34. Masalah Baru

623 72 0
                                    

Hanya bunyi pendeteksi jantung yang terdengar di ruangan itu. Ruangan dengan nuansa putih, seseorang di sana terbaring lemah di atas ranjang. Dengan memakai selang oksigen.

Infus melekat di tangannya, wajahnya pucat pasih. Matanya tertutup rapat, hanya ada dua orang yang menjaganya di ruangan itu.

Vina menatap sahabatnya itu sedih. "Maaf Vina terlambat nyelamatin Rara," ujarnya di sebelah ranjang tempat Rara terbaring.

Mata Vina berkaca-kaca. "Bangun Ra," lirih Vina.

Vina memilih duduk di kursi tepat di sebelah Rara. Ia menunduk, menyembunyikan segala kesedihannya.
Sedangkan Airin di sudut sofa sana, hanya diam memandangi Vina.

Vina menahan air matanya agar tidak menyeluruh. Sakit rasanya melihat sahabatnya seperti itu sekarang, ada penyesalan di hati Vina. Dulu ia begitu banyak waktu luang untuk bersama Rara, namun kini, entahlah
terlalu sulit menjelaskannya.

Tatapan Vina beralih ke arah perut Rara, tiga kali tusukan benar-benar menancap di sana. Andra, iya Andra yang melakukannya. Sungguh gila itu menurut pemikiran Vina, untungnya Andra sudah di amankan oleh pihak polisi.

Di basecamp itu, semuanya tampak sudah di rencanakan Tuhan. Mengirimkan penyelamat hidup Rara, bukan, belum tentu Rara akan selamat.

Vina mengelus pipi Rara. "Bangun Ra," bisiknya.

Seakan memang nyata, perlahan Rara membuka matanya. Vina sontak memeluknya. Bahagia.

"Akhh."

Vina melepaskan pelukannya. "Maaf Ra, Vina kuat banget meluknya."

Sakit, itu yang pertama kali Rara rasakan. Sakit di perutnya. Ia menatap ke arah Vina yang menatapnya penuh tanya. Lalu ia beralih menatap langit-langit ruangan itu.

Ingatannya berputar. Rasa sakit kembali menyerang saat mengingat kejadian itu, saat di mana sebuah benda tajam dan begitu mengkilat menancap di perutnya. Bukan hanya sekali, melainkan tiga kali. Rasanya begitu ngilu, entahlah apa hal yang akan rusak di buat pisau itu.

"Vi-vina." Panggil Rara tersendat-sendat.

"Iya?"

"Haus."

Wajar saja Rara haus, terhitung lima hari ia tak sadarkan diri saat dirinya terpaksa harus di operasi. Iya operasi.

Vina menatap Rara ragu. "Belum boleh kayanya." Rara mengeryit bingung dengan perkataan Vina.

"Kata dokter, belum boleh minum karena kan baru operasi."

Rara kembali dihujani ribuan pertanyaan, apa yang dioperasi? Apakah ada luka serius? Entahlah yang pasti Rara ingin tahu penjelasan itu semua.

Kini air mata Vina meluruh, ia membungkam mulutnya sendiri seakan menahan isakan tangis. "Salah satu ginjal Rara udah di angkat."

Detik itu juga nafas Rara tercekat, dunianya seakan terhenti. Cobaan apa lagi ini? Apa yang akan terjadi setelah ini, apa umurnya tak akan panjang lagi.

Rara menggeleng lirih. "Gak." Tangisnya pecah, bahunya bergetar. "Terus gimana?"

"Vina juga bingung." Vina menghembuskan nafasnya gusar. "Vina pengen donorin ginjal, Vina," lanjutnya.

"Enggak."

Tangis Rara kembali menjadi-jadi, ia menatap sekelilingnya. Menatap Airin di sana.
Sedetik kemudian ia tergelak, entah apa yang membuatnya tergelak. Sungguh aneh apa yang sedang di pikirkan dirinya.

Ia menyeringai, lalu menghapus air matanya. Ia tetap mudah menghapus dengan tangannya, walau terpasang infus.

"Gak pa-pa." Rara tersenyum. "Aku senang, itu artinya hidup aku bakalan gak lama lagi. Semua penderitaan aku bakal berakhir Vina."

Anggara (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang