Bagian 25

4 3 0
                                    

“Bu, pekerjaan Ayah akan dipindahkan ke Tokyo sekitar 2 minggu lagi,” ucap ayah Hiroshi dengan sedih dicampur bahagia.

“Bagaimana bisa, Yah?” tanya ibu Hiroshi semakin khawatir.

“Kata atasan Ayah, pekerjaan Ayah terlalu bagus di kota ini. Maka dari itu, Ayah naik pangkat dan dipindahkan ke Tokyo, untuk pekerjaan yang lebih besar,”

“Wah, selamat, Yah!” celetuk Izumi. Jam menunjukkan pukul 9 malam, harusnya Hiroshi sudah tidur.

“Terus bagaimana dengan anak-anak dan rumah kita?”

“Ikut pindah ke Tokyo juga,”

“Asyik! Izumi mau, Yah! Izumi mau pindah ke Tokyo,”

Hah? Pindah ke Tokyo? Bagaimana dengan Kitaro, Mitsuko, dan Ayame? Aku tidak mau pindah. Aku ingin tinggal di sini. Aku tidak mau pindah ke Tokyo! Kitaro, Izumi, Mitsuko, aku tidak mau meninggalkan kalian semua!

Gumam Hiroshi sembari menahan tangisnya. Ternyata, ia belum tidur. Ia menguping pembicaraan kedua orang tuanya dari dekat tangga.

“Akhir-akhir ini, Hiroshi sedang bahagia. Kalau kita pindah secepat itu, pasti dia menjadi depresi seperti dulu lagi!” timpal sang ibu.

Depresi? Depresi apaan? Jadi, selama ini aku dianggap orang gila? Aku normal! Aku manusia normal seperti manusia lainnya. Lebih baik aku pergi daripada dianggap orang gila seperti ini. Aku masih waras dan aku tidak setuju dengan sebutan itu!

Ucapnya di dalam hati. Air mata pun tak dapat terbendung lagi. Muncullah sungai di pipi Hiroshi yang mengalir secara perlahan.

“Iya, juga. Namun, Ayah yakin Hiroshi akan lebih bahagia saat dia di Tokyo nanti,”

“Buat apa mikirin Hiroshi. Mending kita ke Tokyo aja pagi nanti,”

Sudahlah, mending aku tidur saja. Selama ini, aku seperti hidup seorang diri. Tidak ada seorang pun yang menganggapku. Bahkan kakakku sendiri. Kenapa aku dilahirkan dengan kondisi keluarga seperti ini? Aku hanya ingin hidup tenang dan damai seperti Kitaro, Ayame, dan Mitsuko!

Hiroshi berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Ia mematikan lampu kamarnya dan baring di atas kasur disertai selimut yang menindihi tubuhnya.

“Yah, Hiroshi belum tidur?” tanya ibu Hiroshi dengan panik ketika mendengar suara langkah kaki dari dekat tangga.

“Sudahlah, Ibu jangan mengada-ada, deh!”

“Itu suaranya siapa, Yah?”

“Suara? Suara apaan? Kayaknya Ibu harus tidur. Halusinasi Ibu semakin tinggi,”

Semoga saja, ini hanya mimpi. Aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Apa aku yang overthinking, ya? Ah, sudahlah. Semua ini tidak penting. Aku cuma berharap, kalau ini hanyalah sekedar mimpi. Aku tidak mau kehilangan teman-temanku!
Hiroshi mulai memejamkan mata dengan bekas air mata di pipinya. Selimut tebal mengarungi Hiroshi dari cuaca nan dingin ini.

Pagi tiba, seperti biasanya, Hiroshi bangun pukul 4 pagi. Ketika ia membantu ibunya bersih-bersih, tiba-tiba Hiroshi teringat akan kejadian tadi malam. Sebenarnya ia ingin menanyakan hal tersebut, tapi rasanya sangat sulit. Hiroshi juga sempat berpikir bahwa ini hanyalah sebuah mimpi.

“Nak,”

“Ada apa, Bu?” tanya Hiroshi, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Tidak ada apa-apa. Kamu sekolah yang rajin, ya. Hingga kamu menjadi orang yang sukses,”

“Iya, Bu. Hiroshi mandi dulu.”
Waktu berjalan sangat cepat, Hiroshi sampai di sekolah dengan lemas, sedangkan Kitaro sampai di sekolah dengan gembira.

AGAIN [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang