Happy reading
*****
Bian menatap hampa hamparan langit di depannya. Sesekali, helaan napas terdengar darinya. Baru kali ini dia tidak bisa tidur setelah ingatannya kembali. Ya, mengalami amnesia selama beberapa tahun memang cukup berat untuknya.
Mungkin saja, jika beberapa bulan yang lalu ia tidak gegabah dan sok jagoan untuk melawan preman yang membawa lari uang seorang gadis, ia belum bisa mendapatkan kembali ingatan lamanya kini. Mungkin ada baiknya ia harus berterimakasih kepada preman itu. Atau malahan, pada gadis yang menjadi penyebab ia tak bisa tidur saat ini?
Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana gadis itu berlari mengejar preman sambil memegangi tangannya yang mengeluarkan darah. Gadis itu seperti tidak merasakan sakit apapun di tangannya. Ah, Bian jadi tertawa sendiri mengingatnya. Cukup sudah dengan itu, kini ia memiliki hal yang harus diselesaikan, tentu saja hal tersebut masih ada hubungannya dengan sang gadis, Azza.
Bian merogoh saku celananya, mengambil ponsel miliknya.
"Halo Ka, assalamu'alaikum." Bian membuka percakapan.
"Waalaikumsalam, apaan Bi. Kenapa telpon malam-malam gini? Ada masalah?"
"Ka, lo bisa pulang ke Solo sebentar nggak? Soalnya, ada yang butuh bantuan lo disini. Gue mohon Ka."
"Emangnya ada apa Bi, gue disini lagi sibuk banget ngurus kuliah, sama persiapan nikah. Emang siapa yang butuh bantuan?"
Bian menjeda sejenak omongannya. Dari seberang, Azka bisa mendengar helaan napas dari Bian. Tumben sekali, tak biasanya Bian seperti ini.
"Maudy Ka, calon adek ipar lo. Dia dituduh nyuri cincinnya Ustadzah Farida. Tapi dari ceritanya, dia ngaku kalau dia nggak ngambil itu Ka."
"Wait wait. Lo kenal Maudy? Sejak kapan?"
"Huft ... sebenarnya, Maudy itu sahabat kecil gue. Gue manggilnya Azza. Lo tahu kan kalau gue kena amnesia. Pas gue amnesia, gue juga lupa sama dia. Dan sekarang, gue udah ingat dia, bahkan gue udah pernah ngobrol sama dia, walaupun secara nggak sengaja sih. Seingat gue, lo pernah bilang kalau di rumah Lo kan ada cctv. Beneran ada?"
"Iya ada. Ummi sama Abi udah gue kasih tahu kok. Tapi nggak tahu ya kalau mereka lupa. Mungkin, gue emang nggak bisa pulang, tapi gue bisa bilang ke ummi sama Abi tentang cctv itu. Nanti lo ke rumah gue, bilangin disuruh Azka bantuin ngecek cctv. Besok pagi kalau nggak lusa gue bilangin ke Abi. Gue harap, Maudy bisa bebas dari tuduhan itu."
"Aamiin, makasih ya Ka, nanti kalau udah bilang ke Ustadz Usman jangan lupa hubungin gue. Maaf kalau gue ganggu lo malam-malam gini. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Akhirnya, setelah menelpon Azka, Bian dapat bernapas lega. Kini ia bisa tidur dengan tenang sekarang.
*****
Husna, Maudy, Ayu, dan Nayla tengah mengantri di depan telepon umum saat ini. Memang begini di pondok pesantren, para santri diperbolehkan menggunakan telepon umum untuk menghubungi keluarga mereka. Antreannya menjadi panjang hari ini karena mereka semua ingin mengabari keluarganya perihal festival ekstrakurikuler itu. Berharap, ada salah seorang keluarga mereka yang datang. Maudy pun begitu. Ia memberanikan diri menelpon ayahnya. Tiba gilirannya untuk menelpon.
Sempat ragu, ia akhirnya meletakkan gagang telpon itu. Menarik napas sejenak, kemudian mengambilnya kembali. Ia bisa melakukannya, iya Maudy bisa. Ia mulai menekan tombol-tombol angka di telpon itu, menaruh gagangnya di telinganya.
"Halo, ini siapa ya?" Terdengar suara Fariz dari seberang sana. Maudy tampak menelan salivanya dengan susah payah.
"A-assalamu'alaikum ayah. I-ini Ma-Maudy yah."
"Kenapa kamu menelpon saya? Bikin masalah lagi kamu disana hm?"
"Nggak yah, Mou nggak buat masalah kok disini. Mou nelpon karena Minggu depan ada festival ekstrakurikuler disini. Nah, keluarganya santri disuruh datang nonton kalau bisa. Mm ... Mou mau ayah datang kesini bisa?"
Hening, tak ada jawaban dari Fariz. Maudy sudah menduga jika Fariz akan begini. Ya, semoga saja permintaannya kali ini dikabulkan oleh Fariz.
"Boleh. Saya akan datang kesana tapi dengan satu syarat. Kalau kamu sanggup penuhin syarat itu, maka saya bersedia kesana untuk menonton acara mu itu. Kalau tidak, ya saya tidak akan kesana."
Syarat, ada syaratnya. Duh, semoga aja syaratnya nggak berat. Kalau nggak berat mah gue insyaallah bisa menuhinnya. Bismillahirrahmanirrahim, gue bakal terima syarat dari ayah.
"Yaudah yah, sebutin syaratnya. Insyaallah bakalan Maudy penuhin. Kalau Maudy bisa sih."
Fariz terkekeh kecil di seberang sana. Maudy terlihat terkejut mendengarnya. Pasalnya, semenjak kematian Windy, ayahnya itu hampir tidak pernah tertawa. "Kamu pasti bisa kok penuhin syarat saya. Karena syaratnya cukup gampang. Kamu hanya saya suruh untuk tidak hadir ke acara pernikahan putri kesayangan saya Syifa. Bagaimana, apakah kamu sanggup melakukannya?"
Hati Maudy mencelos seketika mendengar syarat yang diajukan ayahnya.
Apa? Syarat macam apa ini? Kenapa gue nggak boleh hadir di pernikahannya Kak Syifa?
"Tapi kenapa ayah? Kenapa Mou nggak boleh hadir dalam pernikahannya Kak Syifa? Mou kan adiknya."
Lagi-lagi, Fariz terkekeh. Mungkin suara Maudy yang terdengar terkejut merupakan hiburan tersendiri baginya. "Karena saya nggak mau kamu mengacaukan acaranya. Saya nggak mau, ditengah-tengah acara nanti, ada tamu undangan yang mengeluh barangnya hilang! Camkan itu! Jadi, bagaimana, iya atau tidak? Cepat jawab sebelum saya menutup telponnya, jangan pikir tugas saya hanya meladeni mu saja!"
Allah ... tolong kuatkanlah aku. Jangan biarkan kata-kata tajam ayah menjadi penyebab aku membencinya suatu hari nanti.
"Baiklah, kalau itu mau ayah Mou bakal turutin. Tapi jangan lupa dengan janji ayah untuk datang kesini Minggu depan. Assalamu'alaikum." Maudy sengaja menutup telponnya duluan supaya ia tak mendengar kata kasar Fariz.
Ayah, maaf ya. Bukannya Mou nggak sopan. Tapi Mou udah nggak kuat buat dengar kata kasar ayah, kalau Mou terusin, nanti yang ada bakal semakin banyak alasan buat Mou ngebenci ayah.
Maudy berlalu dari tempat itu dengan hati yang terluka. Tapi tak apa, ia yakin dari setiap luka yang ia peroleh, Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan nantinya.
*****
Terimakasih yang udah mau baca
See you next chapter.....
19 Oktober 2020
dif_ran
KAMU SEDANG MEMBACA
M A U D Y A ✓
SpiritualMenceritakan mengenai Maudya Ayu Azzahra yang berjuang untuk melunakkan hati ayahnya. Ayahnya menganggap, Maudy itu pembawa masalah dan pembuat onar. Hingga suatu saat, ayahnya mengirimnya ke suatu pondok pesantren. Rintangan demi rintangan selalu m...