2. Gombalan Receh

1.8K 234 12
                                    

Pagi ini adalah pagi yang melelahkan bagi Rara pasalnya ia harus bangun pagi untuk merapikan rumah, mencuci piring dan menyiapkan sarapan sebelum kesekolah. Sebenarnya ia sudah terbiasa mandiri seperti ini, karena orangtuanya yang selalu pergi ke luar kota.

Sekarang Rara sudah ada di meja makan,  memakan dengan lahap nasi goreng buatannya sendiri.

Setelah selesai dengan sarapannya, Rara meraih tas sekolahnya, lalu beranjak pergi.

Dengan sangat terpaksa harus berjalan kaki menuju ke sekolah, karena motor ninja kesayangannya sudah di jual oleh laki-laki gila itu. Tunggu bahkan ia tidak tahu siapa namanya.

Kakinya mulai menelusuri trotoar, sembari berdecak sebal. "Gila ya tu anak bisa-bisanya ngejual motor gue, nggak tau apa butuh perjuangan beli tu motor."

"Ganteng sih ganteng tapi gak punya hati," lanjut Rara yang masih belum terima. Ia menapakkan kakinya lebih keras.

"Marah-marah bae, neng." Seseorang menyapanya, sontak membuat Rara mendongak ke samping.

"Sejak kapan lo ngikutin gue?" tanya Rara kesal.

Pria itu melajukan motornya seperti siput, menyesuaikan dengan langkah kaki Rara. "Sejak lo bilang gue ganteng,"

"Skuy neng biar babang ganteng yang nganterin," ucapnya kembali sambil menyisir rambutnya ke belakang.

"Jijay, ogah gue," tolak Rara mentah.

"Ohh, yaudah gue deluan." Seketika ia memacu kecepatannya.

Rara membisu, tak tahu harus berkata apa. Hanya ada satu hal yang menjadi acuan pandangannya, tidak ada cowok yang peka.

"Gila tu cowok ya nggak peka banget bujuk kek, apa kek," sungut Rara. Menghentakkan kakinya keras, ia mengerucutkan bibirnya kesal.

"Oh jadi nengnya pengen dirayu."

"Loh." Rara mengangkat tanganya, menoleh ke depan lalu beralih ke belakang, berulang. "Kok bisa njir."

Kali ini motor itu berhenti, sang empunya menatap lawan bicaranya yang keheranan. "Mana mungkin gue tinggalin cewek seimut lo." Angga menyugar rambutnya.

Pipi Rara mulai memanas, pasokan udara seakan menipis.

"Tapi bo'ong," lanjut Angga sambil tertawa, membuat Rara melotot tak santai. Baru saja speechless sudah di jatuhkan lagi

"Bercanda gue, biar gak tegang-tegang amat kayak kerah anak SMP," ujarnya dengan kekehan renyah.

"Yaudah ayok ntar telat lagi, baperan lo," ucap Angga pada Rara.

"Gak gu--"

"Gak ada penolakan."

Sangat jarang Rara mau di bonceng oleh orang lain, apalagi orang yang baru ia kenali, meski tidak mengetahui namanya. Mumpung gratis, pikirnya.

"Yaudah ayok jalan." Rara mengintrupsi sembari menepuk pundak Angga pelan.

"Yaudah." Mesin motor itu mulai dinyalakan. "Jadi nengnya mau langsung ke KUA nih."

"Apaan sih."

Angga terkekeh, lalu melajukan motornya dengan kecepatan yang santai membuat perempuan yang sedang diboncengnya kesal.

"Ih lama banget sih lo bawanya," ujar Rara sambil menepuk bahu Angga.

"Pegangan."

"Modus."

Angga menyeringai, mengendarai motor nya layak nya pembalap membuat Rara refleks memeluk pinggang Angga.

"Pelan-pelan kali, gue belum mau mati."

***

Tak butuh waktu lama bagi mereka sampai di sekolah, Rara turun dari motor dengan wajah murung. Kesal setengah mati, serasa nyawanya baru saja dipertaruhkan.

"Makasih," ucap Rara jutek.

"Yaelah neng jutek banget," sahut Angga menanggapi.

Rara menarik nafas nya dalam-dalam,  mulai berbicara berhadapan dengan Angga.

"Makasih ya Angga."Senyum sumringahnya terpaksa, memperlihatkan gigi gingsul.

"Sama-sama," ucap Angga terkesima.

Mana nih karung biar gue karungin aja, terus bawa pulang, batin Angga menatap Rara lekat.

"Yaudah gue deluan," ketus Rara kembali pada jutek.

"Baru aja manis kayak madu, udah berubah lagi jadi mak lampir." Angga bermonolog.

Rara menuju ke mading untuk melihat di mana kelasnya, kerena memang hari ini adalah pembagian kelas. Rara menemukan namanya tercantum di sana dan ia masuk ke kelas XII IPA 2 karena memang kepintaran Rara biasa-biasa saja.

Disini lah Rara sekarang, ia memilih kursi yang nyaman untuk ia duduki bersama Vina, ya Rara memang berencana duduk bersama Vina sahabat kecilnya itu.

Ia duduk dan merogoh ponsel ditasnya. Bukan Instagram, Facebook, atau pun Twitter yang ia lihat, sama sekali tak tertarik. Bila ia sudah memegang ponsel pasti ia akan bermain game atau membuka wa ataupun sedang menelepon.

Mulai asik dengan game yang ia mainkan, Rara tak peduli lagi dengan sekitarnya.
Secara tak terduga, seseorang menarik ponselnya.

"Dikit lagi gue menang bego!" umpat Rara kesal.

"Jangan marah dong neng."

"Mau lo apasih?!" geramnya setengah mati, seakan ingin melahap Angga hidup-hidup.

"Ih mau babang itu eneng," ucap Angga dengan menirukan gaya Rara.

"Balikin hp gue."

"Enak aja, gue mau minta id line lo dong."

"Gue gak pake line," runtuknya.

"Whatsapp aja deh." Ia lalu mengutak-atik ponsel Rara, setelah itu mengembalikannya.

"Nomor gue udah ada disitu kalau lo butuh gue, chat aja."

"Hm." Kembali ia memainkan game, namun ia tidak nyaman dilihatin oleh Angga yg sedari tadi belum pergi juga.

"Ngapa lo belum pergi."

"Gue kan masuk kelas ini."

"APA!" teriaknya membuat seisi kelas menatap mereka berdua.

"Biasa aja kali, seneng banget ya lo?" Ia mencolek dagu Rara.

"Eh, jantung nyamuk sedikit pun gak ada rasa seneng dihati gue, malahan nih ya semangat buat gue hidup aja udah gak ada karena sekelas dengan lo," jelas Rara panjang lebar.

"Masa sih," goda Angga. Rara sangat jengah menghadapi bocah satu itu, ia melayangkan tangannya di depan wajah Angga.

"Milih yang mana lo? Kiri sengsara dulu sebelum mati, kanan lo bakal langsung mati di tempat?" Rara melotot tak santai, membuat Angga selangkah mundur.

"Ihh Ra ada apa tuh dimata lo," tunjuk Angga.

"Apaan?"

"Terang banget, kayak masa depan kita."

CIEE

Seisi kelas tertawa melihat interaksi mereka.

Blush, pipi Rara memanas.

"Muka lo merah banget Ra kayak darah." Angga menggoda.

Bugh

Rara muak, ia melayangkan pukulan kiri tepat dibahu Angga. Membuatnya meringis kesakitan, mulai meragukan gender Rara.

Anggara (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang