Bab 19

12K 1K 55
                                    

Sambutan orang tua bang Hendra tak seperti yang kubayangkan selama ini, yang aku kira akan sekejam orang tua mantan kekasih ku terdahulu, yang menolaku mentah-mentah, dengan alasan aku yang hanya seorang perawat dan sang putra adalah dokter.

Tetapi tidak dengan orang tua bang Hendra, mereka menyambut ku dengan hangat, aku merasa seperti sudah lama mengenal mereka, memang tak semua orang memandang orang lain dari harta, jabatan atau keturunan.

Dokter Hendra yang merupakan seorang spesialis ternama, orang yang lebih tinggi kedudukannya di bandingkan dengan Rudi, sang mantan pacar ku, tetapi orang tuanya tak mempedulikan siapa aku, dan siapa orang tuaku, mereka menerima ku apa adanya tak seperti ibu dari Rudi.

Hana pun demikian, kini dirinya semakin dekat dengan ku, ingin bermain ke Bandung kerumah orangtuaku, karena sang ayah yang memintaku untuk menghubungi mama ku kapan orang tuaku bisa berkunjung kerumah Bandung.

Dan karena permintaan Hana, akhirnya besok pagi kita pergi kesana, mama pastinya heboh mengirimi ku pesan beruntun, tujuan orang tua bang Hendra bermaksud apa, jika itu sebuah lamaran, memintaku untuk meyakinkan diri jika aku telah yakin, karena beliau tak ingin aku terburu-buru, karena alasan sang mantan pacar sudah lebih dulu bertunangan.

Kubilang pada mama jika hanya ingin bersilaturahmi, ingin berkenalan dengan orang tua ku, dan akhirnya mama menyetujui nya.

"Tante, nanti malam Hana boleh nggak nginap di tempat Tante?"

"Boleh, tapi tempat kost tante kecil nggap apa-apa kan?"

Hana mengangguk, dan akhirnya di sore hari Hana ikut dengan ku pulang setelah tadi siang kami makam bersama, dan setelahnya berbincang-bincang dengan kedua orang tua bang Hendra yang kurang lebih, beliau berdua ingin mengenalku lebih jauh, serta mengenal kan sosok sang putra dalam segi keburukannya, yang mana tujuan mereka agar aku tak terkaget nantinya.

"Han, jangan repotin tante Sinta ya, nanti malam ayah kesini kita jalan"

"Nggak usah Yah, Hana mau girl time bareng calon bunda Hana"

"Girl time itu apaan?"

"Waktu untuk cewek-cewek, ayah di rumah saja atau ngopi saja kemana gitu"

Mungkin definisi anak tak ada akhlak ya seperti ini, ayahnya di usir begitu saja dengan santai, tanpa pamit pada sang ayang membawa tas ransel nya untuk turun dari mobil.

"Bang, pulang dulu ya"

"Nitip Hana ya"

Aku mengangguk dan segera menyusul Hana yang sudah berdiri menunggu ku turun dari mobil.

Berjalan menuju tempat kos dengan mengambil alih tas ransel milik Hana, dan bertukar dirinya yang membawa bingkisan makanan kecil yang kubeli di supermarket di perjalanan kami kesini tadi.

"Sore anak perawan pacarnya om duda"

Sapaan Meri yang seperti biasanya menggodaku, tetapi kali ini di waktu tak tepat pasalnya ada anak si duda yang dimaksud nya.

"Sstt"

Kuberi kode Meri dengan kerlingan mataku yang menunjuk kearah Hana, yang kini menatap Meri begitu jutek.

"Adik loe Sin? Baru pulang Bandung lu?"

Saat aku membuka kunci pintu kamar, Meri yang tak juga sadar akan kodeku untuk diam lebih tetap melanjutkan pertanyaan nya.

"Aku anaknya om duda, Tante"

Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak ketika melihat ekspresi wajah Meri yang terkaget, ketika Hana yang menjawab pertanyaan nya.

"Mampus lu"

Sedikit kutahan tawaku dengan melangkah kan kaki ku masuk kedalam kamar, di belakang ku Hana mengikuti ku masuk kedalam.

"Hana mau langsung mandi, atau mau istirahat dulu?"

Kulihat Hana yang berkeliling di dalam kamarku, melihat pernak pernik yang kurang lebih dirinya pasti memiliki nya.

"Tante punya bantal ini juga?"

Memang di atas kasur ku ada bantal dengan gambar member BTS, dan itupun aku beli kembar dengan adik bungsu ku, karena sebenarnya yang lebih dulu menjawab army adalah adiku.

"Hana juga punya"

Seperti yang kupikirkan, Hana lebih cocok menjadi adik bungsu ku, karena dirinya sama persis dengan Fani, yang kini duduk di bangku SMA hampir seumuran dengan putra sulung dokter Sachi.

Hana memintaku untuk menemani nya mandi, lebih tepatnya aku diminta untuk menungguinya mandi di depan kamar mandi, dengan alasan takut.

"Beb, beneran ya itu anaknya dokter duren?"

Meri ikut bergabung dengan ku duduk pada kursi yang berada di dapur umum sebelah kamar mandi.

"Iye"

"Ini mah pantes nya jadi adik lu, tapi bapaknya masih kelihatan muda ya, kayak belum pantas aja punya anak ABG"

Sosok netizen masa kini, ya itulah gambaran umum nya berwujud seperti Meri, yang selalu lengkap dalam berkomentar.

"Tante"

"Ya Han"

"Jangan tinggalin Hana loh"

"Iya-iya, ini duduk di dapur"

"Ada kakak Meri juga ini"

Suara Meri ikut berteriak, dengan terkekeh menggodaku kembali.

"Tapi lu kayaknya pantes jadi emaknya kalau gini"

"Kagak pulang lu Mer?"

"Nggak, males gue kalau pulang, pasti bahas kawin emak gua"

"Nikah Mer, kawin beda arti khusus nya"

"Otak lu sekarang ngeres, sejak pacaran ama duda"

"Sstt, jangan bahas duda-duda lu, ada anaknya"

Bersamaan dengan Hana keluar dari kamar mandi, Meri sedikit menyapa Hana dengan benar.

"Hai, Hana kenalin Kak Meri, teman tante Sinta"

"Hana"

Gila, bisa berubah dalam sekejap. Respon tak menyukai Meri Hana terlihat begitu ketus dan dari lirikan matanya tersirat hawa permusuhan, mungkin karena perkataan Meri ketika menyapaku tadi.

Waktu semakin larut, selesai sholat isya aku yang akan bersiap memesan makanan melalui aplikasi ojek online, tetapi di larang Hana, dengan alasan dirinya ingin mengajak ku  untuk nongkrong makan di luar.

Akhirnya kuiyakan, bersama Hana dan juga Meri, kami bertiga duduk manis di cafe milik Mas Fajar di pukul delapan malam, akan tetapi sepertinya sang pemilik melaporkan posisi kami kepada ayah si Hana, karena tanpa kuberi tahu beliau kini masuk kedalam cafe dan terlihat sedang mencari keberadaan kami.

"Ayah, tante kasih tahu ayah?"

"Lu bilang dokter duren?"

"Kagak, gue juga nggak tahu kalau dia kesini"

Pertanyaan bersamaan Hana dan Meri tentunya kujawab tidak karena aku memang tak memberi tahu dirinya.

"Main terus"

Sentilan di kening Hana oleh sang ayah ketika hendak tiba di samping nya, membuat aku dan Meri tertawa lebar, pasalnya sekarang Hana terlihat kesal karena kehadiran sang ayah.

"Hai Mer"

"Hai Kak, apakabar?"

"Alhamdulillah"

"Ayah, Tante Meri tadi katain ayah duda"

Saat ini sudah tak dapat kubendung lagi tawaku yang sore tadi bisa kutahan, Meri terlihat begitu malu dan tak enak kepada bang Hendra, berbeda dengan Hana yang kini kekesalannya telah hilang berganti dengan bahagia.

"Kan memang ayah duda"

"Tapi kan sebentar lagi nikah sama tante Sinta"

"Kenapa mesti kau katakan di depan Meri sih Han"


Tbc

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang