Arnan tersenyum memandang layar laptopnya, barusaja dia membobol sistem perusahaan milik Fahreza Artamirguna. Dia hanya ingin membalas dendam dengan melakukan hal kecil, semacam mencuri file kerjasama dan kontrak kerja perusahaan. Reza hanya anak ingusan yang haus akan dendam tanpa memikirkan akibatnya karena sudah salah memilih lawan. Memang, di awal Arnan kalang kabut karena tiba – tiba semua proyek pembangunan di bawah naungan perusahaan tiba – tiba berhenti, para pemilik saham dan investor berbondong – bondong menarik semua dana. Paling tidak, dari kejadian ini Arnan tahu bahwa dia harus lebih waspada dan kuat untuk tetap berada di atas.
"Itu tindakan kekanakan..." komentar mengejek itu datang dari Arsen yang barusaja masuk ke ruang kerjanya membawa dua cangkir kopi, kepulan asap kopi menyerbak wangi membuat pikiran Arnan jernih kembali.
"Terima kasih." Arnan menerima cangkir kopi itu, mencium aromanya kemudian menyeruput pelan. "Ya." Arnan mengakui. "Seperti mencuri biskuit dari anak kecil."
Arsen duduk menikmati kopinya, selama seminggu dia bekerja keras membantu Arnan mengembalikan kestabilan perusahaan dan masalah Kinan, dia sudah menyerahkannya pada Jack.
"Bagaimana kondisi Kaila? Kau sudah berbaikan dengannya?"
Arsen menggeleng, wajahnya tiba – tiba sedih. "Dia masih belum mau menemuiku. Rasanya begitu menyebalkan tidak bisa bertemu istri sendiri. Tapi, aku ambil hikmahnya sajalah... Dengan memikirkan Kaila aman dirumah, Reza tidak bisa menyentuhnya."
"Lalu Kinan dan Adrian?"
"Aku sudah memperketat keamaan untuk mereka. Sampai kondisi Adrian stabil, aku tidak akan membiarkan siapapun mencelakainya."
Arnan mengangguk merespon kemudian teringat sesuatu karena kalimat Arsen barusan.
"Kenapa?" Arsen bertanya saat Arnan tampak memikirkan sesuatu dari balik mejanya. "Kau sudah seminggu di sini. Pulanglah, kak.. Kupikir Freya mencemaskanmu." tambah Arsen hati – hati.
"Kau sering berhubungan dengannya?"
"Dengan siapa?" sebelah alis Arsen terangkat, dia menikmati kopinya kemudian menatap Arnan—menuntut jawaban atas pertanyaannya.
"Freya.."
"Sesekali dia menghubungiku menanyakan apakah Kakakku akan pulang dalam kondisi sehat." jelas Arsen, memang kenyataannya begitu. Freya begitu mencemaskan kondisi Arnan, namun pria itu masih saja tetap acuh pada Freya. Sudah tiga tahun berlalu dan pernikahan kakaknya masih tetap seperti ini. "Pulanglah. Semuanya sudah normal kembali. Aku akan menemui Reza sebelum dia bertindak lebih jauh..."
Fahreza Artamirguna. Arsen awalnya tidak mencurigainya. Tapi setelah perusahaan Arnan kolaps, dia baru tahu, bahwa semua dalang dari bocornya informasi adalah dia. Setelah sekian lama, dendam masa lalu masih membawa di hati temannya itu. Sampai dia harus membawa Kinan dan Putranya.
Arsen menghela napas panjang bangkit berdiri menatap Arnan yang sibuk dengan laptopnya. "Kalau kau tidak mau pulang, aku saja yang pulang..."
"Ya. Pulang sana!" teriak Arnan saat Arsen sudah melenggang keluar dari ruang kerjanya. "Adik kurang ajar!"
[]
Arsen hanya duduk di mobilnya beberapa saat setelah dia tiba dirumah. Pandangannya tertuju pada kursi penumpang di sebelahnya, buket bunga mawar tergeletak indah di sana. Setiap hari sejak hari itu, Arsen tidak berhenti membawakan bunga untuk Kaila. Namun kali ini rasanya ketakutan menyerbunya, nyalinya menciut, benar – benar takut jika nanti Kaila menolaknya, menolaknya, menolaknya lagi dan sampai akhirnya perempuan itu benar - benar membencinya. Arsen tidak mau membayangkan semua itu terjadi.
Arsen mengambil napas dalam kemudian menghembuskannya pelan lalu membulatkan tekad, dia meraih buket bunga itu kemudian keluar dari mobil menuju rumahnya. Asisten rumah tangganya menyambutnya dengan wajah sedih, membuat Arsen bertanya.
"Ada apa?"
"Bu Kaila masih tetap tidak mau keluar kamar." Tutur perempuan paruh baya itu. Semenjak kejadian itu juga, Arsen mempekerjakan bu Ningsih untuk menemani Kaila dirumah.
"Tapi Kaila mau makan kan, bu?"
Bu Ningsih mengangguk pelan.
"Saya akan menemuinya. Terima kasih ya, Bu Ningsih. Bu Ningsih bisa istirahat sekarang."
"Terima kasih, Pak."
Arsen tersenyum kemudian melangkah menuju kamarnya. Dua minggu tidak bertemu Kaila membuat dadanya sakit dan sesak. Dia begitu merindukan setiap moment indah bersama Kaila. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu kamar. Arsen menunduk menatap buket mawar, menghirup aromanya sekilas sebelum akhirnya mengetuk pintu beberapa kali.
"Kai... Aku sudah pulang." Nada lemah dan sedih tercampur jadi satu dalam kalimat itu. Arsen menarik napas lalu kembali bersuara. "Aku membawakanmu buket mawar. Bisakah kau membukakan pintu? Membiarkan aku memberikan bunga ini kepadamu?"
"Tidak!"
Sahutan dari dalam kamar bernada tegas itu menghancurkan hati Arsen. Tidak adakah kesempatan baginya?
"Pergi Arsen! Aku tidak mau melihatmu!"
Sekali lagi, rasanya hati Arsen sudah hancur berkeping – keping. Lelaki itu menggigit bibirnya, mengerjap beberapa kali mengenyahkan air mata yang hendak turun.
"Aku minta maaf..."
"Minta maaf?!Jika kau tidak tahu dimana letak kesalahanmu, jangan minta maaf."
"Aku salah karena menyembunyikan ini. Tapi, aku harus menyembunyikannya."
"Bahkan pada istrimu sendiri?"
"Ya." Jawab Arsen dalam satu tarikan napas, namun dia buru – buru kembali melanjutkan, "Percayalah kepadaku. Aku tidak berselingkuh.." terang Arsen.
"Semua suami akan berkata seperti itu saat sudah ketahuan. Pergi! Pergilah urus perempuan itu!"
Tangan Arsen yang memegang buket bunga terkulai lemas di sisi tubuhnya, dahinya menempel pada pintu kayu itu. Dia belum bisa memberitahu Kaila. Lama dia seperti itu sampai akhirnya Arsen membalikkan badan. Dia bersandar pada pintu kemudian tubuhnya perlahan merosot – Arsen terduduk di lantai bersandarkan pintu.
"Aku ingin kau memberiku waktu untuk menyelesaikan semuanya. Hanya satu yang kuinginkan, Kaila. Kepercayaanmu. Aku tahu kau trauma akan skandal Ayahmu, tapi aku bukan Ayahmu..." Arsen mengisi paru – parunya dalam dan menata kalimat selanjutnya.
"Saat menjabat tangan Ayahmu dan mengucapkan ijab qobul saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan melakukan hal yang kau benci, Kai. Aku menyerahkan hidup dan matiku, kesetianku hanya untukmu."
Di dalam kamar, posisi punggungnya bersandar pada pintu, Kaila membekap mulutnya untuk meredam tangis. Mata perempuan itu terpejam selama Arsen berbicara. Menahan sesak dalam dadanya dan menahan keinginan membuka pintu.
"Ku mohon! Percayalah padaku, Kaila... Kumohon!"
Kaila semakin kuat membekap mulutnya. Kedua bahu naik turun karena tangisnya sudah pecah. Dua minggu Kaila menahan semuanya sendiri. Ketakutan semakin memenuhinya sampai Kaila rasanya tenggelam di dasar jurang, namun dia masih bisa bertahan karena...
Kedua tangan Kaila perlahan turun ke perut. Dipeluknya perutnya dengan erat seakan memeluk bayinya. Bayinya bersama Arsen. Hanya bayi ini yang akan mencintainya dengan tulus dan tidak akan mengecewakannya, karena Kaila berjanji akan memberikan yang terbaik untuk bayinya. Entah kenapa, bayangan Arsen muncul dengan senyum memeluknya, lalu sirna seperti asap karena itu hanya sebuah bayangan. Kaila tidak mau larut dalam ekspetasinya dan dia harus menantang realita kehidupan untuk tetap bisa bertahan.
[]
Saya sampaikan permintaan maaf saya untuk kalian yang sudah setia menunggu Cerita Minister Falling In Love.... kemarin - kemarin masih belum up ya... dan kali ini, cerita ini akan saya up setiap hari sabtu.
Kenapa?
Karena tinggal beberapa part, cerita ini akan tamat....
Untuk Cerita Still With You, memang akan update setiap hari sampai bulan November ini habis....
Tolong berikan banyak vote untuk cerita ini dan komentar kalian... terima kasih...
Sampai bertemu hari sabtu....
KAMU SEDANG MEMBACA
Minister Falling In Love [Tamat]
Romance[18+] Single... Masih Muda... Mapan... Tampan... Anak Pejabat... Dan sekarang menjabat sebagai menteri termuda... Hidupnya sempurna..... Itulah gambaran tentang kehidupan seorang Arsenio Akbar Candrakanta... Tapi, siapa yang tahu, di tengah kehidupa...