Bab 12

12.6K 1K 65
                                    

[kamu pikirkan lagi, dia duda, punya anak, apa kamu bisa sayangi anaknya, kalau kamu mau bapaknya berarti wajib nerima anaknya, mama sama papa sih dukung saja, yang terpenting dia tanggung jawab, taat ibadah, sayang sama kamu]

Pesan panjang lebar dari mama setelah beliau pamit pulang bersama papa dan adik-adik, sedangkan aku kini telah kembali ke klinik.

Tadi siang benar terjadi, dokter Hendra mendatangi aku dan keluargaku yang sedang makan di salah satu rumah makan tak jauh dari klinik.

Dalam obrolan yang sebelumnya tak di diskusikan dulu olehku, beliau mohon izin kepada papa dan mama untuk dekat dengan ku, bukan sekedar dekat ala anak muda, melainkan ada tujuan masa depan yang serius, kemudian beliau menceritakan latar belakang mulai dari pekerjaan, orang tua, hingga status.

Seakan aku tak percaya apa yang beliau lakukan, aku tak tahu rencana beliau bertemu papa mama, yang tak lain adalah sebuah izin, karena dari kemarin aku kira beliau hanya ingin kenalan dan tak lebih.

"Habis makan sama keluarga ngapain kucel gitu muka?"

Teguran Fani, teman kerjaku di klinik yang baru saja masuk kedalam ruang istirahat, aku memang siang ini izin makan siang dan kembali telat kepada dokter Karin dan sepertinya beliau juga di beri tahu dokter Hendra, sehingga beliau iya saja saat aku mohon pamit.

"Pusing gue"

"Mau di kawinin?"

Antara menggeleng dan mengangguk jawaban yang aku pun bingung sendiri.

Kembali bekerja, tak lagi kubiarkan pemikiran yang akan membuat ku bermalasan itu terus melintas di otakku.

Hingga malam hari saat kami waktu nya pulang dan baterai ku telah habis, karena di saat makan siang tadi di buat adik bungsu bermain game, sehingga di saat aku pulang dan mulai mengisi daya, seperti biasanya aku beristirahat lebih dulu, karena seharian ini bukan hanya fisik yang lelah tetapi hati pun demikian, selalu terngiang kata-kata mama.

[Kalau kamu mau bapaknya, kamu wajib mau anaknya, ini anak piatu kalau kamu bisa sayang i dia, bikin dia bahagia kamu ikut dapat pahala, tapi kalau kamu sampai nyakitin hatinya dosa besar kamu]

[Mah, nanti apa kata orang kalau Sinta sama duda anak satu]

[Nah ini yang buat mama berat, kamu selalu mikirin omongan orang, dan bikin kamu tak nyaman dan bahagia, mending jangan kalau kamu masih mikirin omongan orang, kalau mama sih bodo amat, yang ngejalani kita, mana tau orang lain tentang kita sebenarnya]

Pikiranku kali ini adalah, omongan orang dan apakah aku bisa di terima oleh putri dokter Hendra.

Semalaman tidur ku tak begitu nyenyak, biasanya aku yang kecapekan pasti akan begitu cepat tidur tetapi kali ini sedang lelah hati, sehingga tak nyaman rasanya.

Subuh hari saat kunyalakan ponselku, pesan berderet-deret dari balasan mama kemarin sore hingga pesan dokter Hendra semalaman yang begitu berjejer.

[Maaf dokter kemarin hape Sinta habis baterai]

Baru saja kukirimkan pesan, centang dua seketika berubah biru, dan tak lama panggilan video dari beliau yang berhasil membuat pikiranku berisi hanya tentang dirinya.

"Lagi apa?"

Setelah salam kujawab, dari seberang dokter Hendra yang terlihat hanya memakai kaos dengan rambut yang tak serapi ketika bekerja, dan dapat kupastikan beliau sedang berada di taman karena di belakang nya terlihat bunga dan tumbuhan hijau lainnya.

"Enaknya lagi apa ya Dok, Sinta sih mau tidur lagi kalau nggak di telepon dokter"

Sedikit bercanda agar tak terasa canggung, pasalnya ini pertama kalinya dokter Hendra menghubungi ku melalui video, karena biasanya cukup panggilan suara.

"Dasar, benar kata mama kemarin berarti, kalau putrinya hobinya tidur"

Memang kemarin mama banyak menjelekkan diriku, entah apa maksudnya, semua kekurangan ku beliau ceritakan pada dokter Hendra, bahkan masalah aku yang dulu suka bohong saat kuliah, pamit belajar tetapi kencan dan ketahuan papa yang saat itu ada acara kantor.

"Enak aja, itu dulu sekarang mah hobinya lain"

"Apaan sekarang hobinya?"

"Makan"

Sereceh itu dokter Hendra sudah terbahak-bahak mendengar jawaban dariku, bahkan tawanya menular padaku.

"Kalau gitu nanti malam barengan ya pulangnya, biar bisa nyalurin hobi bareng aku"

Kini aku yang tertawa lebar, mendengar kalimat beliau yang begitu halus untuk menawarkan sebuah makan malam bersama beliau, sungguh pintar.

"Kenapa tertawa?"

"Nggak kok Dok, oke siap, nanti Sinta kasih tahu mas Fajar juga kalau gitu, hobi kita kan sama"

"Jangan, berdua aja, kamu ini nggak peka banget"

"Oh, ngajak kencan Sinta ya?"

Tiba-tiba aku keceplosan, dan untuk menutupi rasa malu, kualihkan obrolan ini menjadi sebuah bercandaan.

"Kan nggak apa-apa, mas Fajar setan nya kalau kita berduaan"

Dokter Hendra sepertinya tak menyadari jika aku tadi terlepas kata-kata yang jujur dari hatiku.

"Ya udah sana kamu tidur, aku mau siap-siap kerumah sakit"

Panggilan berakhir, dan aku pagi ini akhirnya bisa mengobati rasa penasaran ku, bagaimana dokter Hendra jika di rumah, ternyata sama saja, pakai kaos oblong, celana pendek, minum kopi, rambut berantakan tanpa pomade, tapi tunggu deh.

"Huaaaaa"

Aku juga lupa jika tadi hanya memakai daster tanpa lengan, dan rambut yang hanya kugelung seenaknya, bahkan tanpa alis yang cetar seperti saat keluar rumah.

Pagi ini seperti biasanya di pukul delapan berangkat menuju klinik kecantikan yang dimiliki oleh dokter Karin, membawa bekal baju seragam untuk nanti kerja di rumah sakit.

Mengingat rutinitas ku ini, aku baru sadar jika dokter Sachi mengetahui kalau aku bekerja di klinik lain tetapi beliau kenapa tak menegurku, dan dokter Karin sendiri bisa dengan sadar mengizinkan ku pulang satu jam lebih awal karena pergantian shift setiap harinya di pukul dua, sedangkan aku masuk kerja di rumah sakit pukul dua maka dari itu di pukul satu saat istirahat aku di perbolehkan untuk langsung berlanjut bekerja.

"Jangan-jangan ada nepotisme ini"





Tbc

Cinta LokasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang