Happy reading
*****
Dua hari berlalu, dan Maudy masih di rumah sakit. Tidak ada perubahan signifikan yang terlihat pada Maudy. Ia masih tetap murung, jika ditanya, sesekali ia hanya mengangguk atau menggeleng saja. Tatapannya kosong, kadangkala ia menangis, lalu diam, kemudian menangis lagi.
Maudy juga tak mau makan, hampir semua makanan yang diantarkan padanya tak tersentuh sama sekali. Jika Syifa memaksanya, barulah Maudy mau makan, itupun hanya beberapa sendok dan sebagai syarat untuk minum obatnya saja. Makin lama, berat badannya pun turun drastis.
"Mou, makan ya? Sedikit aja," pinta Syifa pada Maudy. Syifa mengarahkan sendok berisi bubur ke mulut Maudy. Namun, Maudy tetap diam.
Hah ... sampai kapan adiknya begini? Syifa sedih melihatnya tak mau makan ataupun bicara. Apa yang harus Syifa lakukan agar adiknya kembali ceria seperti dulu?
"Kenapa Mou? Kok nggak mau makan sih? Nanti nggak sembuh-sembuh loh." Syifa meletakkan kembali mangkuk bubur itu ke meja.
Maudy menghembuskan napas kasar. "Mou bosan kak kalau terus di kamar. Mou pengen pulang ke asrama kak." Akhirnya, Maudy mau bersuara setelah sekian lama bungkam.
"Terus, kalau Mou mau pulang, berarti Mou harus makan biar cepat sehat. Mau ya makan?," Bujuk Syifa sekali lagi.
"Huft yaudah deh, Mou mau makan, tapi antarin Mou ke taman dulu kak, Mou bosan." Syifa mengangguk mengiyakan permintaan Maudy. Jika ini memang bisa membuatnya makan ... maka akan Syifa lakukan. Syifa menuntun Maudy untuk berdiri, sementara tangannya yang satu lagi memegang infus milik Maudy.
Ternyata, taman rumah sakit cukup asri. Pemandangan hijaunya rumput yang dikelilingi oleh beragam bunga berwarna-warni dapat sedikit membangkitkan semangat Maudy kembali.
"Kak Syifa ke kamar aja dulu. Bolehkan Mou sendiri di sini? Nanti kalau udah mau balik, Mou bisa jalan sendiri kok."
Syifa merasa, adiknya masih sedikit dingin padanya. Penyebabnya, mungkin saja karena ketidakadilan yang kerap kali diterima Maudy selama ini. Semoga saja, dinginnya Maudy padanya cepat hilang, Syifa takut jika nantinya Maudy malah membencinya.
"Yaudah Mou, kalau mau kamu begitu. Kakak balik dulu ya."
Ah, lagi-lagi air mata itu keluar tanpa permisi. Jujur saja, Maudy sudah lelah untuk menangis, ia ingin berhenti, namun tatkala ia sedikit saja mengingat kejadian itu, ia langsung menangis. Rasanya amat sakit. Bisakah seseorang menghilangkan rasa sakit ini untuknya?
*****
Seorang lelaki terlihat tengah mengintip Maudy dari seberang sana. Kemudian, ia memanggil seorang bocah perempuan yang mengenakan pakaian rumah sakit. Kira-kira, umurnya sekitar 6 tahun. "Dek, sini bentar dong."
"Eh, kakak panggil Gina?," tanya bocah itu.
Lelaki itu tersenyum, ia berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak kecil itu, kemudian membelai rambut anak itu.
"Iya dek. Kakak boleh minta tolong nggak? Tolong kasihkan ini ke kakak yang pakai jilbab biru itu ya dek." Lelaki itu menyodorkan sebuah kotak kecil seraya menunjuk gadis yang ia maksud.
"Oh, kakak yang duduk disitu ya kak? Oke kak, Gina bakal ngasih ini ke kakak yang disana." Belum sempat lelaki itu memberitahu agar jangan bilang kepada gadis itu siapa yang memberikan kotaknya, bocah itu langsung berlari. Refleks, lelaki itu bersembunyi di balik pohon sambil sesekali melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...