Sakura mengerjab merasakan pendingin ruangan terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk-nusuk kulit seperti jarum. Aroma laut yang selalu di pasang dalam kelas berubah menjadi aroma antiseptik yang keras masuk ke hidungnya. Dirasakan tubuhnya yang memberat dan ia sangat lemas. Sakura melirik ke kanan, pada tangannya yang di tancapi selang infus yang seperti ada di rumah sakit. Apa aku sedang di rumah sakit?
Tapi seingatnya Sakura ada di dalam kelas seperti biasanya, memperhatikan dosen di depan dengan khusyuk. Sampai terdengar sayup-sayup keluhan yang keluar dari mulut orang lain, berharap kelas membosankan ini cepat berakhir. Atau saat dirinya yang tengah duduk mengerjakan proyek baru dari anak SMA yang merengek minta di buatkan komik untuk tugas sekolahnya. Apa ini mimpi?
Sakura terbangun dan mendapati sosok lain duduk di sisi kirinya, menatap dengan mata yang tajam, sontak ia terkejut. "Siapa kau?"
"Dua kali aku mendengar kata itu. Aku Uchiha Sasuke, kau pasti ingat sesuatu?"
Sakura diam sejenak, mengembalikan tenaga dan ingatan. Ya, apa yang ia lihat tadi hanya mimpi belaka. Dirinya ada di rumah, dengan histeris membanting apapun yang bisa melampiaskan rasa sesaknya. Hanya karena sebuah alat kecil, yang menunjukkan bukti bahwa dirinya tengah hamil. Melihat kenyataan itu amarahnya tidak lagi terbendung, merenggut kesedihannya sendiri. Sampai rasa mual itu kembali menyerang, kepalanya mendadak pusing dan setelahnya pandangan matanya menggelap.
Dengan sisa amarahnya yang masih tersimpan, Sakura menatap pria itu dingin nan tajam, siap melayangkan tamparan. Ingatannya kembali ke malam itu. Malam yang paling kelam dan ia tidak mau mengingatnya. Tapi pria itu kini ada di hadapannya dengan raut wajah yang tenang seolah tak terjadi apa-apa saat itu.
"Mau apa kau?!"nafasnya memburu. Tenaganya habis dan ia benar-benar seperti tidak berdaya, di tambah pria itu di sini. "Pergi dari hadapan ku. Aku tidak mengenal mu, yang aku tahu kau hanya pria bajingan! Ku bilang pergi."
Hanya kepalan tangan yang memegang selimut dengan erat yang bisa Sakura lakukan saat ini, kala ia benar-benar tidak lagi berdaya. Ada rasa nyeri di sudut perutnya, dan lagi tancapan jarum di punggung tangannya membawa rasa dingin yang mengganggu.
Tapi sampai menit-menit berlalu, hanya suara keheningan yang terdengar, mengalahkan detak jam dinding. Pria itu tidak mengeluarkan suara atau pergerakan berarti. Sakura jadi kalut sendiri. Apa yang sedang pria itu lakukan, kenapa hanya diam dan tak menanggapi ucapannya. Apa pria itu tuli? Sakura menarik nafas, mendapati pria itu masih menatapnya dengan pandangan lurus.
"Kau tuli? Tidak bisa bicara?" Tanyanya sarkatis.
Terdengar tarikan nafas yang panjang, Sakura menatap pria itu waspada. "Tidak, aku bisa bicara. Apa yang ingin kau dengar?"
Sakura menautkan alisnya, merasa bingung dengan reaksi pria itu. Apa dia tidak menyadari jika dirinya marah. Sesuatu telah terjadi yang telah berdampak besar baginya. Bagi kelanjutan kehidupannya. Bagaimana mungkin ia akan menjalani hidup sebagai wanita hamil di luar pernikahan. Seperti apa orang akan memandangnya? Seperti apa pikiran mereka menanggapi kemalangannya? Dia gadis baik-baik, setidaknya itu yang selama ini ia lakukan, menaati aturan dan bersikap sopan pada siapapun. Apa pria itu tidak menyesali perbuatannya? Amarahnya kembali membuncak.
"Pergi dari sini."
Pria itu menarik nafasnya lagi, menempatkan tangannya di pangkuan. "Aku melihat mu pingsan, membawa mu ke sini, dan membayar administrasi. Dan lagi__"
"Kalau begitu terimakasih. Berikan nomor rekening mu, atau apapun agar aku bisa membayar hutang ku." Sakura memotong cepat ucapan pria itu. Tubuhnya bergerak agar tidur menyamping untuk meredam nyeri di perut yang masih terasa. "Pergilah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Better [ Telah TerRevisi ]
FanfictionKejadian malam itu tak pernah sekalipun Sakura lupakan, walau ia benar-benar ingin melupakannya, karena membawa keburukan bagi kelangsungan hidupnya. Pada Sasuke yang patah hati dan berkeinginan apapun untuk kembali hidup, tapi kesalahan malam itu m...