1. Kotak Musik

99 31 3
                                    

"Bisa kusimpulkan, jiwanya mati dalam sebuah raga yang hidup," Sung Jae, dokter spesialis keluarga Seol A berujar begitu panggilannya terhubung.

Setelah mengecek keadaan Seol A beberapa waktu lalu, Sung Jae permisi keluar dari kamar untuk menghubungi Myung Hee, tante Seol A yang berperan sebagai wali gadis itu.

"Bagaimana ini? Apa dia tidak akan sembuh?" Myung Hee berujar cepat, nada bicaranya terdengar panik.

"Tidak dalam waktu yang dekat dan jika terus seperti ini, kupastikan waktu hidupnya tidak akan lebih dari seminggu. Dia tidak pernah tersenyum, marah bahkan menangis. Rautnya sangat datar dan dingin. Dia tidak perduli akan sekitar. Kau harus menemukan ketertarikan gadis itu lagi. Jiwanya harus hidup," Sung Jae mengutarakan sarannya sembari mengambil sebungkus permen dan memasukkannya ke dalam saku jas dokternya.

"Aku harus bagaimana Sung Jae-ya," ujar Myung Hee yang tampak kacau memikirkan hal ini.

"Pulanglah dan temani awasi dia. Dalam kasus seperti ini banyak pasien melakukan aksi bunuh diri."

"Tapi aku baru bisa pulang tiga hari lagi. Pekerjaanku disini belum selesai," nada menyesal Myung Hee menguap diikuti suara seorang pria yang masuk dalam obrolan mereka. Nyaris tak terdengar tapi yang bisa Sung Jae tangkap pria itu menyuruh Myung Hee untuk fokus pada pekerjaannya.

Sung Jae memijat pelipisnya yang terassa berdenyut, jarang ia menemukan pasien seperti Seol A dan keluarga yang lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan kerabat mereka yang sakit. Hidup gadis itu cukup berantakan, tidak menampik kenapa pneyakit aneh seperti ini datang padanya. 

"Bahkan aku tidak bisa memberimu sebuah nama untuk penyakit ini. Cepatlah pulang, setidaknya seminggu bersamanya lebih baik daripada empat hari," Sung Jae menutup telponnya kemudian mendesah berat sebelum berbalik dan kembali masuk ke dalam kamar Seol A.

Tanpa sepengetahuan pria itu, Seol A dapat mendengar semuanya. Jika suara detak jam dinding saja bisa Seol A hitung kian jarumnya bergeser, maka itu cukup mmebuktikan betapa heningnya rumahnya itu.  Tidam ada raut emosi ataupun sedih sebab waktu singkatnya itu, ia hanya memeluk guling sembari memejamkan kedua matanya berniat untuk tidur siang.

 "Seol A, kau tidak memiliki kegemaaran lain?" tanya Sung Jae begitu memasuki kamar gadis itu. 

Hening dan Sung Jae tahu hal seperti ini akan terjadi.

"Kau harus mempunyai sebuah keinginan Seol A, emosi dalam dirimu harus kembali."

"Untuk apa, waktuku hanya tinggal tujuh hari," ujar Seol A dengan nada datarnya namun mampu membuat Sung Jae menahan napas. 

Menarik napas sejenak, Sung Jae berusaha membangun kembali pengendalian dirinya, "Tujuh hari itu waktu yang singkat tapi jika kau bisa memanfaatkannya dengan baik maka hari-hari itu akan menjadi berharga dan tidak bisa kau lupakan selamanya. Percayalah kepadaku. Kau hanya perlu kebahagiaan."

"Orang tuaku meninggal tiga hari yang lalu, tidak ada siapa-siapa lagi disisiku. Untuk apa aku hidup? Penyakit aneh ini cocok untukku," balas Seol A cepat, menghiraukan saran dari Sung Jae.

Tidak ingin terbawa emosi, Sung Jae memutuskan untuk pamit dari sana.

"Jaga dirimu baik-baik, minimal keluar rumah untuk mencari udara segar akan membantumu. Ingat, tidak ada yang bisa menolongmu sekarang kecuali dirimu sendiri."

Seol A memalingkan muka, menarik selimut kemudian menenggelamkan tubuhnya ke dalam. Ia tidak suka dengan raut yang Sung Jae tampilkan. Seol A tahu hidupnya tinggal hitungan hari tapi ia tidak ingin mendapati raut belas kasihan itu. 

Kamarnya kembali hening ketika Sung Jae pamit pulang. Suara detak jam dinding yang menemaninya belakangan ini kembali menguap. Semuanya sepakat untuk diam, memberi kesempatan bagi Seol A untuk mengosongkan pikiran hingga renanya mengerjap pelan dan pandangannya  perlahan redup berganti gelap.

7 Days ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang