14

135 17 0
                                    

"Iya cumi, gue sama Blacky udah sampai di kafe lo." Devan mengakhiri panggilannya. Ia turun dari mobil. Tenlio meminta bantuan pria itu untuk membawa anjing kesayangannya ke kafe.

Devan memasuki kafe. Orang pertama yang ia lihat adalah Kinara. Gadis itu menatapnya. Namun Devan mengakhiri tatapan mata mereka.

"Hai, Dita" sapa Devan sambil tersenyum.

"Hai." Dita tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Rasanya ia ingin pingsan saat Devan tersenyum semanis itu padanya.

"Gue pesen milkshake kayak biasanya ya. Nanti lo yang bawa ke atas."

Dita mengangukan kepalanya begitu cepat. Devan yang melihat itu terkekeh. "Lo lucu banget sih."

Kinara yang sejak tadi memperhatikan interaksi antara Devan dan Dita merasakan perasaan aneh. Jika biasanya Devan akan bertingkah seperti itu padanya. Namun hari ini pria itu berbeda. Tapi itu bagus. Setidaknya marcel tidak akan merasa cemburu lagi dengan Devan.

"Devan bilang aku lucu. Aku gak salah denger kan, Kinara?" Dita bertanya pada Kinara.

"Kamu gak salah denger kok," balas Kinara sambil tersenyum.

"Jadi kayak gini rasanya jadi kamu."

"Maksudnya?" tanya Kinara tidak mengerti.

"Devan selalu senyum semanis itu ke kamu, kan. Kadang aku iri sama kamu."

Kinara hanya membalas ucapan Dita dengan senyuman. Mungkin itu tidak akan pernah terjadi lagi.

"Kinara," panggil Dita.

"Iya."

"Kamu bawain milkshake pesanan Devan ya. Aku dipanggil Bos Ten." Dita meletakkan milkshake di atas tray lalu pergi dengan terburu-buru.

Kinara melangkahkan Kakinya sangat pelan saat ia menuju tempat Devan duduk bersama teman-temannya. Pria itu sedang tertawa sambil bermain dengan Blacky.

"Permisi, ini milkshake pesanan kamu," ucap Kinara pelan.

Devan menerima milkshake itu tanpa mengucapkan terima kasih. Sementara Kinara menunggu pria itu mengatakan sesuatu.

"Ngapain lo masih di sini?" tanya Devan dingin.

"Maaf." Kinara memegang tray dengan erat. Ini pertama kalinya Devan berbicara sangat dingin padanya dan itu hampir membuatnya menangis.

"Lo kok jadi dingin gitu, Van?" Johnny menatap Devan.

"Gue kesel sama dia. Gue masih belum bisa ngelupain kejadian di restaurant waktu itu."

"Tapi gue jadi kasihan sama Kinara. Dia terlalu lugu. Disuruh apapun sama Marcel dia mau aja." Zaki menimpali.

"Itu namanya bukan lugu, tapi bego," sahut Devan.

Zaki terkekeh. "Dia bego, tapi lo suka juga kan?"

Devan mengendikan bahunya. Ia tiba-tiba mengingat sesuatu tentang Marcel. "Za, lo lumayan deket kan sama Marcel. Dia punya saudara yang udah meninggal, nggak? Namanya Gita."

"Setau gue dia anak tunggal. Kenapa?"

"Gue ngeliat dia di makam dan gue jadi penasaran. Lo bantu gue ya, Za. Cari tau tentang cewek yang namanya Gita dan apa hubungan dia sama Marcel."

"Masalah gue sama Rosi aja belum selesai. Lo malah minta bantuan sama gue lagi." Zaki menekuk wajahnya.

"Rosi masih belum maafin lo juga? Lo udah sering gue ajarin masih aja bego kayak Ten."

"Ngomongin gue lo?" Tenlio muncul lalu duduk sambil meminum milkshake milik Devan.

"Gue udah kasi dia bunga. Gue udah mohon-mohon. Tapi dia tetep gak mau maafin gue. Pusing gue."

"Payah banget lo. Rosi gak butuh bunga. Yang dia butuhin cuma ketulusan lo, tunjukkin kalau lo menyesal dan tunjukkin kalau lo mau berubah," kata Devan sambil memukul kepala Tenlio yang terus meminum milkshake-nya.

"Kalau lo lagi kayak gini, brengsek lo gak kelihatan, Van. Gue pasti bakal bantu lo," ucap Zaki.

"Kok sepi banget, Ten. Kafe lo udah tutup?" Johnny tidak melihat orang lain selain mereka.

Tenlio menganguk. "Iya, kafe gue tutup lebih awal hari ini."

"Kinara udah pulang?" tanya Devan khawatir. Di luar sedang hujan deras. Meski sedang kesal namun nyatanya Devan tetap mengkhawatirkan gadis itu.

"Udah, tapi gue gak tau dia udah di jemput apa belum."

Devan bergegas turun ke bawah. Ia tidak lupa mengambil payung. Saat sudah berada di luar kafe, pria itu mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Kinara. Langkah kakinya berhenti ketika melihat Kinara sedang berteduh sambil memeluk tubuhnya sendiri. Gadis itu terlihat kedinginan.
Devan melepas jaketnya dan meminta bantuan kepada wanita paruh baya yang lewat tepat di hadapannya.

"Bu, boleh minta tolong, nggak. Kasi jaket ini ke cewek yang ada di sana."

Wanita paruh baya itu mengambil jaket milik Devan lalu menuju ke tempat Kinara.

"Nak, ini jaket buat kamu."

Kinara terlihat bingung. Namun tetap mengambil jaket itu. Ia sangat kedinginan sekarang. "Terima kasih, Bu," ucapnya sambil tersenyum.

Kinara memakai jaket itu di tubuhnya. Ia mendadak terdiam. Gadis itu mengenali wangi yang tercium dari jaket itu. "Devan," lirihnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.

Devan yang menyadari itu segera membalikkan tubuhnya. Tetapi Kinara langsung memanggil namanya.

"Devan, tunggu." Kinara menghampiri Devan tanpa peduli hujan membasahi tubuhnya. Ia menepuk punggung Devan agar pria itu melihat ke arahnya.

"Ngapain lo hujan-hujanan?"

"Kamu kesel sama aku?" Kinara sedikit meninggikan volume suaranya agar bisa di dengar Devan.

"Iya," jawab Devan datar.

"Kalau lagi kesel kenapa kamu ngasi jaket ini ke aku?"

"Gue gak mau lo kedinginan."

Kinara memainkan jari-jari tangannya. Ia mendongak menatap Devan. "Devan, maaf."

"Kenapa lo minta maaf? Bukannya lo seneng karena sekarang gue udah ngejauh. Gue gak bakal ikut campur lagi sama urusan lo."

Kinara menundukkan kepalanya. Devan membuatnya tidak bisa berkata-kata. Apa yang ia ucapkan saat di restaurant waktu itu ia ucapankan karena sedang marah.

"Cowok lo udah dateng," Devan melihat mobil Marcel. Ia memberikan payungnya pada Kinara lalu pergi dari hadapan gadis itu.

"Devan, jaket kamu."

"Buat lo aja."

*****









One MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang