12.IF IT'S MEAN TO BE, IT WILL BE

80 5 0
                                    

Setelah aku menyelesaikan prosedur penyewaan yacht untuk besok sore, aku kembali mendekati Tee yang sedari tadi tak mengeluarkan komentar apa-apa. Dari dahinya yang mengerut dan alisnya yang bertautan, aku tahu ia jengkel dan tidak setuju dengan keputusanku yang mengikut sertakannya dalam kegiatan besok.

Tentu saja aku melakukan hal ini bukan tanpa alasan. Aku sadar hanya berduaan dengan Sawana dapat mengundang masalah yang tidak kami perlukan sekarang. Walau orang-orang di pulau ini kelihatan tidak peduli akan urusan orang lain, tapi kalau aku hanya pergi berdua dengan Sawana, siapa yang bisa menjamin muka kami tidak akan menjadi cover depan tabloid gosip minggu depan?

Namun seakan tidak mengerti apa yang kupikirkan, Tee benar-benar menunjukkan bahwa ia ingin sekali aku menghabiskan waktu berduaan dengan Sawana di pulau ini, dan jujur aku tidak mengerti kenapa Tee bertingkah seperti itu.

Setelah kupikir-pikir, perilaku ini terjadi sesudah ia mengalami kecelakaan. Ia memang melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan sebelum kecelakaan, seperti memasak (diluar dugaan masakannya sangat enak) dan minum teh chamomile di pagi hari, tapi tindakannya yang seakan ingin menjodoh-jodohkan diriku dengan Sawana, lama-lama membuatku sedikit terusik.

Aku tahu sebelum kecelakaan Tee menaruh perhatian pada Sawana, itulah mengapa, walau tidak begitu ketara, dulu ia sering sekali mengganggu dengan cara-cara halus karena aku adalah satu-satunya sahabat Sawana. Tapi sekarang Tee bukan hanya kehilangan rasa tertariknya pada Sawana, tapi juga kelihatan bersemangat mendukung hubungan kami berdua. Tindakannya berbalik 180 derajat.

"Kau pasti kelelahan setelah pemotretan, apa kau mau langsung istirahat di kamar?" tanyaku, sejak aku berdiri di hadapannya Tee sama sekali tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku dengan sengit.

Tee menganggukan kepalanya kemudian berjalan melewatiku menuju lift. Dalam perjalanan kami menuju kamar, Tee masih menutup mulutnya rapat-rapat, aku pun membiarkannya. Sepanjang mengenal Tee, aku tahu saat marah pemuda itu akan menolak untuk bicara. Kalau begini bisa-bisa Tee akan mengabaikanku sepanjang liburan.

Namun aku sudah bertekad dalam hati untuk meng konfrontasinya saat kami tiba di kamar, tapi ternyata hal itu tidak perlu. Karena sesaat setelah aku menutup pintu kamar, Tee sudah menyemburkan kekesalannya.

"P'Tae aku tidak akan ikut bersamamu dan Sawana besok. Aku ingin tidur di kamar saja seharian" katanya sengit seakan tidak mau menerima bantahan dariku.

Dan lagi-lagi aku kembali dikejutkan dengan sikapnya sekarang. Dulu saat marah Tee tidak akan pernah berterus terang akan alasan kemarahannya. Saat marah Ia akan diam, mengabaikan orang yang menjadi sumber amarahnya, dan membuat orang lain bertanya-tanya.

"Aku punya beberapa alasan kenapa aku ingin kau ikut . . ." kataku berusaha menjelaskan, "Pertama aku tidak ingin kau sendirian. Kondisimu sedang tidak fit, dan aku tidak akan tenang kalau meninggalkanmu di hotel-"

"Aku sama sekali tidak keberatan kalau harus sendirian, aku baik-baik saja dan P'Tae tak perlu mengkhawatirkanku. Jadi sekarang pun Phi bisa pergi jalan bersama Sawana menikmati pulau ini" cerocos Tee memotong kalimatku yang belum selesai.

Mendengar kata-kata Tee, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dan menekan hatiku. Aku tahu Tee adalah pria dewasa yang sebetulnya tak perlu ditemani. Tapi entah mengapa aku tidak bisa membiarkannya sendirian.

Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi sejak Tee berlari memelukku dengan binar penuh cinta saat ia terbangun dari komanya, dan ketika melihat sorot penuh cinta itu berubah menjadi kesedihan saat aku mengatakan bahwa ia bukan Beam dan aku bukan Forth, perasaan untuk terus berada di samping Tee dan menjaga pria itu tiba-tiba saja bertumbuh dari dalam diriku.

Give Me Back My Life As Beam!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang