Siapa Lagi yang Main Petak Umpet?

78 10 1
                                    


“Sayang, udah, dong! Ah, paling juga ada orang yang lewat, mungkin tetangga sebelah kali,” ucapku mencoba membuat keadaan menjadi tenang kembali.

“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu aku jadi lebih tenang sekarang.

“Oh, iya. Yuk kita makan malam, Sayang. Aku tadi ada masak nasi goreng kesukaan kamu lho. Tandi Andin jaga Andita bantuin aku masak. Mereka seneng banget, Sayang.

“Wah, pasti enak banget kayaknya ya, Sayang. Yuk!” Aku meraih tangan Beni lalu mengajaknya keluar dari kamar.

Belum jauh melangkah, tiba-tiba aku berhenti, “Sayang, kamu jalan aja dulu ke ruang makan, Ya? Aku mau ke kamar si kembar dulu.”

“Oke, Sayang. Kamu hati-hati, ya, kalau ada apa-apa panggil aku saja,” ucap Beni dan berjalan hingga ke ruang makan.

Saat kakiku melangkah berbalik, aku merasa seperti ada yang mengikuti dari belakang. Karena tak ingin menoleh, akhirnya kupercepat langkah dan berhenti tepat di depan kamar putri ku.

“Sayang! Makan malam, Sayang!” Aku memanggil mereka dari balik pintu karena kupikir mereka akan keluar sendiri.

“Iya, Mama.” Tuh, kan Andin keluar sendiri disusul Andita dari belakang.

Beberapa saat, kami sudah duduk manis di depan menu spesial masakan suamiku, nasi goreng campur sayur bayam. Menu yang biasa kami makan sewaktu baru-baru menikah dulu. Pantas saja Beni ingin mengulang masa-masa indah kami sekarang karena ia sadar kebahagiaan sekarang lebih penting terutama untuk kedua putri kembar kami.

Senyum hangat itu baru kembali lagi setelah sekian lama aku tak melihatnya. Beni tersenyum bahagia kala Andin dan Andita bercanda tawa dengannya. Rasanya sosok Papa yang terbaik yang pernah kutemui, dia lah—Beni lelakiku.

Sesekali suamiku menyuapi Andin dan juga Andita. Menyambut itu semua, kedua putri kembar kesayangan aku sungguh bahagia tak terkira. Senyum ceria terus mengukir di wajah-wajah polos itu. Pun aku tak mampu untuk bersembunyi di balik rasa bahagia mereka—orang tersayang.

Sesaat kemudian, Beni dan si kembar berpindah dari meja makan ke ruang TV. Seperti biasa saat Beni tengah duduk menonton acara kesukaannya, saat itu pula Andin dan Andita bergelayut manja dengan mereka. Terlihat Beni menggelitik Andin dan itu aku sangat menyukainya. Kedekatan anak dan papanya kini semakin erat dan saling melindungi.

Setelah kubereskan semua piring kotor lalu kuangkat ke wastafel dan mencucinya satu persatu. Tiba-tiba angin menerobos masuk dan mendadak suasana ruangan ini menjadi dingin sekali. Saat tanganku membilas piring yang terakhir, aku seperti menangkap sosok bayangan putih berdiri di dekat kursi dalam ruangan di dapur. Benar saja, mahluk tak berwujud itu diam tanpa suara. Terlihat rambut panjang hitam dan terurai membelakangi.

Akan tetapi, aku tak ingin membuat suara dan mengajaknya untuk berkomunikasi secara gaib. Mungkin ini bukan waktu yang tepat karena aku mau menikmati kebahagiaan dengan keluarga kecil ku. Anehnya, setelah selesai mencuci piring aku menoleh dan sosok itu pun menghilang dari pandangan.

“Mama, Papa! Kita main petak umpet, yuk?” ajak Andin terlihat begitu manja dari ekspresi wajahnya.

“Ini udah malam, Sayang. Besok aja, ya,?” Aku mencoba untuk tidak mengiyakan ajakan mereka karena kupikir tidak mungkin malam-malam main sembunyi-sembunyi seperti itu.

“Ayo lah, Pa! Andin maunya malam ini mainnya. Iya, kan, Andita? Kamu juga mau main petak umpet kan?” Andin melirik Andita mencari dukungan dari aku.

“Nggak apa-apa, Sayang. Boleh aja, kok, sesekali main petak umpet sama putri-putri kita,” timpal Beni yang buat aku kaget kenapa ia tiba-tiba mau mengiyakan ajakan mereka.

Akhirnya, aku setuju bermain permainan semasa ku kecil itu. Sekarang giliran putri ku yang menikmati masa kecilnya. Mendadak suasana rumah ini menjadi sepi dan udaranya juga lebih dingin dari biasanya. Beni dan kedua putri ku berlari berpencar untuk bersembunyi di tempat yang sulit untuk ditemukan.

Sedangkan aku giliran menjaga dan memainkan peran untuk mencari di mana mereka bersembunyi. Beberapa menit berlalu, lantas aku berjalan di keremangan malam yang cahaya lampu tidak terlalu terang. Perlahan aku berjalan menuju tempat mereka bersembunyi. Aku menyusuri seluruh ruangan dan mengintip di bawah kolong meja dilanjutkan ke arah dapur. Kebetulan di sana juga ada perabotan yang lumayan besar, bisa saja salah satu dari mereka bersembunyi di sana.

Aku mencoba melongok ke sudut bawah wastafel tapi, satu pun dari mereka tak ada. Selanjutnya aku berjalan keluar dari ruangan dapur menuju ruangan sedang yang biasa dipakai untuk gudang. Ketika gerak langkah berhenti tiba-tiba seperti ada yang lewat dan bersembunyi dan aku menebaknya itu Andin. Karena tadi terlihat sekilas baju yang ia pakai sama.

Ketika aku berjalan sedikit meloncat ke belakang bufet dan aku juga tak menemukan siapa-siapa. Akhirnya kepanikan mulai membuatku berlari ke seluruh ruangan yang tiba-tiba senyam tanpa ada tanda-tanda Beni dan si kembar.

Bagaimana mungkin mereka tidak ada di seluruh ruangan dalam rumah ini? Kemana mereka? Perlahan aku melihat seperti ada yang berlarian di dalam ruangan belakang. Benar saja, ketika kutuju ke arah suara langkah berlari tadi aku juga tidak menemukan apa-apa. Lagi-lagi seluruh ruangan kosong termasuk kamarku dan kamar si kembar.

Astaga! Kenapa tadi aku mengizinkan mereka main petak umpet jika harus kehilangan jejak  mereka. Setengah jam aku berputar-putar mencari keberadaan mereka akan tetapi, aku tidak menemukan mereka di mana pun.

Tiba-tiba saat aku duduk istirahat sejenak, terdengar suara Andin memanggil.
“Mama! Tadi ke mana aja? Kami panggil-panggil Mama mau main petak umpet. Terus karena kami capek nungguin mama nggak datang-datang kami main sama Andita juga sama papa.”
“Apa, Sayang? Mama dari tadi nyariin kalian lho, tapi nggak ketemu-ketemu. Bukannya kita jadi main petak umpetnya?”

“Bener kata Andin, Sayang. Tadi kami cari ku ke mana-mana tapi nggak ada,” ucap Beni tiba-tiba datang bersama Andita.
“Beneran, Sayang. Tadi aku ikut main lho sama kalian.” Aku mencoba meyakinkan mereka bahwa aku yakin dengan pembicaraan barusan.

“Jadi, tadi Mama main petak umpet sama siapa?”
“Siapa lagi yang main petak umpet selain kami, Sayang?”tanya Beni terlihat panik dan penasaran.
“Aku juga nggak tahu, Sayang. Yang aku tahu kalian sedang bermain petak umpet sama Mama.” Aku sekali lagi mencoba meyakinkan mereka.

Astaga! Jadi tadi aku main petak umpet dengan sosok yang tak berwujud? Kenapa aku harus melalui ini semua? Jawabannya sama sekali tidak kuketahui. Tapi, aku bersyukur karena keluarga kecil ku masih bisa melihat mereka tersenyum saat membuka mata dari mimpi indah mereka.

Sedang beberapa jam yang lalu seperti mimpi bagiku. Rasanya sulit untuk bernapas dan bahkan untuk bangun butuh kekuatan lebih.



Bersambung ....



Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang