Bagian 9

5 2 0
                                    

Setelah semua tugas terkumpulkan, Bu Nami kembali ke kantor dengan beberapa murid yang membantunya membawakan tugas tersebut. Kitaro datang menemui Hiroshi. Ia berdiri lalu bercakap-cakap dengan Hiroshi. Ya, baru saja bercakap-cakap, bel istirahat langsung berbunyi.
Hiroshi dan Kitaro mulai membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Kitaro kembali mengambil kursi yang berada di depan meja Hiroshi. Setelah selesai makan, mereka berdua kembali mengobrol. Saat wanita pemilik kursi tersebut datang, ia hanya bisa menatap Kitaro dengan kesal. Selepas itu, ia berbalik arah dan keluar kelas.

“Dia kenapa?” tanya Kitaro bingung ketika melihat wanita yang tadi pagi menangis karena dirinya, keluar dari kelas. Padahal, 5 menit lagi bel akan kembali berbunyi. Secara perlahan, kelas kembali dipenuhi siswa-siswi yang siap melanjutkan kegiatan belajarnya.

“Oke, anak-anak. Mari kita lanjutkan belajarnya. Untuk sesi ini, kita akan belajar seni budaya. Silahkan buat kelompok dengan tiga anggota. Satu anggota untuk menyanyi, satu anggota untuk menari, dan satu anggotanya lagi untuk menampilkan gambar-gambar yang berkaitan dengan budaya kita,” jelas Bu Nami. Seketika kelas menjadi bising. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing.

“Hiroshi, bagaimana kalau kita satu kelompok?” tanya Kitaro dari belakang. Hiroshi langsung membalikkan badannya dan berteriak, “Boleh!”

Setelah mendengar bahwa Kitaro akan satu kelompok dengan Hiroshi, Tadao pun angkat bicara.
“Aku juga satu kelompok dengan kalian!” serunya dari samping Kitaro. Kitaro langsung memasang wajah sebal, karena dari awal masuk kelas ini, ia harus mendapati saingan berat seperti Tadao.

“Bo-boleh,” balas Hiroshi.
Setelah semua orang selesai berdiskusi, Bu Nami kembali berbicara untuk menjelaskan tugas ini secara keseluruhan. Setiap ketua kelompok diharapkan menulis nama anggotanya dan mengumpulkan kertas tersebut. Jadi, totalnya ada 8 kelompok yang akan bersaing.

“Aku saja ya, ketuanya!” celetuk Kitaro. Hiroshi dan Tadao hanya bisa diam mengiyakan. Mereka berdua tidak mau Kitaro kembali berulah.
Waktu terus berjalan hingga akhirnya bel pulang kembali berbunyi pada pukul 16.15. Semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Kecuali siswa yang mengikuti kelas tambahan dan ekstrakurikuler. Sampai saat ini, Hiroshi belum menentukan ekstra apa yang akan ia ikuti.

Kitaro, Tadao, dan Hiroshi berkumpul di depan kelas untuk mendiskusikan tugas ini. Seusai piket kelas, Hiroshi duduk bersama kedua temannya di dekat pintu kelasnya.

“Jadi bagaimana? Siapa yang akan menari, menyanyi, dan memamerkan gambar budayanya?” tanya Tadao. Bisa dibilang, tugas ini cukup sulit. Mereka bertiga seorang lelaki, itulah yang menjadikan tugas semakin berat. Terutama untuk bagian menari dan menyanyi.

“Aku tak pandai bernyanyi. Kalian tahu kalau aku pemalu, bukan?” jelas Hiroshi.

“Bagaimana kalau kamu membawakan gambar, aku bernyanyi, dan Tadao menari?” tawar Kitaro. Awalnya, Tadao menolak. Namun, ia sadar bahwa ia tak pandai menyanyi. Lagian, Hiroshi juga pemalu. Akhirnya, ia pasrah dengan keadaan dan menurut dengan ucapan Kitaro.

Sudah diputuskan, bahwa Hiroshi akan membawakan gambar, Tadao menari, dan Kitaro bernyanyi.
Seperti biasanya, Kitaro dan Hiroshi pulang bersama. Mereka berdua saling berbagi di tengah jalan menuju desa kesayangannya. Untung saja, jalan yang mereka lewati beraspal. Jadi, mereka bisa berjalan dengan santai. Jalan yang rata, membuat permukaan kaki nyaman. Berbeda dengan jalan bertanah yang becek jika hujan dan kering ketika musim panas.

“Ngomong-ngomong, rumah Tadao di mana, ya?” tanya Kitaro setelah kesunyian menghantui mereka. Hiroshi berhenti sejenak lalu, ia kembali berjalan sambil menggendong tasnya.

“Entah, aku belum sempat bertanya soal itu,” jawabnya dengan singkat.

“Hiroshi, aku masih ragu dengan tugasnya. Masa iya, kita suruh bernyanyi sama menari. Memangnya, kita harus membawakan lagu apa? Tarian apa juga? Maksud Bu Nami itu dance?”

“Yang jelas, lagu klasik. Masa iya, membawakan lagu pop. Untuk tariannya, pasti tarian adat dong. Gak mungkin, kita suruh ngedance.”
Setelah tiba di pertigaan, Kitaro dan Hiroshi berpisah. Hiroshi berbelok ke arah kanan dan Kitaro belok ke arah kiri.

***

“Ini novelnya. Selera kamu rendah, ya?” tanya Izumi sembari memberikan novel yang ia pinjam kemarin. Bukannya berterima kasih, ia malah menghina selera Hiroshi. Wajar, jika selera seseorang berbeda.

“Hm,” Hiroshi langsung mengambil novelnya lalu, kembali berjalan menuju kamarnya. Ia mulai melepas tas dan menaruh novelnya di atas meja. Setelah itu, barulah ia turun ke bawah untuk mandi.

Sebentar lagi matahari terbenam, ibu harus memasak makanan untuk makan malam ini. Ia dibantu oleh Izumi. Sudah lama, Izumi tidak memasak. Terpaksa sekali ia harus membantu ibunya memasak. Padahal, dia ‘kan tidak pandai memasak. Baru saja memulainya, Izumi langsung mengacaukan segalanya. Masa iya, memotong bawang saja salah.

“Kamu ini! Bisa memotong bawang tidak? Cuma hal sepele begitu saja tidak bisa!” lirih ibu Hiroshi ketika melihat anaknya menjatuhkan bawang yang sedang ia potong.

“Ibu loh! Coba, Satoru yang memasak. Pasti rasanya hambar kaya perasaan ibu ke aku!” timpalnya dengan nada meninggi.

“Satoru lagi, Satoru lagi. Ada apa sih sama kamu? Hingga membawa-bawa nama adikmu terus?” tanya ibu dengan penuh keheranan. Enggak saat makan, saat pulang sekolah sampai saat ini, Izumi terus membicarakan adiknya.

“Gak boleh, ya? Lagian, Satoru orangnya malas. Gak pernah keluar rumah. Bisanya baca buku, tidur, sama rebahan!” timpal Izumi kesal.

Ibu hanya bisa diam mendengar penjelasan dari Izumi. Ia tahu, bahwa Hiroshi orangnya tertutup. Namun, ia juga paham dengan perasaan Hiroshi yang ditinggal pergi oleh sohibnya. Pasalnya, ibu itu sendiri juga pernah ditinggal oleh orang yang ia sayang.
Akhirnya, mereka berdua selesai masak. Semua makanan telah siap di meja makan. Di saat itu juga, ayah Hiroshi pulang. Ibu dan Izumi langsing menyambutnya dengan hangat. Dipanggillah Kitaro untuk makan malan. Suasana ini begitu hangat, ketika mereka berkumpul seperti biasanya.

“Satoru, kamu mau kuliah di mana?” tanya ayahnya secara tiba-tiba. Padahal, ia baru menginjak kelas 10, tapi ayahnya sudah menanyakan masa kuliah. Mendengar pertanyaan sang ayah, Izumi merasa panas dan iri.

“Masih bingung, Yah. Lagian, Satoru tidak mempunyai bakat apa-apa,” Kini, kakaknya lumayan senang mendengar jawaban dari sang adik.

“Ayah tidak menanyakanku?”

“Memangnya, Ayah harus bertanya apa? Tentang calon suamimu?”

“Ih, Ayah bikin sebel aja. Izumi enggak suka!” sungut Izumi seraya memutar balikkan badannya.

Untuk percakapan malam ini, sampai di sini saja. Hiroshi kembali ke kamar untuk belajar. Tak lupa, ia memikirkan tugas seni budaya yang Bu Nami berikan. Gambar apa yang akan ia pilih untuk presentasi nanti. Lagian, ia kurang paham dengan budayanya sendiri. Walaupun Hiroshi gemar membaca, tetapi ia lebih suka membaca ensiklopedia atau buku-buku lainnya. Untuk sejarah sosial, dia jarang membacanya.

“Kapan menjadi dewasa?” tanya Hiroshi sambil memutar mainkan penanya. Menurut dirinya sendiri, ia masih remaja. Karena sifat bodohnya itu.

Sebenarnya, Hiroshi hanya ingin mempunyai ponsel untuk berhubungan dengan teman-teman lainnya. Mungkin, karena ia malu jika berbicara langsung.

“Satoru, bisakah kamu turun sebentar?” teriak ibunya dari bawah. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul 20.13, tapi ibunya masih saja bisa berteriak. Hiroshi segera turun menemui ibunya yang tengah menonton televisi di ruang tengah.

“Ya! Ada apa, Bu?” tanya Hiroshi sesampainya di ruang tengah. Tampak televisi yang sedang memuat sebuah kabar berita.

“Lihat berita ini. Penculikan kembali merajalela. Besok, kamu jangan pulang terlalu malam, ya. Ibu takut kalau kamu jadi korbannya,” jelas ibunya seraya menepuk pundak Hiroshi. Bukannya mendengarkan berita, ayah Hiroshi malah sibuk dengan koran yang ia baca.

“Iya, Bu. Hiroshi akan pulang lebih gasik lagi,” balas Hiroshi lalu kembali berjalan menuju kamarnya.
Ia mulai membereskan barang-barangnya. Setelah selesai, Hiroshi duduk dan mulai membaca ulang novel yang telah ia baca sebelumnya. Lagi-lagi, ia melihat tulisan yang cukup dicerna itu.
Berhubung hari semakin larut, Hiroshi menutup novelnya serta mematikan lampu kamarnya.

AGAIN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang