jika laki-laki itu tak boleh cengeng, harus kuat dan tegar meskipun di tolak bapak mertua, dan rajukan Hana yang mengatakan aku harus bisa menikahi Sinta membuat ku akhirnya bisa menenangkan emosiku, dan bisa berpikir jernih kembali.

Seusai sholat magrib, Hana bermain kerumah tetangga bersama mama alias kerumah tante Ara, karena disana sedang berkumpul keluarga besar mereka.

Sinta sedari siang tak bisa kuhubungi, pesan yang kukirim kan tak terbaca, panggilan suara maupun video tak terespon.

Akhirnya mobilku membawa pada pinggir jalan, depan gang menuju tempat kos Sinta, dapat kupastikan jika tak malam ini pasti besok pagi dirinya akan kembali ke Jakarta karena dirinya harus bekerja.

Kuambil bungkus rokok yang kemarin siang kubeli, dan masih tersimpan pada mobil ku, bahkan masih tersisa begitu banyak karena hanya kuhisap satu batang.

Kaca mobil kubuka, pematik api kunyalakan, rokok sudah bisa kuhisap, untuk menikmati rasa manis dari tembakau nya.

Satu batang habis, ku lihat ponselku tak kunjung ada jawaban dari Sinta, bahkan ancamanku yang akan kembali ke Bandung pun baru terbaca beberapa menit yang lalu olehnya tetapi tak juga ada balasan.

"Lihat saja nanti, kusantet juga pakai ilmunya Satria"

Entah kenapa aku bisa percaya pada Satria, ketika tadi aku baru memarkir mobil ku pesan darinya masuk, yang mengatakan jika nanti malam aku di minta dirinya untuk mengirimkan Al Fatihah yang ditujukan pada Sinta.

"Kenapa jadi musrik gue, Satria kok gue percaya dia kan setan"

Dapat kupastikan sekarang di rumah tante Ara aku adalah bahan ghibah mereka semua, karena mama pasti melapor pada Sachi dan emak-emak itu sekarang adalah ratu gosib.

Di batang rokok kedua habis, Sinta masih belum tiba, dan saat ini sudah pukul setengah delapan, dan aku bersiap untuk menyalakan rokok ketigaku.

Kembali pesan dari Satria masuk, dan kali ini saran nya lebih gila lagi.

[Lu perkosa aja, terus lu hamilin siapa tau bokapnya ngerestuin]

Tapi saran dari Satria itu sempat terlintas dalam lamunanku barusan di saat aku sudah mengahabiskan rokok kelimaku.

Kuteguk air mineral yang baru saja kubeli pada minimarket di seberang, dan kubalas pesan Satria dengan sebuah jempol, aku tak berniat menanggapi bercandaan mereka yang sebenarnya bermaksud menghibur ku, karena yang kubutuhkan saat ini bertemu Sinta, dan akan kutunjukan jika aku serius memperjuangkan cinta kami.

Kusenderkan punggung ku pada jok mobil, enam batang sudah cukup menemaniku hingga di pukul sebelas malam dan kini aku merasakan begitu lelah.

Baru saja aku ingin terlelap, ketukan kaca jendela ku membuatku membuka mata, dan ternyata itu adalah adik lelaki Sinta, kami tadi tak sempat bertemu karena dirinya yang kini menjadi mahasiswa kedokteran sedang berada di kampus, tetapi aku masih mengingat siapa dia meskipun kami hanya sekali bertemu ketika keluarga Sinta sedang berkunjung ke Jakarta.

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang