Happy reading
*****
Seorang gadis terlihat duduk di bawah pohon yang rindang itu. Ia menenggelamkan wajahnya di sela kakinya yang ia tekuk. Ia tak peduli pada gamisnya yang sudah kotor terkena tanah. Terdengar suara isak tangis yang memilukan, amat menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Hancur. Satu kata yang menggambarkan keadaan hati Maudy saat ini. Baru saja hatinya pulih seusai kejadian itu, kini hatinya harus hancur kembali. Bak barang pecah belah yang dijatuhkan dari ketinggian begitu saja, begitulah keadaan hatinya, luluh lantah tak bersisa.
Disatu sisi, ia bersyukur karena bisa mengetahui siapa dalang dari pembunuhan bundanya. Namun, mengapa kebenaran itu amat sangat pahit baginya? Ternyata, selama ini penyebab kematian bundanya berkeliaran di hadapannya. Mengapa ia tak menyadarinya? Menyesal? Maudy rasa ... saat ini itu tak ada gunanya.
Jalan satu-satunya adalah ia harus bisa menelan pil pahit kebenaran ini dan mengikhlaskan nya. Lagipula, Maudy tak ingin bundanya tak tenang disana. Maudy menatap ke atas sana. Melihat bentangan luas langit biru.
Ya Allah, jika memang ini kebenarannya, insyaallah hamba akan berusaha ikhlas menerimanya. Tolong bantu hamba untuk mengikhlaskan semua ini Ya Allah. Dan tolong lapangkanlah hati hamba. Hamba percaya, bahwa engkau tak akan memberikan ujian melampaui batas kemampuan hamba -Mu Ya Allah.
Ya, Maudy memilih untuk berdoa saja. Memohon kepada Sang Penguasa Alam Semesta untuk membantunya mengikhlaskan kejadian ini, untuk melapangkan hatinya dalam menerima semua ini. Sekilas, memorinya membawanya kembali ke masa lalu. Masa dimana Fariz dan Windy bertengkar sangat hebat hingga membuat Maudy ketakutan.
Ketika itu, Maudy yang baru berusia delapan tahun terbangun dari tidurnya, tatkala mendengar suara benda-benda pecah. Malam itu hujan mengguyur amat deras. Kilatan petir tak henti-hentinya menyambar, membuat takut anak kecil berusia delapan tahun itu. Maudy beranjak dari tempat tidurnya, sambil memeluk boneka kelinci favoritnya, ia berjalan menuju kamar Syifa yang terletak tepat di sebelah kamarnya. Maudy menutup telinganya kuat-kuat. Dari lantai atas, ia bisa mendengar jika ayah dan bundanya sedang bertengkar saat ini.
"Kak Syifa? Mou boleh masuk kak? Mou takut, ayah sama bunda bertengkar lagi ... hiks." Maudy kecil mulai menangis. Syifa membukakan pintu untuk Maudy dan langsung memeluknya. Maudy tersedu-sedu di dekapan kakaknya. Belum sempat Syifa menenangkan Maudy, dari lantai bawah terdengar suara umpatan kasar dari Fariz.
Syifa dan Maudy mengintip ayah dan bunda mereka dari sela tangga. "Apa bagusnya wanita itu sih mas! Kenapa mas lebih milih dia daripada aku!," teriak Windy frustasi.
"Hei, sadar diri dong kamu! Vira itu lebih baik daripada kamu! Dilihat dari sisi manapun, kalian berdua berbeda jauh! Lihat Vira, dia wanita karir yang sukses, selain itu, dia bisa menjaga penampilannya dengan baik, sementara kamu, kerjaan cuma ngurus rumah aja nggak bisa jaga penampilan! Setiap aku pulang, kamu selalu bau dapur! Beda dengan Vira yang selalu wangi!," maki Fariz pada Windy yang membuatnya terisak.
Windy mengangkat wajahnya, menunjukkan netra yang banjir air mata. "Apa hanya karena itu, kamu lebih memilih wanita itu mas? Sadar mas, istighfar kamu! Kecantikan itu nggak akan ada yang abadi! Kalau seandainya dia sudah jadi seorang istri, dia juga pasti seperti aku mas!"
"Cukup Windy, aku nggak mau dengar argumen kamu lagi! Kalau kamu nggak mau dimadu, fine aku akan menceraikan kamu saja! Mulai detik ini juga, aku ta—"
Maudy melepaskan dekapan kakaknya, kemudian berlari turun. "Ayah, bunda!" Teriak Maudy sambil mengucek matanya. Untung saja, Maudy datang tepat waktu, kata talak tak jadi terucap dari bibir Fariz. Dalam hati, Windy sedikit lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...