21

129 16 8
                                    

"Aku baik-baik aja, Devan. Kamu harus fokus nyetirnya, aku gak mau kita kecelakaan."

Sejak masuk ke dalam mobil, Devan terus mengarahkan pandangannya pada Kinara. Ia mengkhawatirkan gadis itu.

"Gua gak suka lo pura-pura baik-baik aja kayak sekarang. Setelah disakitin sama cowok yang lo cintai dan percayai, lo gak mungkin baik-baik aja."

Kinara menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mengingat itu lagi, ia tidak ingin menangis lagi. "Devan, aku gak mau nangis lagi. Please, kamu jangan bahas itu."

Devan menepikan mobilnya di pinggir jalan. Ia tidak bisa menyetir dengan fokus jika gadis yang berada di sampingnya sedang bersedih.

"It's okay to cry. Menangis bisa ngurangin rasa sakit lo."

Kinara tersenyum, namun air matanya kembali keluar. Devan yang tidak tahan melihat Kinara seperti itu memeluknya dengan erat. "Jujur, gue gak tau gimana caranya ngehibur cewek yang lagi sedih. Yang bisa gue lakuin cuma meluk lo."

Kinara menangis sesenggukan. "Maafin aku. Maaf, karena aku udah nuduh kamu. Maaf, karena aku udah gak percaya sama kamu."

Devan meletakkan dagunya di bahu Kinara. Hatinya terasa sakit mendengar permintaan maaf yang Kinara ucapakan. "Gue udah maafin lo, lo gak perlu mikirin itu lagi. Yang penting buat gue sekarang cuma lo."

Posisi keduanya tetap seperti itu selama beberapa menit. Saat Devan tidak mendengar suara tangis Kinara lagi, ia melepaskan pelukannya dan mereka pun saling menatap satu sama lain.

"Lo udah ngerasa lebih baik?" tanya Devan sambil membawa beberapa helai rambut Kinara ke belakang telinga dan menghapus air mata gadis itu.

Kinara mengangguk pelan. "Iya, berkat kamu."

"Bibir lo kenapa?" Devan menyentuh bibir Kinara yang terluka.

"Oh, ini kegigit waktu aku lagi makan."

Devan menyunggingkan senyum tipisnya. "Gue udah pernah bilang belum?"

"Bilang apa?"

"Lo sama sekali gak ada bakat bohong, tapi gua gak akan maksa lo untuk jujur sama gue. Nanti gue beliin salep, ya." Devan berbicara sangat lembut. Saking lembutnya hingga membuat Kinara tersentuh.

"Devan."

"Hm." Devan hanya membalasnya dengan berdeham.

"Makasi."

"Makasi doang?"

"Kamu mau apa?" tanya Kinara.

Devan menatap Kinara lekat. "Kali ini gue gak minta yang aneh-aneh. Gue cuma mau lo gak sedih lagi."

"Aku gak akan sedih lagi kalau itu yang kamu mau."

Devan tersenyum. "Bagus! itu baru Kinara gue." Ia membelai rambut Kinara dengan sayang.

****

Marcel melempar semua barang-barang yang berada di kamarnya. Ia tidak tahu harus melampiaskan kemarahannya kepada siapa.

Seseorang membuka pintu kamarnya. Nindi memasuki kamar Marcel. Ibu pria itu menghubunginya dan memintanya untuk menenangkan Marcel.

"Marcel, ada apa?"

Marcel menghampiri Nindi. "Kinara tau semuanya. Dia mutusin aku, aku gak mau kehilangan dia."

Nindi sudah menduga ini akan terjadi, cepat atau lambat Kinara pasti akan mengetahui semuanya. "Kamu bisa cari cewek lain, Marcel."

"Enggak! Yang aku mau itu Kinara."

"Tapi semuanya gak segampang itu. Kamu udah bohongin Kinara selama ini. Dia gak mungkin mau balik lagi sama kamu."

"Kinara cinta sama aku, dia pasti mau maafin aku."

Nindi mencoba mendekati Marcel. Ia menepuk bahu sahabatnya itu. "Kamu udah ngekhianatin cinta itu, Marcel. Seharusnya dari awal kamu belajar mencintai Kinara dan ngelupain tentang Gita."

Marcel menatap bingkai foto Gita. "Aku gak mau kehilangan untuk kedua kalinya."

"Aku ngerti, tapi ini udah terjadi. Kamu harus mencoba mengikhlaskan semuanya. Aku yakin, Gita gak mau ngeliat kamu kayak gini."

Marcel meluruhkan tubuhnya di lantai, ia memijit pelipisnya. "Aku akan berusaha untuk mendapatkan Kinara kembali."

Nindi tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya berharap Marcel segera menyadari kesalahannya dan mengikhlaskan semuanya.

****

"John, gue perhatiin lo makin lengket sama Maya. Udah jadian, ya?" Tenlio mencolek-colek pipi Johnny.

"Urusin urusan lo sendiri. Jangan sok tau!"

"Gak asik lo, padahal Maya kan cantik. Maafin kali."

"Lo pikir maafin orang yang udah nyakitin lo itu gampang. Gak peduli secantik apapun Maya, gue gak bisa semudah itu maafin dia."

Devan dan Zaki menoleh secara bersamaan ke arah Johnny. Zaki mendekati pria itu. "Lo bener, John. Gue sampai sekarang  belum bisa dapetin maaf dari Rosi."

"Tuhan aja Maha Pemaaf. Gue tau Maya udah nyakitin lo, tapi dia juga udah minta maaf dan menyesal. Apa salahnya ngasi kesempatan kedua. Lo harus inget, John. Semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua."

Devan bertepuk tangan mendengar perkataan bijak dari Tenlio. "Keren lo, Ten. Dapet dari google lo kata-kata itu?"

"Gue juga bingung, kenapa gue bisa sebijak itu." Tenlio tertawa begitu juga dengan Devan.

"Ten, lo ngomong kayak gitu sekali lagi. Gue mau rekam." Zaki mengeluarkan ponselnya dan bersiap untuk merekam.

"Udah ketebak banget lo, Za. Lo mau ngasi rekaman suara itu ke Rosi, kan. Supaya dia mau ngasi lo kesempatan kedua," ucap Devan sambil terkekeh.

Zaki mengangguk. "Siapa tau dia berubah pikiran setelah denger kata-kata bijak dari Ten."

"Rosi cuma mau lo berubah, dia gak bakalan terpengaruh sama kata-kata bijak si cumi kalau lo tetep genit ke cewek lain," ujar Devan.

Zaki mengacak rambutnya, ia terlihat frustasi. "Ten, gue saranin pertahanin status jomblo lo. Punya cewek ribet tau nggak. Kepala gue aja sampai pusing, bentar lagi rontok nih rambut gue."

Tenlio tertawa terbahak-bahak. "Bego! Lo juga udah ada ubannya gue liat."

"Seriusan lo?" Zaki berlari ke kamarnya untuk berkaca dan itu membuat ketiga sahabatnya tertawa sangat keras.

****











One MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang