Happy reading
*****
Pagi ini semuanya berjalan seperti biasa. Yang berbeda adalah Maudy, Ayu, Husna, serta Nayla sudah resmi menjadi anak kelas dua belas. Yang artinya, sebentar lagi mereka akan lulus dari sini. Mereka berempat berjalan menuju ke kelas, namun entah mengapa sepanjang jalan menuju kelas, semua orang menatap Maudy aneh kemudian diam-diam berbisik-bisik sambil tertawa. Tentu saja Maudy tahu jika mereka sedang membicarakannya. Tapi ... apa salahnya hingga menjadi bahan perbincangan lagi pagi ini. Bukannya masalah pencurian itu sudah selesai? Apa lagi kali ini?
"Maudy, kamu nggak papa? Kok ngelamun sih? Mikirin apa?" Ucap Husna.
Maudy tergagap. Ia bingung harus mengatakan apa pada Husna. Sudah cukup selama ini ia membebani mereka dengan masalahnya, dan kali ini tidak lagi. Ya, apapun masalahnya kali ini, Maudy akan menyelesaikannya sendiri.
"Ah ... nggak, nggak papa kok Husna. Aku cuma kepikiran hasil ulangan kimia minggu lalu, kira-kira aku remidi nggak ya?"
Ayu dan Nayla tertawa mendengarnya. "Kamu lucu Mou, udah nggak usah terlalu khawatir. Lagipula kan kamu pintar, nggak akan remidi lah kamu." Nayla masih terbahak.
"Ya ... bukan gitunya Nay, kemarin aku agak meleng pas soal hitungan reaksi Redoks sama elektrolisis, jadi aku takut salah. Menurutku, itu soalnya lumayan susah."
"Oh ... itu to yang bikin kamu ngelamun. Tapi iya juga sih, aku juga kesusahan di soalnya yang itu, mana waktunya tinggal sebentar lagi. Ya, semoga aja kita nggak remidi ya." Ujar Ayu yang diangguki oleh Maudy, Nayla, dan Husna.
Sementara dari arah berlawanan, adik kelas yang ditolong Maudy saat ulangan kenaikan kelas dulu. Maudy baru mengetahui namanya belakangan ini, nama gadis itu Nara.
"Kak Maudy!" Nara mempercepat langkahnya.
Kemudian, tanpa basa-basi ia menarik lengan Maudy. Sepertinya, ia ingin agar Maudy mengikutinya ke suatu tempat. Akhirnya Maudy dan ketiga sahabatnya mengikuti Nara. Ternyata, ia membawa Maudy ke papan yang biasanya digunakan untuk menempelkan pengumuman ataupun Mading.
Betapa kagetnya Maudy, tatkala melihat fotonya yang tengah dituntun oleh seorang lelaki bertopi dan bermasker. Maudy tahu, foto ini adalah saat dimana Bian membantunya pulang ke rumah Farida karena kakinya terkilir. Bagaimana bisa? Siapa yang mengambil foto ini? Apakah ada maksud terselubung, ataukah hanya iseng belaka? Sungguh Maudy tak tahu. Padahal Maudy yakin sekali, saat itu tidak ada orang yang mengikutinya.
"Ma ... Maudy i-itu foto kamu kan?" Husna membekap mulutnya sendiri. Sama seperti Maudy ia terlalu terkejut dengan ini. Apalagi, fotonya dicetak dalam ukuran cukup besar hingga siapa saja yang melihatnya pasti akan mengenali kalau itu adalah Maudy.
Maudy membeku di tempat. Bahkan ia tak menjawab pertanyaan Husna tadi. Sebentar saja, biarkan Maudy berpikir sebentar saja. Ia menarik napas. Berusaha untuk tenang dan berpikir. Oh, sekarang Maudy mengerti, mengapa semua orang menatapnya aneh pagi ini.
Allah ... apa lagi kali ini? Siapa yang menempel foto ini disini? Sebentar, ada baiknya kalau gue tenang dulu. Kalau gue nggak tenang, gue nggak bisa berpikir jernih.
Maudy berkali-kali menarik napas dan menghembuskannya.
Oke, sekarang gue udah tenang. Apa mungkin pencurian waktu itu, sama foto ini ada hubungannya sama surat malam itu? Tapi kenapa? Apa alasannya? Apa mungkin ada seseorang yang dendam sama gue disini? Apa ada yang tahu, kalau gue ketemu Bian? Kalau ada foto ini, berarti sebelumnya ada yang ngikutin gue sampai ke tempat itu. Apapun alasannya, gue yakin kalau orang yang ngebuat semua ini kenal sama gue. Siapa aja bisa jadi tersangka disini. Bahkan mereka, tapi ... apa mungkin?
"Mou ... Maudy ... Maudy!"
"E-eh i-iya?" Maudy tersentak, Husna mengguncang bahunya cukup kuat. "Maudy nggak papa?"
Sebenarnya Husna ingin menanyakan tentang foto itu, namun melihat reaksi Maudy yang sama terkejutnya dengannya, ia mengurungkan niatnya. Lebih baik, ia membiarkan Maudy tenang terlebih dahulu. Pas sekali, bel tanda masuk kelas berbunyi. Mereka memutuskan untuk melupakan masalah ini sejenak dan pergi menuju kelas masing-masing.
*****
Selama pelajaran, Maudy lebih banyak diam dan tak terlalu memperhatikan penjelasan guru. Biasanya, jika guru melempar pertanyaan mendadak, Maudy akan amat antusias untuk menjawab. Namun kali ini, melirik papan saja Maudy tidak, ia lebih memilih melihat hujan melalui jendela di sampingnya. Berkali-kali ia menghela napas, seperti orang frustasi. Husna disebelahnya merasa kasihan pada Maudy.
Husna berinisiatif untuk mengingatkan Maudy bahwa pelajaran sedang berlangsung. Dan ada baiknya, ia memperhatikan penjelasan guru di depan, karena daritadi, guru yang ada di depan terus saja mengawasi gerak-gerik Maudy.
"Mou, Maudy. Jangan ngelamun dulu Mou. Bu Nuri daritadi lihatin kamu." Bisik Husna.
"Oh, makasih Husna. Maaf ya, aku ngelamun. Sampai mana tadi Bu Nuri neranginnya?"
"Itu, masih sampai struktur kebahasaan teks cerita sejarah. Nanti kamu lihat catatan aku aja, nggak papa. Sekarang tolong perhatikan ya Mou. Aku nggak mau kamu dihukum."
Ya, untuk sekarang mungkin Maudy lebih baik melupakan masalah foto itu sejenak. Baiklah, ia akan mencoba fokus ke pelajaran terlebih dahulu. Toh, pelajaran itu lebih penting. Dia akan memikirkan lagi masalah ini nanti, setelah sekolah selesai.
Kriiiing.....
Akhirnya, bel istirahat pertama berbunyi. Para santri cepat-cepat keluar kelas untuk sekadar menghirup udara segar ataupun kembali ke kamar mereka untuk beristirahat. Namun tidak dengan Maudy, ia harus ikut dengan Bu Nuri ke ruangannya. Maudy menduga, Bu Nuri akan membicarakan masalah ia melamun.
"Silakan duduk Maudy."
"Baik bu terima kasih." Maudy mengangguk dan langsung duduk.
"Baiklah Maudy, ibu langsung saja. Ibu tahu kamu tadi melamun dan tidak memperhatikan penjelasan ibu. Apakah pemandangan hujan di luar lebih menarik dari penjelasan ibu?" Tanya Bu Nuri.
"Maaf Bu ... bukan maksud saya untuk mengabaikan ibu. Tapi ..." Bu Nuri menunggu Maudy melanjutkan kalimatnya. Tapi Maudy sendiri pun tak sanggup melakukannya.
"Oke, ibu tahu perihal foto besar yang dipajang di papan Mading pagi ini. Memang, tidak ada kata-kata atau ujaran kebencian pada foto itu. Namun, foto itu saja cukup membuat seisi asrama gempar. Tapi untungnya, foto itu sudah dicopot dan disimpan di tempat yang aman oleh Bu Lili. Kami akan membantu kamu sebisa kami Maudy. Lain kali, jangan melamun di tengah pelajaran lagi ya, apalagi kamu sudah kelas dua belas. Penting bagi kamu untuk memahami materi yang diberikan."
Maudy lega. Ia pikir, ia akan dimarahi habis-habisan soal ini. Ternyata tidak, syukurlah. "Baik bu, saya akan berusaha. Terima kasih sudah memberikan nasehat pada saya. Kalau boleh, saya permisi ya bu."
Bu Nuri tersenyum. "Iya, silakan."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Selepas dari ruangan Bu Nuri, Maudy memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Ia ingin beristirahat sebentar, sebelum bel masuk kembali berbunyi. Ya, dia bisa menebak bahwa di sepanjang jalan akan ada siswi yang menatapnya dengan jijik. Sudahlah, Maudy tak mau ambil pusing dengan ini. Lagipula, Maudy kan juga sudah terbiasa. Jadi tidak akan kenapa-kenapa.*****
Terimakasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
7 November 2020
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...