26. Sebuah Pintu Maaf

124 8 0
                                    

"Darimana sama Aaron?" tanya Ari yang melihat Aleya membuka pintu utama.

"Dari ketemu tante Rika, tantenya Aaron." Jawab Aleya kemudian ikut duduk disamping Ari.

Aleya menyandarkan kepalanya kepada pundak yang tak lagi kokoh seperti dahulu. Ari kini semakin menua membuat Aleya merasa sedih dan bersalah telah meninggalkan papanya selama hampir lima tahun untuk melakukan sesuatu hal yang nyatanya tak mmebuahkan hasil sama sekali.

"Ngapain?" tanya Ari lagi.

"Al mau minta tolong buat ikut bantu bantu di kliniknya tante Rika." Ari mengernyit tak mengerti.

"Loh? Bukannya kamu udah nerima lamaran di golden health hospital yah? Kata Coki gitu."

Aleya mengangguk. Rasanya ia belum terima jika dirinya harus kembali bekerja disana. cukup banyak kenangan yang ia miliki disana ditambah lagi ia akan semakin sering bertemu dengan Abe tentunya.

"Gak ada apa apa sih. Cuma pengen balik kerja disana aja pa." jawab Aleya sekenanya.

Ari tersenyum mendengarnya kemudian jemari tuanya terangkat membelai kepala Aleya penuh kasih.

"Papa bangga sama keputusan kamu. Papa senang kamu memilih tidak menghindar lagi dari masa lalu kamu." Balas Ari.

"Iya pa."

Ari berdehem kemudian kembali mengeluarkan suaranya.

"Papa kalau boleh jujur, papa akan senang kalau kamu memilih kembali dengan Abe. Papa tau dia lelaki yang baik. Tapi, semua keputusan kembali ke kamu. Papa tidak punya hak sama sekali untuk mengatur kehidupan percintaan kamu. Mau kamu bersama Aaron papa juga senang dia lelaki yang baik."

"Tapi mungkin kamu lebih baik untuk mendengarkan alasan Abe saat menghilang dulu. Papa yakin semua sesuatu itu punya alsan, Abe tidak akan meninggalkan kamu dan diam saat pernikahan kamu dibatalkan begitu saja. Dia puny alasan yang kuat untuk menjelaskannya." Tambah Ari.

Aleya mengangguk paham. Ia paham papanya tak akan memaksa dan menuntutnya untuk kembali bersama Abe. Untuk saat ini dirinya hanya butuh keyakinan dan pondasi yang kuat untuk mendengarkan alasan Abe. Keyakinan untuk percaya pada apa yang Abe ucapkan dan pondasi untuk menahan pertahanann yang ia bangun selama hampir lima tahun ini.

"Kalau papa tau alasannya, kenapa gak papa aja yang ngomong ke ALeya?" Tanya Aleya.

Ari terseyum menatap putrinya yang kini telah tumbuh menjadi wanita yang begitu kuat dan berpendirian. Ari tau betapa besar karang yang telah Aleya lalui disepanjang 24 tahun hidupnya. Aleya bukanlah wanita lemah seperti dulu. Ia bukanlah Aleya yang dengan mudah menangis saat mamanya mengatakan hal buruk kepadanya, bukan Aleya yang cengeng saat Abe meninggalkannya tanpa kabar.

"Sama seperti yang papa lakukan ke kamu papa tidak punya hak mengatur kamu. Maka, papa juga tidak punya hak untuk menceritakan alasan Abe ke kamu. Biar kamu yang mendengarnya langsung ke Abe."

Aleya mengangguk paham, sungguh beruntung dirinya memiliki papanya.

"Papa sama seperti kamu. Papa orang pertama yang merasa sangat kecewa kepada Abe setelah melihat dia meninggalkan kamu begitu saja dan tidak melakukan apapun setelah keluarga kita membatalkan pernikahan kalian. Papa marah dan sangat marah karena kedua putri papa jatuh cinta kepada orang yang salah." Jelas Ari.

"Tapi tahun ketiga setelah kepergian kamu ke Jerman Abe datang dan meminta maaf menjelaskan smeuanya hingga papa paham. Mau bagaimanapun papa lelaki yang harus paham situasi Abe saat itu."

Aleya berdehem ia tak ingin Ari melanjutkan ceritanya. Ia terlalu takut pertahanannya benar benar hancur hanya dengan mendengarkan perkataan Ari.

"Pa, ALeya mau ke kamar dulu. Mau istirahat." Pamit Aleya.

AnxietyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang