Happy reading
*****
Minggu ini, Ayu, Husna, dan Nayla pergi ke mini market untuk membeli keperluan mereka. Begitupula dengan beberapa santriwati yang lainnya. Maudy tidak ikut, karena minggu lalu, ia sudah membeli stok keperluannya disini.
Alhasil, kini Maudy duduk sendirian di taman asrama. Daripada sendirian, lebih baik ia ke danau. Lagi pula, sudah lama ia tak berkunjung ke sana. Toh, tidak ada yang melarang. Sekaligus ia ingin mencari udara segar disana. Maudy menghela napas sejenak, kemudian beranjak pergi meninggalkan asrama.
Lama ia berjalan, akhirnya sampai juga ke danau itu. Masih sama seperti pertama kali ia kesana. Ia memutuskan untuk duduk di bawah pohon favoritnya disana. Meluruskan kakinya dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi rongga paru-parunya. Ah, ia jadi ingat dengan Bandung. Apa kabar dengan kota kelahirannya itu? Apa kabar dengan teman-teman dan keluarganya disana? Apakah baik-baik saja? Semoga jawabannya iya.
Lama Maudy merenung, hingga akhirnya ia dikejutkan dengan suara mendengkur yang cukup mengganggu menurutnya. Ia berdiri seketika.
"Hii, kok ada suara tapi nggak ada orangnya gini? Merinding deh gue. Jangan-jangan, yang dibilang Aira bener lagi. Ada jin penunggu nya disini. Hii ... serem ah, mending gue pulang aja." Maudy memeluk dirinya sendiri, sebisa mungkin ia berusaha untuk tenang.
Baru Lima langkah menjauh, suara itu sudah tidak ada. Berganti dengan suara bariton khas remaja seusia nya.
"Enak aja lo bilang! Orang ganteng gini lo samain sama jin penunggu!" Seorang remaja lelaki sebayanya keluar dari balik pohon di belakang Maudy. Wajahnya tidak tampak, karena ia memakai masker yang menutupinya.
"Hii ... sekarang jin nya ngomong sama gue! Takut ah, mending cepet-cepet pulang, nggak usah noleh ke belakang Mou!" Maudy berusaha secepat mungkin meninggalkan tempat itu, namun sepertinya ada yang menghalanginya untuk bergerak.
Benar saja, ketika ia menoleh, ternyata tangannya dicekal oleh remaja lelaki itu. Sontak saja Maudy berteriak, ia tak berani menatap siapa yang telah menariknya kali ini.
"Huaaa ... ada setan! Bunda tolong bunda! Mou nggak mau diculik setan! Ya Allah, tolongin Maudy ya Allah!"
"Sstt ... lo bisa diam nggak sih?! Tadi lo bilang gue jin penunggu, sekarang setan, lo nggak lihat apa, kaki gue masih napak di tanah nih!" Remaja itu, menunjuk-nunjuk ke arah sepatu putih yang dikenakannya.
Maudy, ia masih bingung. Ia menatap remaja itu dengan intens dari atas sampai bawah. Oh iya benar, kakinya masih napak di tanah. Berarti bukan setan dong. Duh, malu banget gue. Gimana nih?
"I-iya maaf. Gue kira lo jin penunggu disini atau setan. Habisnya, gue kayak dengar suara ngorok gitu tapi nggak ada wujudnya, ya wajar lah kalau gue takut!"
"Gue terima permintaan maaf lo, tapi dengan satu syarat. Lo harus mau berteman sama gue!"
Alis Maudy naik sebelah. "Apa?! Jadi teman lo? Nggak, gue nggak mau." Ia menggeleng kuat.
"Kenapa gue harus jadi teman lo? Gue bahkan nggak kenal sama lo, dan bahkan nih ya gue nggak punya alasan buat berteman sama lo!" Lanjut Maudy.
"Kata siapa nggak ada alasan? Ada kok, yang pertama, kalau lo mau jadi teman gue, gue bakal maafin lo. Yang kedua, karena lo bilang gue ganteng."
"Apa?! Gue bilang lo ganteng? Darimana nya? Gue aja nggak bisa lihat dengan jelas wajah lo yang pakai masker itu, mana bisa gue bilang lo ganteng?" Maudy kesal, ia mengerucutkan bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
ДуховныеMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...