31. Mengapa

722 69 10
                                    

"Tak semua hal yang kamu lihat, memang benar adanya."
Rara Angeline

Degup jantungnya berpacu cepat dengan waktu. Detik itu juga air matanya meluruh, seluruh badannya bergetar. Badannya seperti membeku. Mati rasa.

Ia terus mencoba menalar, apa yang ada di hadapannya ini, ingin tetap konsisten terhadap apa yang ia yakini. Rara berjongkok, mengarahkan jarinya ke hidung seseorang yang tepat ada di hadapannya saat ini.

Tangannya bergetar hebat, Rara membungkam mulutnya sendiri, tak percaya. Badannya bergetar karena rasa sakit yang detik itu juga menerpa. Air matanya, tak berhenti keluar, dengan isakan yang terdengar pilu.

"Fathan bangun," lirih Rara sambil mengguncang bahu Fathan. Iya itu Fathan, badannya berlumuran darah, sedangkan di sebelah badan Fathan, terpatri sebuah pisau tajam.

Rara kembali pilu nafasnya sesenggukan. Rasanya dirinya benar-benar terpukul, seperti ada yang menghantam sesuatu di hatinya. Rara melirik pisau yang ada di sebelah Fathan, lalu mengambilnya.

Malam ini mungkin akan menjadi malam yang paling memilukan. Hanya lampu jalanan yang menerangi penglihatannya saat ini.

Tepat di depan basecamp geng Raxic, hanya ada tangis pilu Rara. Di sana darah berceceran dimana-mana. Tiba-tiba suara motor benar-benar terdengar nyaring, dan suara itu mendekat ke arah Rara saat ini.

Bunyi rem sangat memekikan, setelahnya hentakan kaki secara bersamaan yang terdengar.

"Rara." Seseorang memanggil namanya. Rara menoleh ke belakang, saat itu juga mereka melihat wajah Fathan, meskipun gelap namun semuanya mengenali itu adalah Fathan. Mata mereka sontak melotot tak percaya.

Mereka menatap Rara penuh tanya, setelahnya mereka melirik secara bersamaan pisau yang ada di tangan Rara.

"Apa yang udah lo lakuin Ra?" Dafi bertanya tak percaya, nafasnya terengah. Sembari ia semakin mendekat ke jasad Fathan.

Rara melirik mereka bergantian, dia menggeleng lirih. "Gue juga gak tau." Rara menangis sesenggukan. "Gue baru datang dan ngeliat ini semua."

"Gue gak percaya lo ngelakuin ini Ra."

Seseorang benar-benar menuduh Rara dari kata-katanya. Orang itu memilih berdiri paling depan, yang tadinya ia ada di belakang.

Rara sontak berdiri, benar-benar berhadapan dengan orang itu. Emosi dan kesedihan menerpa dirinya saat itu juga. "Maksud lo apa?" tanya Rara penuh penekanan, dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Orang itu menggeleng, ia tersenyum sinis. "Lo udah bunuh Fathan, bukti udah nyata." tuduhnya.

Semua orang di sana benar-benar sudah termakan oleh omongan Andra, ya orang itu Andra. Seketika semuanya merasa emosi.

"APA YANG ADA DIPIKIRAN LO SAMPAI NGEBUNUH FATHAN!"

"DARI AWAL EMANG LO GAK COCOK MASUK RAXIC!"

"MUKA LO AJA YANG MANIS, GAK TAUNYA PEMBUNUH!!!"

Teriakan terdengar saling bersautan, bahkan Dafi sahabatnya juga tidak percaya dengannya. Rara tak sanggup lagi, tangisnya benar-benar pecah, ia melihat Andra yang benar-benar tergelak mengejek.

Rara menunjuk-nunjuk Andra. "Lo bilang apa yang sebenarnya terjadi!" suruh Rara tegas.

Andra tergelak. "Yang sebenarnya terjadi, lo itu ngebunuh Fathan."

Rara bersimpuh, ia menangis pilu. Apa ini jebakan? Andra menyuruhnya datang ke basecamp. Lalu apa sekarang, apa maksud Andra menjebaknya.

"Gue gak ngebunuh Fathan."

Hanya beberapa detik, tuduhan pembunuhan itu benar-benar terngiang-ngiang di kepalanya. Sedangkan mereka semua yang ada di hadapan Rara menatapnya emosi.

Dafi berjongkok tepat di hadapan Rara. "Lo bukan sahabat gue lagi. Lo pembunuh"

Rara histeris, ia menengadahkan kepalanya. "Gue bukan pembunuh. Bukan. GUE BUKAN PEMBUNUH!"

Andra menarik nafasnya dalam. "Panggil polisi!" suruhnya tegas, Rara kini shock. Tak bisa dipungkiri lagi, bagaimana sakit hati yang ia rasakan saat ini.

••••

Suara sirine polisi dan ambulance terdengar beriringan. Terdapat Rara di dalam mobil polisi, dengan kedua tangan yang terborgol, tak tau nasib kedepannya.

Ambulance yang ada di sebelah mobil polisi membawa jasad Fathan. Apa Fathan benar-benar sudah pergi? Tak ada kepastian.

Saat sudah sampai di depan kantor polisi, Rara tetap bungkam, ia keluar dari mobil berwarna hitam putih itu. Seketika banyak kamera yang menyorot dia. Rara yang masih menggunakan baju lengan panjang itu tetap bungkam.

Setelah itu dirinya benar-benar ada dibalik jeruji besi, masih dengan menggunakan baju hitam berlengan panjang, bukan baju oren yang biasa dipakai tahanan. Status Rara di tetapkan sebagai tersangka, tak ada hal yang mampu merubah nasibnya malam ini.

Rara berjongkok di lantai, kepalanya ia senderkan ke belakang."Kenapa? Kenapa gue gak pernah bahagia?" batin Rara.

"Angga tolong gue," lirih Rara.

"Gue gak sanggup." Entah sudah berapa jam Rara menangis. "Gue pengen Tuhan cabut nyawa gue detik ini juga, sakit rasanya."

"Aku mohon Tuhan, ambil nyawaku." Kalimat begitu frustasi. Rara memegangi dadanya yang begitu nyeri.

📃📃📃📃


Halo kalian apa kabar?

Ini partnya sedikit yaa, sorry
Author lagi banyak tugas
Tapi tetap bakal up dalam seminggu
Jangan lupa Vomment
Thanks for support

Salam

Lyra


Next....

Next

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Anggara (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang