M A U D Y A 🍁42

5.1K 236 1
                                    

Happy reading

*****

Beberapa bulan kemudian

Suasana Pondok Pesantren Nurul Iman sangat meriah. Beberapa mobil terlihat terparkir rapi di area parkir baik asrama putra maupun putri. Hari ini merupakan hari bahagia bagi seluruh santri disana. Pasalnya, hari ini adalah hari wisuda, baik wisuda kelulusan ataupun wisuda karena telah menjadi hafidz dan hafidzah 30 juz.

Wisuda dilaksanakan di balai desa setempat. Karena acara ini merupakan acara gabungan, seperti pada festival ekstrakurikuler. Maudy tampak cantik dengan kebaya muslimah berwarna hijau tosca, sesuai dengan warna kesukaannya. Tak lupa, teman-temannya juga duduk disebelahnya.

Namun bedanya, teman-teman Maudy ditemani oleh orang tua mereka masing-masing, sedangkan Maudy tidak. Berkali-kali, Maudy melirik ke arah pintu masuk balai desa, berharap Azka dan Syifa akan datang sesuai apa yang Syifa katakan di telepon. Maudy melihat ke arah pergelangan tangannya. Hanya sebentar lagi sampai waktu wisuda dimulai. Dimana Syifa dan Azka? Oh, mengapa Maudy gelisah seperti ini?

Maudy mencoba untuk merapalkan shalawat saja dalam hati, berharap hal tersebut akan menenangkan hatinya. Dan berhasil, alhamdulilah kini Maudy sudah berangsur tenang. Ketika sekali lagi ia melirik pintu masuk, Syifa dan Azka terlihat di ambang pintu, membuat senyuman Maudy merekah sempurna. Ia langsung melambaikan tangannya untuk memberitahu keberadaanya.

"Kak Syifa! Kak Azka! Sini, Mou disini!," teriak Maudy.

Syifa dan Azka tersenyum dari jauh, lalu menghampiri Maudy dan duduk di sebelahnya. "Masya Allah, cantiknya adeknya kakak. Tambah sayang deh. Selamat ya buat kelulusannya, selamat juga karena udah jadi hafidzah, semoga kamu bisa mempertahankan hafalan kamu ya Mou."

"Aamiin, makasih Kak Syifa."

"Oh iya Mou, kakak dengar, kamu dapat beasiswa kedokteran ke Inggris kan? Apa benar?," tanya Azka antusias.

Maudy mengangguk. Sejujurnya, ia juga tak menyangka bahwa apa yang ia impikan akan menjadi kenyataan. Setelah melalui kehidupan pesantren yang bisa dibilang tak mudah, dan kerap kali menguras air mata, alhamdulillah Maudy bisa memetik buah manis hasil perjuangannya. Alhamdulillah, Allah telah menjawab doa-doa yang ia panjatkan di sepertiga malam.

Semenjak berbagai kejadian mengejutkan terjadi dalam hidupnya, Maudy semakin rajin untuk bangun di sepertiga malam, menjalankan shalat tahajud dan lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Maudy merasa nyaman ketika curhat dengan Allah ketimbang dengan teman atau orang lain.

Acara wisuda dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran. Terasa indah dan sejuk sekali di telinga Maudy hingga secara tak sadar, Maudy pun ikut merapalkan ayat yang dibacakan. Tak terasa, tiba saatnya untuk para santriwan dan santriwati maju ke depan untuk menerima ijazah dan medali hasil kelulusan. Saat mereka maju, presenter juga menyebutkan nilai ujian akhir yang diperoleh. Kini, giliran Maudy maju untuk menerima medali dan ijazahnya.

"Selanjutnya, ananda Maudya Ayu Azzahra dengan rata-rata perolehan nilai ujian akhir sebesar 9,5." Ucap presenter. Maudy segera menaiki panggung, selangkah demi selangkah terasa begitu berarti baginya. Apalagi, saat Ustadzah Farida mengalungkan medali ke lehernya dan memberikan ijazah kelulusannya.

Rasa bahagia dan haru bercampur menjadi satu dalam benaknya. Meskipun tak bersama orang tuanya, Maudy yakin, bundanya kini melihatnya dari atas sana.

"Bunda, Maudy berhasil meraih apa yang Maudy impikan, dan ini semua Maudy persembahkan untuk bunda." Bisiknya.

*****

Acara wisuda telah selesai. Maudy dan teman-temannya resmi lulus kini. Setelah berfoto ria dengan teman-temannya, Maudy kini berjalan menuju kamarnya yang telah sepi. Tinggal dirinya saja yang masih disana, sebab setelah wisuda tadi, baik Ayu, Husna, ataupun Nayla langsung pulang ke kediaman mereka masing-masing bersama orang tua mereka.

Maudy menatap ruangan di hadapannya. Memang tidak sebesar kamarnya di Bandung, namun, terdapat banyak kenangan indah di ruangan ini. Kenangan bersama Ayu, Husna, serta Nayla yang bersedia menjadi temannya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Sekali lagi, Maudy bersyukur karena Allah telah mempertemukannya dengan mereka.

Usai berganti pakaian dengan gamis biasa, Maudy menyeret kopernya keluar kamar. Rencananya ia akan kembali ke Bandung hari ini juga. Ia ingin, sebelum ia berangkat ke Inggris, ia bisa berziarah ke makam bundanya serta bertemu Aira sahabatnya. Maudy menghembuskan napas, kemudian berlalu meninggalkan asrama putri menuju ke rumah Farida. Namun, sebelum Maudy sempat melangkahkan kakinya, seorang gadis bergamis magenta mendekatinya sambil berteriak.

"Kak Maudy! Tunggu sebentar!" Maudy tertawa melihatnya. Ah, itu pasti Nara. Gadis manis yang kebetulan satu bangku dengan Maudy saat ujian kenaikan kelas dulu. Nara masih ingat saat ia kesulitan dalam Ujian Kenaikan Kelas materi fisika, bukannya langsung memberitahu jawabannya, Maudy malah memberikan rumusnya pada Nara, sehingga gadis itu tahu bagaimana jawabannya diperoleh.

"Kak Maudy! Selamat ya atas kelulusan dan beasiswa nya. Alhamdulillah, Nara ikut senang kak, semoga nanti, Nara bisa mengikuti jejak kakak ya."

Maudy tersenyum. "Aamiin, insyaallah ya Ra. Asalkan kamu belajar yang giat dan jangan lupa selalu berdoa sama Allah. Insyaallah, keinginanmu tercapai."

"Aamiin kak, makasih doanya ya. Ini, aku punya buket cokelat buat kakak. Memang ini nggak seberapa, tapi ini aku bikin sendiri loh kak buketnya."

Maudy meraih buket cokelat buatan Nara. "Masya Allah Nara, ini cantik sekali! Terima kasih ya. Aku suka banget." Pekik Maudy.

"Alhamdulillah kalau kakak suka. Yaudah ya kak, aku pamit dulu. Soalnya, hari ini aku mau pulang ke rumah. Mumpung libur, udah kangen nih sama mama dan papa. Assalamu'alaikum Kak Maudy."

"Wa'alaikumsalam Nara, hati-hati ya." Maudy melambaikan tangannya pada Nara.

*****

Ternyata, di area parkir, Syifa dan Azka sudah menunggu Maudy. Syifa juga akan kembali ke Bandung dengan Azka, maka dari itu, Maudy akan berangkat bersama mereka.

"Kak, Maudy udah siap. Bisa kita berangkat sekarang?"

"Tunggu dulu Mou, kita ke rumah ummi sama abi dulu, pamit sama mereka. Sekarang, sini kopernya, biar Kak Azka taruh di bagasi." Maudy memberikan kopernya pada Azka.

"Eh tapi Mou, kamu nanti di Bandung gimana? Yakin mau berangkat dari Bandung? Nggak dari Solo aja?," tanya Syifa memastikan.

"Nanti sementara, aku bakal tinggal di kontrakan kayaknya kak. Insyaallah, aku yakin kak. Semuanya udah aku rencanakan matang-matang, jadi, kakak nggak usah terlalu khawatir ya. Mou bakal baik-baik aja kok kak."

"Tapi Mou ... tetap aja kakak khawatir. Kamu nanti di Inggris mau sama siapa? Tinggal dimana? Makan apa? Tetap aja kakak nggak bisa tenang dek, kalau kamu ke Inggris sendirian." Raut wajah Syifa tampak khawatir. Bagaimana bisa dia membiarkan adik kecilnya ini merantau ke negeri orang sendirian? Jika bisa, Syifa akan menemaninya, namun apa boleh buat, studinya sendiri juga belum selesai.

Maudy memegang tangan kakaknya, berusaha menenangkan. "Tenang saja Kak Syifa, saya yang akan menjaga Azza selama di Inggris nanti." Itu bukan Maudy, melainkan seorang lelaki sebaya Maudy yang berbicara. Maudy mengernyit bingung. Siapa dia? Mengapa suaranya familiar sekali?

Lelaki itu menghampiri Syifa, ditemani dengan seorang pria paruh baya yang Maudy duga adalah ayah dari lelaki itu. Azka yang sedang menata koper Maudy di bagasi, menghentikan sejenak kegiatannya, demi melihat siapa lelaki yang berniat menjaga adik iparnya selama di Inggris. Azka tampak tak terkejut, karena dia sudah tahu, bahkan kenal dekat siapa dia.

Berbeda halnya dengan Maudy, kini ia mematung di tempat. Ia sedang berusaha mengingat-ingat siapa gerangan lelaki di hadapannya ini. Oh, Maudy ingat sekarang. Suara itu, suara bariton khas itu adalah milik Bian. Tapi, apakah dia benar Bian?

"Kamu ... siapa?" Lirih Maudy.

*****

Terima kasih yang udah mau baca

See you next chapter.....

8 Desember 2020

dif_ran








M A U D Y A ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang