Happy reading
*****
Suara tawa bahagia anak-anak langsung meledak membahana ketika mereka melihat Maudy datang menghampiri mereka. "Assalamu'alaikum semuanya! Tante bawa mainan baru loh buat kalian! Nih, dibagi satu-satu ya mainannya!"
"Wa'alaikumsalam!" Salah satu dari beberapa anak itu menerima sekardus mainan yang dibawakan Maudy, sambil sesekali melirik ke arah Jihan yang berada di belakang Maudy.
"Tante, itu siapa?," tanya anak itu kemudian.
Maudy lantas menuntun Jihan untuk ke depan. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Jihan. "Ini keponakan tante, namanya Jihan."
"Umm ... Assalamu'alaikum, salam kenal ya, namaku Jihan. Kalau boleh, aku mau ikut main sama kalian." Jihan tampak gugup saat mengatakannya. Jujur saja, ini pertama kalinya Jihan pergi kesini. Ia terlihat memainkan jemarinya.
Anak itu langsung menarik tangan Jihan, mengajaknya untuk menghampiri kawan-kawan mereka yang lain. Jihan senang, walaupun tidak dijawab, namun Jihan tahu kalau mereka menerima ajakan bermainnya. Maudy mengukir senyum di wajahnya kala melihat mereka bermain bersama. Rasanya indah sekali melihatnya. Bahkan, sesekali Maudy pun ikut tertawa melihat mereka.
Suara ponsel Maudy mengalihkan atensinya dari anak-anak itu. Ia mengambil ponselnya, kemudian memeriksa, siapa yang menelponnya kali ini. Ternyata, Fariz yang menelponnya. Maudy langsung saja mengangkatnya sembari menjauh sedikit dari anak-anak yang sedang bermain.
"Assalamu'alaikum ayah, ada apa ya? Kok telepon Mou?"
"Wa'alaikumsalam nak, kamu sekarang dimana?"
"Oh, ini yah, Maudy ada di panti asuhan dekat kampus Kak Syifa dulu. Ini sama Jihan juga. Malahan, Jihan senang loh yah disini, dia sekarang lagi main sama anak-anak panti."
"Yaudah nak, sekarang kamu bisa pulang nggak? Ada hal penting yang mau ayah sampaikan sama kamu."
Kening Maudy berkerut. "Mau ngomong apa yah? Kenapa nggak lewat telepon aja?"
"Pokoknya kamu cepat pulang ya nak. Ada yang nungguin kamu di rumah. Ayah tutup teleponnya dulu ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam yah."
Maudy cepat-cepat menghampiri Jihan. Ia akan mengajaknya untuk pulang. Sebenarnya, Maudy tak enak hati, karena Jihan sedang asyik-asyiknya bermain dengan kawan barunya. "Jihan, ayo mainnya udah dulu ya. Kakek bilang, kita harus pulang sekarang."
Seperti dugaan Maudy, Jihan langsung memberengut kesal mendengarnya. "Nggak mau tante! Jihan nggak mau pulang sekarang! Jihan masih mau main sama teman-teman!," sungutnya tak terima.
"Tapi Jihan, kakek nyuruh kita cepat pulang. Besok kan Jihan masih bisa main sama teman-teman lagi. Tante janji deh, kalau tante libur, tante bakal ajak Jihan kesini lagi. Dan Jihan boleh main sepuasnya. Gimana?"
Jihan menarik napas. Bagi anak seusianya, ini merupakan pilihan yang sulit untuk diambil. Namun, ini adalah perintah kakeknya, dan Jihan tahu, bahwa dia tidak boleh membantah apa yang dikatakan orang yang lebih tua padanya, selama itu dalam hal kebaikan. Pasti ada sesuatu, hingga kakeknya menyuruhnya pulang saat ini.
"Yaudah, Jihan mau ikut pulang. Tapi janji ya tante?"
"Iya sayang, tante janji deh." Maudy menautkan kelingkingnya pada kelingking Jihan. Mereka akhirnya pamit pada para penghuni panti, sebelum pulang.
*****
"Assalamu'alaikum, Mou sama Jihan pulang nih!," teriak Maudy ketika sampai di depan rumahnya. Ya, sejak permintaan maaf Fariz beberapa bulan yang lalu, Fariz juga meminta Maudy untuk kembali tinggal di rumah itu. Tentu saja, Maudy menerima permintaan itu dengan senang hati.
"Wa'alaikumsalam. Mou, kamu cepat ke kamar kamu terus mandi ya. Nanti, kamu pakai baju yang sudah kakak siapkan di atas tempat tidur," ucap Syifa tanpa basa-basi. Seketika, timbul tanya di benak Maudy. Ada apa sebenarnya?
"Kak, ada apa ini? Kenapa Mou disuruh pulang cepat?"
Syifa malah menyungging senyum, kemudian meninggalkan Maudy sembari menuntun Jihan ke dalam. Hah ... tampaknya kakaknya tak mau menjawab pertanyaannya. Baiklah kalau begitu, Maudy akan ke kamarnya saja, menuruti perintah kakaknya tadi.
Beberapa menit kemudian, Maudy keluar dari kamar mandi. Ia melihat gamis yang tergeletak di kasurnya, lalu ia memakainya. Gamis itu terlihat sangat cantik, warnanya putih dengan taburan motif bunga sakura berwarna pink yang menghiasinya. Oh, ternyata Syifa juga menyiapkan kerudung untuknya. Sebuah kerudung berbahan satin dengan warna pink serupa dengan warna bunga sakura di gamisnya. Tak lupa, Maudy membubuhkan sedikit bedak ke wajahnya dan liptint ke bibirnya.
"Mou? Udah siap belum? Ayo turun, kamu udah ditungguin tuh di bawah." Syifa memasuki kamar Maudy.
"Sudah kok kak, Mou udah siap. Emangnya ada apa sih kak? Mou penasaran banget ini?" Masih Sam seperti tadi, Syifa tidak menjawab pertanyaan adiknya. Ia lalu menuntun Maudy untuk turun ke bawah. Biarkan saja Maudy mengetahui dengan sendirinya nanti.
*****
Suasana ruang keluarga di rumah minimalis itu sangat ramai, penuh dengan suara-suara orang mengobrol. Ketika Maudy turun, otomatis semua perhatian orang yang ada di ruangan itu tertuju padanya. Sontak saja, Maudy menunduk malu mengetahui hal itu. Ia tak tahu, bahwa Revan dan keluarganya akan datang kesini. Oh, ini semakin menambah tingkat penasaran Maudy. Dan yang paling tidak bisa Maudy hindari, kini jantungnya tengah berpacu dengan cepat. Membuat Maudy mati-matian menahan malu, semoga saja, tidak ada yang mendengar suara jantungnya disini.
Baiklah, semua orang sudah duduk di sofa. Minuman dan makanan kecil juga sudah terhidang di meja. Maudy mengatur napasnya, berusaha menyingkirkan rasa gugup yang tiba-tiba menyergapnya.
"Kedatangan kami kesini, kami ingin mengantarkan putra kami, Revan untuk menyampaikan niat baiknya pada Maudy." Jovan—ayah dari Revan buka suara. Ia melirik Revan sejenak, mengisyaratkan agar dia mengutarakan niatnya.
Revan menarik napas. "Bismillahirrahmanirrahim, kedatangan saya kesini, saya ingin mengkhitbah putri Om Fariz, yaitu Maudy, untuk menjadi calon istri saya. Apakah om menyetujuinya?"
"Revan, untuk masalah restu, tentu om merestui. Tapi, semua keputusan ada di tangan Maudy. Om nggak bisa memaksa, jika Maudy sendiri tidak bersedia. Jadi, bagaimana nak, apakah kamu mau menerima khitbah dari Revan ini?"
Maudy memejamkan matanya sejenak. Menjernihkan pikirannya, dan memikirkan keputusan yang telah ia buat. Setelah yakin, Maudy mengatakannya. "Bismillahirrahmanirrahim, Mou akan menerima lamaran Revan. Mou mau jadi istri Revan."
"Alhamdulillah!" Seketika, sorak sorai kegembiraan terdengar disana. Revan langsung mengucap syukur dengan jawaban Maudy. Acara dilanjutkan dengan berdiskusi mengenai persiapan pernikahan, kemudian makan malam bersama. Rencananya, pernikahan Maudy dan Revan akan dilaksanakan satu bulan lagi. Revan pikir, jika semakin cepat akan semakin baik. Maka itu ia meminta melaksanakannya satu bulan lagi. Akhirnya, Revan dapat menepati janji yang ia buat pada Azza-nya di masa lalu.
*****
Terima kasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
30 Desember 2020
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
EspiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...