Pelukan Hangat

136 17 2
                                    

Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya. Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.

Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.

Baru bebera jam yang lalu, aku memutuskan atau lebih tepatnya menyetujui keputusan Beni untuk pindah ke rumah yang baru saja ia beli. Aku lega, akhirnya si kembar bisa terus dekat dekat Beni—Papanya. Atinya jika mereka merindukan Beni akan lebih mudah karena Andin dan Andita bisa langsung memeluknya dengan hangat tanpa harus menunggu kepulangannya kembali.

“Andin, Andita … Sini! Aku berseru memanggil si kembar karena ingin memberi tahu pada mereka bahwa besok kita akan pindah ke rumah baru di luar kota.

“Iya, Mama,” jawab mereka serempak.
“Sayang … kalian mau, kan, tinggal bareng Papa?”  tanyaku seraya merangkul kedua putri kembar  ku.

“Mau … Mau, Ma. Berarti Andin bisa main bareng Papa terus, dong, asik ….” lanjut gadis kecil yang hobinya memakai bando terus di rambutnya.

“Kalo Andita biasa aja, sih, Ma. Paling nanti Papa marah lagi kayak kemarin malam,” balas gadis kecilku yang super cuek dengan segala tingkahnya.

“Kalian lupa kalo masih ada Mama yang selalu menyayangi kalian dan nggak ikut marah-marahin kalian kayak Papa,” ucapku sembari mengecup hangat pipi lembut mereka secara bergantian.

“Hore … Andita juga mau, Mama.” Gadis kecilku mendongak dengan memperlihatkan deretan gigi putihnya yang sedikit tampak hitam karena makanan manis yang tidak pernah lepas mulutnya.

“Jadi, sambil nunggu Papa jemput, yuk kita beresin barang-barang dulu, Sayang.” Aku menarik kedua tangan mereka melangkah masuk dan mereka sangat antusias menanggapinya.

Selesai sarapan, aku memulainya dengan mengeluarkan isi lemari lalu memilahnya dengan rapi sebelumnya memenuhi koper-koper yang masih terletak di sudut ruang kamar. Saat membereskan berapa helai pakaian yang tergantung, tanganku berhenti pada sebuah gaun yang masih terlihat sangat indah dan menawan. Iya itu adalah hadiah ulang tahunku yang diberikan Beni dengan sepenuh cinta yang ia miliki. Ingatan ini masih membekas kala malam itu ia mengajakku berdansa di sebuah kafe dengan kejutan manis yang sudah ia persiapkan beberapa menit sebelum mengajakku ke sana, begitu katanya. Malam itu merupakan titik romantis kami selama menikah dengan lelaki yang membuatku terpesona oleh rambut belah sampingnya. Kadang cinta itu memang terlihat konyol kehadirannya akan tetapi aku sungguh menyukainya sepenuh jiwa.

Beberapa saat kemudian, aku melanjutkan untuk memindahkan barang-barang kecil seperti perlengkapan makeup aku yang lumayan banyak jumlahnya dan beragam bentuknya, lebih baik tidak kusebutkan karena itu akan menambah kesibukanku saja. Selesai semua pakaian masuk dalam dua koper yang berukuran besar kemudian aku melangkah ke kamar si kembar.

“Sayang, kok, ini pada berantakan semua?” Aku kaget ketika melirik ke seluruh kamar kedua putriku yang di penuhi dengan banyak baju berserakan.

“Maaf, Ma. Andin tadi mau masukin baju-baju ke dalam kopernya tapi waktu Andin ngambil dari lemari terus jatuh semuanya,” ucap gadis kecilku dengan tatapan polosnya.

“Andita juga gitu, Ma,” timpal adiknya dengan mulut sedikit dimonyongkan ke depan hingga membuatku tersenyum kecil padanya.

“Ya, udah. Nggak apa-apa kok, Sayang. Yang penting Mama tahu kalo kalian mau bantuin beresin barang-barang kita.” Aku kembali memeluk keduanya dengan hangat.

Saking sibuknya, aku tidak menghiraukan lagi arah jarum jam yang tersemat di dinding. Penting bagiku untuk mengepak semua barang-barang yang dibutuhkan karena nantinya isinya yang lain di sini akan ikut dijual kembali jika ada orang yang bersedia membelinya.

BeBerapa foto yang kujadikan pajangan di dinding ruang tamu sudah kumasukkan ke sejumlah kardus berukuran besar yang tersedia di gudang. Bahkan seluruh alat-alat perlengkapan dapur telah kubereskan. Tidak lupa juga dengan mesin cuci, kulkas, sofa dan lainnya yang tersusun siap diangkut bila acara pindah rumah tiba.

Sembari menunggu suamiku pulang, mungkin sebaiknya siang ini aku berpikir memesan makanan cepat saji saja melalui delivery. Aku melangkah menuju ruang TV karena di sana tempat ponsel berada agar terjaga aman dari barang-barang yang semula kubereskan.

Aku menyalakan benda pipih yang kupegang erat di tangan, mencari menu yang kuinginkan dan juga kesukaan putriku tentunya. Akhirnya pilihanku jatuh pada menu paket ayam goreng sambal pedas dan untuk putriku  ayam crispy sambal tomat karena mereka tidak menyukai pedas-pedas.

Masih dalam masa menunggu, aku ikut menemani kedua putriku dengan bermain boneka beruang dan singa yang membuatku tidak berhenti tertawa mendengar celoteh dua gadis kecil itu. Kadang dengan tingkah mereka yang lucu membuatku melupakan berbagai kegelisahan termasuk soal penglihatanku yang selalu membuat hidup ini tidak tenang.

Rasa bosan dengan kehadiran-kehadiran makhluk tak kasat mata itu lama-lama membuatku tidak ingin memedulikan lagi. Bahkan hampir setiap malam mereka memenuhi kamarku dengan suara-suara aneh dan bau anyir yang menyeruak hingga ke seluruh ruangan rumah ini. Oleh karena itu, aku sudah sangat terbiasa dengan mereka yang tak terlihat oleh pandangan mata normal.

Tak berapa lama aku mendengar deru mesin dari luar, lantas aku langsung kurir antar makanan yang baru saja kupesan. Setelah mengambilnya lalu aku masuk dan menyiapkan piring dan lainnya. Aku menaiki anak tangga mengajak kedua putriku makan siang sementara Papanya belum juga datang menjemput.

Kulihat Andin dan Andita begitu lahap memakan ayam crispy itu hingga yang menyisakan tulang saja. Aku bahagia melihat dua putriku itu, mereka sangat rukun dan kompak dalam segala hal kecuali penampilannya saja dan itu tidak menjadi masalah untukku.

Saat kami sedang makan, tiba-tiba ponsel di sebelah sana berbunyi menandakan ada notifikasi yang masuk. Tanpa kuselesaikan makan yang tinggal sedikit lagi, aku langsung melangkah dan menyalakannya. Ternyata itu pesan dari Beni yang katanya belum bisa menjemput hari ini karena mendadak ia ada rapat property penting yang harus dirundingkan. Akhirnya aku mencoba member pengertian pada ke dua putriku dan mengatakan besok Papanya pasti menjemput mereka.

Malam ini kami tidur di kamar tamu karena hanya kamar itu yang masih tersisa hanya sja aku perlu memasangkan sprainya saja. Entah, di saat seluruh isi rumah di packing tiba-tiba aku merasakan kehampaan yang kosong dalam rumah dan juga kamar yang saat ini kutempati. Mungkin karena kamar kosong sejak Nadia pindah, pikirku ini wajar sampai aku merasakan kehadiran sosok bayangan hitam yang menjulang tinggi mencapai plafon kamar.

Segera kutarik selimut dan berusaha keras mengabaikannya dan ingin membuka dan mendongak ke arah matanya yang begitu menyala menyilaukan mata.

Esok pagi, usai membantu Andin dan Andita berpakaian rapi tak lupa aku menyisir rambut mereka dan meraih bando kesukaannya. Kasih sayang yang kuberikan pada mereka selalu berujung pada dua pelukan yang begitu hangat. Saking lamanya aku menikmati pelukan dua putriku, mata ini dikejutkan oleh sosok lelaki dengan rambut belah sampingnya yang menatap sedikit aneh pada kedua pasang tangan dua gadis kecil yang semakin mengeratkan pelukannya hingga rasanya sulit untuk bernapas.

Lagi-lagi itu tatapan Beni yang mendadak membuatku gelisah tak keruan.

Bersambung ….

Bantu vote ya teman-teman, terima kasih


















Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang