Happy reading
*****
Sesuai perintah Farida, Bian datang kembali untuk mengantar Mbok Inem. Usai itu, Bian langsung pamit, meskipun Farida menawarinya untuk melihat keadaan Maudy dulu, Bian tidak mau. Lebih baik ia pergi dari sana, karena pasti ia tak akan tega mendengar suara kesakitan dari Maudy nanti. Setelah Bian pulang, Mbok Inem dan Farida masuk ke dalam. Mbok Inem mulai memeriksa kondisi kaki Maudy, sementara Farida membuatkan minum untuk Mbok Inem.
"Walah cah ayu, kok iso koyo ngene iki piye to nduk?" Ucap Mbok Inem dengan logat khas Jawa nya yang kental. Maudy mengerti artinya, namun ia tidak bisa berbicara dengan bahasa jawa yang seperti itu, alhasil, ia menjawab Mbok Inem menggunakan bahasa indonesia.
"Iya mbok, tadi saya nggak sengaja kesandung batu lumayan besar. Kira-kira, ini parah nggak mbok? Soalnya saya agak susah jalan kalau begini." Keluh Maudy.
Mbok Inem tersenyum. "Tenang saja nduk, iki ndak parah kok. Sini, simbok urut dulu." Mbok Inem mulai mengeluarkan minyak yang ia bawa dan menuangkannya ke sebuah piring kecil yang biasa ia bawa. Ketika Mbok Inem mengurut sekitar kaki Maudy yang lebam memang tidak terasa apa-apa, namun ketika Mbok Inem mulai mengurut daerah yang lebam, Maudy langsung berteriak kesakitan. Sungguh amat sakit rasanya. Hingga tangannya meremas kuat ujung sofa yang di tempatinya.
Farida kembali dengan membawa secangkir teh. Mendengar teriakan Maudy, Farida merasa ngilu sendiri. Ia memilih untuk duduk di pinggiran sofa sembari menggenggam tangan Maudy, seolah menyalurkan energi padanya. Maudy mendongak, dengan wajah yang terlihat tengah menahan sakit.
"Ustadzah, Ma-maaf ya Mou berisik. Mou ganggu ya ustadzah?"
Farida tersenyum lembut, ia membelai puncak kepala Maudy yang tertutup jilbab. "Nggak kok Mou. Nggak papa, teriak aja, ummi tahu kok kalau itu sakit banget. Udah, kalau mau teriak, nggak papa Mou."
Sorot mata Maudy meredup, netra birunya berkaca-kaca. "Makasih ustadzah, padahal saya udah bikin kesalahan besar sama ustadzah, tapi ustadzah masih baik sama saya dan masih mau menolong saya."
"Maudy, dalam agama islam, kita kan diajarkan untuk saling tolong menolong selama itu dalam hal kebaikan. Untuk masalah kamu yang itu, ummi sudah memaafkan kamu, sudah ya nggak usah dibahas lagi. Bukankah manusia itu tempatnya salah? Jadi wajar kalau kita pernah berbuat salah, yang penting kita mau berbesar hati untuk meminta maaf."
"Iya ustadzah, sekali lagi terimakasih." Berkat Farida mengajak Maudy untuk berbincang-bincang, Maudy lupa akan kakinya yang sedang diurut.
"Nah, iki wis mari. Sementara, Mbak Maudy ora usah melu pelajaran olahraga dhisik yo, ben cepet waras. Saiki simbok pamit, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Maudy pulang ke asrama dibantu oleh Farida. Ketiga teman sekamarnya terkejut melihat keadaannya. Setelah Farida pergi, mereka semua mengelilingi Maudy, meminta penjelasan. Mau tak mau, Maudy menjelaskan semuanya, termasuk saat ia dibantu oleh Bian. Tentu saja ia tidak bilang jika ia pergi untuk bertemu Bian. Semuanya bisa rumit nantinya.
Semenjak kakinya terkilir dan belum sembuh, kemana-mana Maudy selalu dituntun agar tidak jatuh. Ayu, Nayla, serta Husna, mereka selalu bergantian menuntun Maudy. Bahkan mereka tak pernah mengeluh kesal ataupun marah karena itu. Justru mereka senang dapat menolong Maudy.
*****
Maudy menghembuskan napas, ia bosan. Ketika teman-temannya yang lain bisa bebas berlari, ia hanya terduduk di pinggir lapangan saja. Sebenarnya setelah ujian kenaikan kelas, pelajaran telah usai. Hanya ada beberapa agenda rutin dan khusus di luar pembelajaran wajib yang dilakukan, seperti kegiatan olahraga kali ini. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar badan mereka tetap sehat dan bugar. Mereka akan diliburkan usai rapor hasil belajar mereka dibagikan dan pengumuman kenaikan kelas.
Maudy menatap teman-teman nya yang sedang melakukan pemanasan. Ya, rencananya hari ini akan diadakan pertandingan sepak bola. Timnya dibagi sesuai dengan nomer absen. Karena kaki Maudy masih tidak memungkinkan untuk ikut, maka ia cukup duduk dan mengamati saja.
Priiit .... Bu Sani membunyikan peluit tanda pertandingan dimulai. Pertandingan akan berlangsung selama empat menit saja. Peraturannya cukup sederhana saja. Tim yang kalah nanti harus menggendong tim yang menang bolak-balik satu putaran. Bu Sani sengaja membuat peraturan seperti itu agar mereka semua bisa semangat dan bersungguh-sungguh.
Maudy tertawa sendiri melihat teman-teman nya bermain. Lucu sekali, ketika ada salah seorang santri yang malah membawa kabur bolanya. Bukannya digiring menggunakan kaki, ia malah memeluk bola itu dengan erat, seolah bola itu adalah miliknya yang paling berharga.
Dan lainnya, mereka mengejar santri yang membawa bola itu. Begitu terus hingga waktunya berakhir. Ah ... lucu sekali ini. Begitu pikir Maudy. Ya, walaupun ia tak ikut bermain, lumayan lah dapat hiburan gratis. Ternyata, seru juga menonton pertandingan seperti ini, meskipun awalnya ia mengira akan cukup membosankan.
Usai olahraga selesai, para santri diperbolehkan untuk berganti pakaian dan beristirahat sejenak untuk kemudian mengikuti kajian rutin. Ayu, Nayla, dan Husna menghampiri maudy.
"Maaf ya Mou, kamu duduk disini sendirian. Kamu pasti bosan ya?" Ujar Husna meminta maaf.
"Husna, nggak perlu minta maaf. Lagian keadaan ku begini kan gara-gara aku sendiri yang ceroboh, jadi kamu sama sekali nggak salah. Oh iya, siapa bilang aku bosan. Aku malah senang lihat kalian main. Lucu banget tahu, masa iya ada sepak bola begituan. Hahaha...." Maudy memegangi perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Para sahabatnya hanya menatapnya sambil bertanya-tanya. Apa iya mereka tadi bermain selucu itu? Hingga Maudy bisa tertawa terbahak-bahak begini.
"Alhamdulillah kalau kamu nggak bosan Mou, ayo ke kamar. Sebentar lagi kan waktunya kajian. Kita istirahat sebentar di kamar." Ayu mengulurkan tangannya, membantu Maudy berdiri. Maudy menyambut uluran tangan itu dengan senang hati.
*****
Sampai di kamar, mereka langsung mengambil gayung yang berisi peralatan mandi serta pakaian ganti. Mereka cukup meletakkan gayung mereka di depan pintu kamar mandi untuk antre. Jika sudah gilirannya, mereka akan masuk. Namun, jika mereka tidak ada atau tidak datang saat giliran itu tiba, maka gayung mereka akan digeser ke belakang. Begitulah cara antre mandi selama ini.
Maudy dan sahabatnya juga punya peraturan soal ini. Ketika akan mengantre, mereka akan melakukan hompimpah untuk menentukan siapa yang duluan. Memang terlihat sedikit kekanak-kanakan, namun tak apa. Toh mereka senang melakukannya, dan menurut mereka, itu lebih adil.
Awalnya, Maudy mengira kehidupan di pesantren akan sangat membosankan karena terikat oleh banyak peraturan. Ternyata, itu tidak terjadi. Justru sekarang ia semakin betah tinggal disini. Andai saja malam itu ia tak pulang terlambat atau andai saja surat panggilan itu tak pernah sampai kepada Fariz, Maudy tidak akan berada disini. Mungkin sebaiknya, ia berterimakasih pada ayahnya itu.
*****
Terimakasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
6 November 2020
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...