M A U D Y A 🍁21

4.9K 250 3
                                    

Happy reading

*****

Pagi-pagi sekali, tatkala semua masih di dalam kamarnya masing-masing serta Bi Inah sedang memasak, Maudy sudah bersiap untuk keluar. Hanya tinggal mengikat tali sepatu saja. Maudy memilih keluar untuk menenangkan dirinya setelah kejadian menggemparkan bin mengejutkan tadi malam.

Lebih baik, ia keluar sekarang. Toh jika di rumah, itu hanya akan menambah sakit pada hatinya melihat kepura-puraan Fariz. Sebagai adik, Maudy bahagia atas lamaran Azka pada Syifa tadi malam. Namun tidak sebagai perempuan. Hatinya serasa dicabik-cabik. Maka dari itu, ia memilih pergi dulu hari ini. Rencananya, besok ia akan kembali ke pesantren saja.

Ustadzah Farida baru saja keluar kamar setelah mandi, begitupun Ustadz Usman, Syifa serta Fariz. Celakanya, Ustadzah Farida memergoki Maudy yang sibuk mengikat tali sepatu.

"Loh Mou, mau kemana pagi-pagi begini? Nggak sarapan dulu Mou?"


"Mau ke makam bunda, ustadzah. Sama mau refreshing sebentar. Habis itu ketemu Aira sore nanti."

Farida memijit pelipisnya pening. "Waduh, padat banget. Mendingan kamu sarapan dulu deh Mou, nanti kalau sakit gimana? Ya, sarapan ya? Sedikit saja."

"Ng .... nggak usah ustadzah. Mou udah biasa kok nggak sarapan." Gawat, Maudy harus segera mengakhiri percakapan ini.

"Lagi pula, nanti Mou bisa sarapan di jalan. Udah ya ustadzah, Mou berangkat dulu. Nanti takutnya kesiangan terus macet. Assalamu'alaikum."

"Maudy!!!" Sial! Baru berbalik selangkah, Fariz malah datang dan memanggilnya. Mau tak mau, Maudy menoleh ke belakang. "I-Iya ayah? Kenapa ya?"

Fariz berjalan maju, mensejajarkan posisinya dengan Maudy. "Kamu nggak sarapan dulu? Nanti kamu sakit gimana? Kan ayah jadi khawatir, yuk sarapan dulu."

"Ta-tapi yah—."

"Turuti apa kata saya! Cepat lepas sepatu kamu dan duduk di meja makan! Jangan bikin malu!" Bisik Fariz. Maudy menghela napas panjang. Terpaksa, ia membuka sepatunya dan masuk lagi ke dalam rumah.

Mengikuti kegiatan sarapan pagi yang sama sekali tidak menyenangkan—setidaknya bagi Maudy. Kegiatan itu sangat melelahkan, karena Maudy harus memasang senyum sepanjang sarapan untuk meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Kini ia tahu, bakat aktingnya ini menurun dari Fariz. Jika ia ahli dalam menutupi perasaannya yang sebenarnya, maka Fariz ahli bersandiwara di depan semua orang.

*****

Kaki jenjang itu berjalan menyusuri kompleks pemakaman. Menuju makam bunda tercintanya. Seperti biasa, tangannya menggenggam buket bunga lili putih serta sekeranjang bunga mawar dan melati. Ia berjongkok, membelai nisan ibundanya dengan sayang. Ia lalu membersihkan makamnya, mulai dari mencabuti rumput yang sudah memanjang, membersihkan daun-daun yang berguguran, menaburkan bunga yang ia bawa. Tak lupa, ia juga mengirimkan sederet do'a untuk bundanya. Berharap do'anya dapat menjadi penolong bundanya disana.

Andai saja, bundanya masih ada saat ini. Ia pasti sudah menceritakan semua kegundahan hatinya ini pada sang bunda. Dan bundanya pasti akan memeluknya. Maudy rindu saat-saat itu, Maudy rindu sekali. Saat rapuh seperti ini, hanya bundanya yang dapat menguatkannya kembali, namun sekarang, siapa yang akan menguatkannya? Fariz?

Mana mungkin, karena yang paling banyak menggoreskan luka di hatinya adalah Fariz, ayahnya sendiri. Meski Maudy berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis, tetap saja air matanya turun tanpa permisi seperti biasa.

M A U D Y A ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang