35. Ada Saatnya Bahagia

720 90 4
                                    

"Ra makan dong."

Kini Vina dan Rara tengah berhadapan di meja makan. Tampak Rara tak berselera untuk makan, kemarin malam dia memaksa untuk keluar dari rumah sakit. Meski jaitan pada area perutnya belum benar-benar kering, namun ia tetap memaksa.

"Gak selera Vina." Rara hanya mengaduk-aduk bubur yang ada di hadapannya. "Masa makannya bubur, di mana harga diri aku?"

"Harga diri apa sih?" Vina tergelak, lalu kembali melahap makanannya. "Lagian kan dokter bilang belum boleh, makan makanan yang keras."

"Sejak kapan ada makanan keras? Bukannya minuman keras?"

Vina tergelak tak menanggapi pertanyaan Rara. Ia fokus dengan makanannya.

Kini Rara berada di rumah Vina, rumah megah bercorak putih. Yang Rara bingung kan setiap ia datang ke sini, orang tua Vina tak pernah ada. Apa Vina selalu sendiri?

"Vina, orang tua kamu gak pernah di rumah?"

"Kerja."

"Kapan pulangnya?"

"Gak tau."

Hanya jawaban singkat yang di lontarkan Vina. Mungkin ia tak ingin membahas tentang orang tuannya.

Rara berdiri. "Jalan-jalan yuk."

"Apa?!" Untuk pertama kalinya Vina berbicara dengan nada tinggi. Vina menghela nafasnya. "Rara kan masih sakit, ntar tambah sakit."

Rara diam. "Setidaknya aku bisa nikmati sisa hidup aku,  Vina. Sebelum semuanya benar-benar berakhir."

"Gak bakal ada yang berakhir Ra. Vina bakal donorin ginjal Vina."

Rara tersenyum singkat, lalu mulai melangkahkan kakinya. "Mau kemana?" tanya Vina.

"Mau nyari angin."

Vina sontak berdiri. "Vina temanin."

"Gak perlu, aku pengen sendiri dulu."

••••

Rara termenung di dekat taman yang tak jauh dari rumah Vina, sesekali dia memandang ke atas, langit biru dipenuhi awan.

Posisinya sedang tiduran di rerumputan, dengan kedua tangannya sebagai bantalan kepalanya. Sekarang rasanya lebih baik, rasa sakit pada jaitan diperutnya tak terasa lagi.

"Sayang."

Seseorang tiba-tiba datang, ia menghalangi pandangan Rara untuk melihat ke arah langit. Orang itu memakai hoodie hitam, dengan huruf 'A' siapa lagi kalo bukan Angga.

"Angga, ngapain di sini?" tanya Rara.

Angga memilih ikut berbaring di sebelah Rara, namun hadapannya bukan ke langit biru, melainkan ia menyamping menghadap ke Rara.

"Istriku sayang." Okeh seperti biasa panggilan tak masuk akal itu muncul lagi. "Coba tebak kenapa aku ada di sini?"

"Tadi gue nanya itu ogeb!"

"Kayaknya frekuensi kita satu jalur sayang. Aku bisa merasakan dan tau keberadaan kamu."

Rara diam sebentar, ia menghadap ke arah Angga. Maka posisi mereka sekarang saling berhadapan. "Gue gak percaya, lo kan bukan cenayang."

Angga semakin mendekatkan wajahnya dengan Rara."Kayaknya kita gak perlu pakek handphone kalo lagi rindu, pakek telepati aja ayang."

"Ayang, ayang, jijik tau gak kalo kamu manggil begituan."

Angga diam, ia memilih semakin mendekatkan wajahnya ke Rara. Semakin dekat bahkan deru nafas mereka saling beradu. Dan...

Plak

Anggara (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang