Happy reading
*****
Maudy menyeret kopernya keluar kamar. Sebelumnya, ia sempat mengamati detail kamar ini dulu. Kamar lama bundanya yang selama beberapa tahun ini ia tempati. Tinggal disini, membuatnya kembali merasakan hangatnya keluarga. Nenek dan kakeknya sangat menyayanginya disini. Sayangnya, mungkin hal tersebut akan menjadi kepingan kenangan bagi Maudy beberapa saat lagi. Ah, rasanya berat sekali untuk meninggalkan tempat yang berharga ini.
Dengan berat hati, kakinya mulai melangkah menuju ruang tamu dimana Revan telah menunggunya disana, juga grandma dan grandpa nya.
"Grandpa, grandma, Audy sudah siap." Meski Maudy berkata seperti itu, raut wajahnya menunjukkan hal yang berlawanan dengan kata-kata nya. Lihat saja, Revan bahkan menahan tawanya agar tidak meledak melihat wajah Maudy yang bak pakaian belum disetrika.
Nenek Maudy menggeser dirinya, lalu menepuk spot kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Maudy untuk duduk di sebelahnya. Maudy mengerti, ia menaruh kopernya di pojok, kemudian duduk di samping neneknya.
"Audy, kenapa wajahmu masam seperti itu? Apa kamu tidak senang, akan kembali ke Indonesia?"
Tepat sasaran. Pertanyaan itu menohok Maudy. "T-tidak grandma, Audy senang kok. Iya, Audy senang banget malah." Jawab Maudy dengan senyum lebar yang terkesan dibuat-buat.
Revan tak tahan lagi. Ia cekikikan di tempatnya. Maudy yang melihat itu langsung menghujani Revan dengan tatapan membunuh. Membuat Revan langsung diam ditempat, tak berani bergerak walau se-inchi pun.
"Grandpa, grandma, Audy sama Revan pamit ya. Maaf, kalau selama ini Audy merepotkan dan membebani kalian. Maafin Audy juga, kalau misalnya ada perilaku atau perkataan Audy yang membuat grandpa sama grandma marah atau kecewa."
Kakek Maudy tersenyum. "Tidak Audy, kamu tidak merepotkan sama sekali kok. Malahan, kami senang karena kamu disini. Kami merasa melihat Windy hidup kembali." Ia menjeda ucapannya karena tiba-tiba air matanya mengalir begitu saja. Membuat Maudy juga ingin menangis.
"Uh, i'm sorry dear. I just ... i just miss my daughter Windy. And, when i see you, i feel like Windy is here. She's here. But, then i realized. Even though you look exactly like Windy, both of you are different." Kakeknya terus saja mengusap air mata yang mengalir. Ini pemandangan langka bagi Maudy, sebab ia belum pernah melihat lelaki menangis seperti ini.
"Maaf menyela momen haru ini, tapi, taksi online nya sudah sampai di depan." Revan merasa tak enak mengatakannya di momen sedih ini. Apalagi, melihat kakek yang menangis, Revan berpikir, apakah ia dan Maudy harus membatalkan keberangkatannya?
Nenek dan kakek Maudy berdiri, disusul Revan dan Maudy. "Ok, time's up Audy. Kamu harus pulang sekarang nak. Terima kasih, karena kamu, hari-hari grandma dan grandpa menjadi berwarna kembali. Terima kasih telah datang kesini nak. Dan kapanpun kamu mau, pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu." Nenek dan kakek Maudy memeluknya, bersiap menerima kenyataan bahwa cucu kesayangan mereka akan kembali ke Indonesia.
Mereka melepas Maudy dan Revan sampai depan pintu rumah. Hingga taksi yang ditumpangi Maudy dan Revan menghilang di persimpangan jalan, mereka kemudian kembali masuk ke rumahnya.
*****
Jantung Maudy berpacu dengan cepat semenjak menjejakkan kakinya di bandara. Entah mengapa, Maudy tak bisa berhenti untuk gemetar kali ini. Padahal, Azka dan Syifa saja tak tahu kalau ia akan pulang. Sebab, saat di Inggris, ponselnya pernah hilang. Jadilah Maudy membeli ponsel baru dan kartu yang baru. Yang bisa Maudy hubungi di Indonesia hanya Aira. Itupun, harus melalui dm Instagram. Entah, apakah Aira menyampaikan pada Syifa bahwa ia akan pulang atau tidak. Maudy tak tahu.
"Ate Audy! Om Levann! Cini cini!"
Suara cadel itu menarik perhatian Maudy dan Revan. Mereka mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan itu, sampai Maudy melihat kertas karton besar bertuliskan Maudy dan Revan yang dibawa oleh anak itu.
"Revan! Itu!" Maudy menunjuk karton yang dibawa anak itu. Kemudian mengajak Revan untuk menghampirinya.
"Welcome home Maudy!" Sambut Aira dengan gembira. Maudy terkejut, karena ternyata Aira telah memiliki putra lucu seperti ini. Memang, dua tahun yang lalu, Aira bilang kalau dia akan menikah dengan Farhan, teman sekelasnya dulu. Maudy tak bisa datang, karena ia masih menempuh pendidikannya. Jadi, Maudy hanya mengucapkan selamat lewat dm saja.
"Eh, Rendra sayang, ayo salim dulu sama om dan tante." Perintah Aira pada anaknya. Farhan lalu menurunkan Rendra dari gendongannya. Dengan tertatih, Rendra berjalan mendekati Maudy dan Revan. Menyalami kedua orang itu dengan lucu nya.
Maudy tak tahan dengan tingkah lucu Rendra, ia langsung saja membawa Rendra dalam gendongannya. "Lucu banget sih kamu, namanya siapa nih?" Maudy mencolek-colek pipi gembul Rendra.
"Nama aku Lendla ate!" Seru Rendra riang.
"Ih, Aira kok nggak bilang sih kalau udah punya anak ganteng gini? Gemes Ai!" Pekik Maudy gembira yang justru disambut Aira dengan senyuman yang entah apa artinya.
"Makanya Van, cepetan halalin Maudy tuh. Nanti biar Rendra punya teman main. Kan umur juga udah cukup tuh, tunggu apa lagi emangnya?" Goda Aira.
Tampaknya ucapan Aira barusan membuat suasana menjadi canggung. Baik Maudy maupun Revan seketika memalingkan wajah mereka, berusaha menyembunyikan rona merah yang tercetak di wajah mereka. Menyadari hal itu, Farhan berusaha untuk mencairkan suasana.
"Bunda, udahan ah godain Mou nya. Lihat tuh, mereka berdua jadi malu kan. Maudy, Revan, ayo, kalian mau kemana nih rencananya? Biar aku sama Aira yang antar." Farhan mengambil alih Rendra dari gendongan Maudy, kemudian berjalan mendahului mereka.
*****
Maudy sampai di kontrakan lamanya. Rumah kontrakan yang dulu ia huni sebelum berangkat ke Inggris. Maudy tak tahu, apakah Syifa dan Azka masih tinggal di sebelah kontrakan lamanya atau tidak. Maka dari itu, untuk memastikannya, Maudy pergi menuju rumah ibu yang memiliki kontrakan ini. Usai mengucapkan terima kasih pada Aira dan Farhan, Maudy pamit untuk menuju kesana.
"Assalamu'alaikum, permisi." Maudy mengetuk pintu itu beberapa kali, hingga akhirnya seorang wanita membukakan pintunya.
"Wa'alaikumsalam." Wanita itu sempat mengamati Maudy beberapa saat, sebelum akhirnya berseru.
"Mbak bukannya adiknya Azka sama Syifa yang pernah tinggal di kontrakan saya kan?" Ah, rupanya ingatan ibu kontrakan ini sangat tajam. Setelah beberapa tahun pun, ibu itu masih mengenali Maudy.
"Iya bu, saya kesini mau sewa kontrakan yang dulu pernah saya tempati. Sekalian, saya mau tanya, apa Kak Azka sama Kak Syifa masih tinggal di kontrakan ibu?"
"Wah, sayang banget mbak. Azka sama Syifa udah nggak tinggal di kontrakan ibu. Setahu ibu, mereka pindah ke komplek perumahan indah permai mbak."
Komplek perumahan indah permai? Itukan komplek perumahan tempat tinggal ayah. Apa jangan-jangan, Kak Syifa sama Kak Azka pindah di sebelah rumah ayah? Atau, ada komplek perumahan yang namanya sama? Apapun itu, besok aku harus kesana buat memastikan.
"Mbak, mbak? Kok ngelamun? Nggak mau masuk dulu?" Karena tiba-tiba Maudy melamun, ibu itu lantas mengibaskan tangannya beberapa kali untuk menyadarkan Maudy kembali.
"O-oh maaf bu, dan terima kasih untuk tawarannya, tapi sepertinya, saya langsung ke kontrakan aja deh bu. Ini uang muka pembayarannya ya bu." Maudy mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah, kemudian memberikannya kepada ibu kontrakan.
Baiklah, jika memang Syifa dan Azka sudah tidak tinggal disini. Berarti, ini menjadi tugas tambahan bagi Maudy untuk memeriksanya. Selain mencari pekerjaan baru tentunya.
*****
Terima kasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
24 Desember 2020
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...