Menyesal

76 9 3
                                    


Setiap kali melihat senyum polos putri-putriku, seketika diri ini hancur bahkan berkeping-keping jadinya. Suara isak tangis mereka masih dapat kurasa, dalam dekapanku mereka menumpahkan air matanya. Oleh karena sikap Papanya terkadang buat mereka tidak mengerti bahkan aku sendiri tidak mampu memahaminya.

Baru saja Beni menepis tangan-tangan mungil gadis kecil kami dengan sangat kasar seperti ia memperlakukan orang lain.

Aku mencoba mamahami kondisi yang terjadi akan tetapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat putriku berdiri dalam keadaan ketakutan seperti ini.

Dan aku sangat tahu kalau Beni--suamiku menginginkan aku melayaninya malam ini tanpa gangguan si kembar. Semua ini bukan salah mereka karena wajar untuk usia sekecil mereka ada ketakutan mimpi buruk di waktu malam.

Sungguh suara ketakutan sekaligus napas mereka yang terengah-engah berlari ke kamarku.

"Mama! Ma ... An-An-Andin mi-mimpi buruk, Ma," lirih Andin.

"Andin dan Andita bo-boleh tidur di sini, Ma, Pa?

Jujur, harusnya waktu itu Beni sebagai Ayahnya langsung memeluk dan menenangkan putrinya tapi apa yang ia lakukan? Dengan sangat kasar Beni mengentak kakinya dan menepis kasar tangan Andin dan adiknya yang tegah memeluknya dan juga meminta perlindungan.

Aneh sungguh sangat aneh! Baru kemarin malam ia meminta maaf padaku dan bodohnya aku memberi maaf yang entah ke berapa lagi padanya. Namun, untuk kesekiankalinya aku selalu berusaga memaafkannya karena rasa cinta yang kupunya ini teramat dalam untuk suamiku.

Kali ini aku biarkan saja dulu Beni berdiam diri seperti itu mungkin dengan berada di luar rumah ia akan lebih tenang dan bisa berpikir jernih.

Malam ini hawa dingin kembali jenyergapku. Aku berbaring  di tengah ranjang dengan putriku dalam pelukan sisi kiri dan kanan. Kulirik ke arah jendela di sisi kiri dinding kamar dalam keremangan malam sekelebat bayangan putih terlewat dari kaca jendela dengan gordennya yang tersibak kilat oleh angin malam yang sedikit kencang. Lagi, sosok itu muncul di saat aku dan suamiku sedang bertengkar dan sehabis itu aku harus melihat penampakan yang sama sekali tidak kuinginkan.

Kuusap perlahan pucuk kepala Andin dan Andita bersamaan dengan kedua tanganku. Kutarik napas dalam sunyi dan senyapnya malam menatap wajah polos kedua putriku. Kuharap mereka bisa nyenyak untuk saat ini hingga esok pagi menjelang.

***

"Ma, hanphone Mama bunyi ni, Tante Nadia yang telepon!" seru Andin dari arah ruang tengah yang tedengar hingga ke ruangan dapur.

Segera aku melangkah dan berlari menyambar benda pipih itu. Kemudian kudekatkan ponselku ke telinga dan mendengar suara di baliknya.

"Halo, Mbak Adinda?"

"Iya, Nad. Ini, Mbak. Ada apa, Nad kamu nelfon?"

"Nggak ada apa-apa, Mbak. Nadia cuma mau nanya kabar Mbak Dinda aja, kok, Hehe. Oh, Andin, Andita, mereka apa kabarnya? Pasti udah gede sekarang, kan, Mbak?"

"Si kembar? Mereka baik-baik aja, Nad. Kapan nih, Tantenya main ke rumah?"

"Iya, Nih. Nadia mau banget, Mba. Tapi, sekarang lagi sibuk banget dengan kerjaan, Mbak. Mungkin minggu depan Nadia bisa ke tempat, mba karena kebetulan nggak banyak lagi kerjaannya.

"Oke, Mbak tunggu, ya, Nad."

"Kalo gitu, Nadia tutup dulu, ya, mau lanjut kerja lagi soalnya.

Selesai berbicara dengan sepupu, aku kemudian kembali ke dapur dan mengangkat makanan untu sarapan kami sebentar lagi.

"Sayang, yuk sarapan dulu!

"Iya, Mama."

Aku senang karena mereka bersemangat hari ini. Tidak seperti biasanya kalau habis dimarahi oleh Papanya, mereka menjadi murung dan bersedih. Sekarang malah bisa tertawa ceria menyambut sinar mentari pagi yang selalu menghangatkan.

"Ini, Sayang, Mama tadi bikinin susu hangat juga biat kalian. Habiskan, ya, putri kesayangan Mama, Andin juga Andita." Aku meraih dua helas susu hangat menyodorkan pada kedua putriku. Dan mereka antusias mengambil lalu meminumnya.

"Mama, maafin kita, ya, gara-gara kita mimpi buruk semalam jadinya ganggu Mama sama Papa. Andin nggal apa-apa kok, dimarahi sama Papa. Kan itu tandanya Papa sayang sama Andin dan juga Andita kan, Ma?" Aku terdiam ketika mendengar kata-kata semua itu dari putriku.

"Iya, Sayang. Nggak apa-apa ... kan, kami orang tua kalian jadi udah pasti melindungi kalian, Sayang," jawabku mencoba mengambil kesimpulan secara bijak pada kedua putriku.

Hening untuk beberapa saat sebelum mereka menghabiskan sisa makanan yang ada di piring. Lantas kembali lagi bermain bersama di halaman depan. Biasa, Andin dan Andita suka bermain kejar-kejaran.

Sementara aku masih terdiam mematung di sini. Rasanya sulit untuk melupakan kejadian-kejadian di rumah ini. Terlebih atas sikap emosional Beni dengan putri kembar kami.

"Kamu tahu, salah kamu selama ini apa, Dinda? Hah! Itu karena kamu lebih pilih kasih antara suami kamu dan anak kita. Aku lihat jelas dengan mata kepalaku kalau kamu sekarang lebih peduli mereka dari pada aku, suami kamu!"

Suara serta kata-kata Beni yang  kasar dan tega serta mengecewakan masih selalu terngiang di telingaku. Berat rasanya memberi maaf pada orang kita sayang apa lagi ia telah mengecewakan hati kita.

Begitu mungkin orang di luar sana merasakannya. Persis seperti yang kurasa sekarang. Pagi ini berahir kembali dengan ketidak pastian yang selalu memgharap seorang suami itu bagai sang pangeran yang siap selalu melindungi putri di istana. Namun,  semua ini hanyalah kesiaan belaka. Aku terus meratapinya hingga sore hati pun tiba.

Sepertinya, suamiki sudah pulang ke rumah. Dengan gengsi yang menguasai diri, aku berpura-pura tak menghiraukan kehadirannya. Benar saja, begitu langkanya mendekati arah tempat ku duduk saat ini, kenapa tiba-tiba ada yang lain dalam hati? Sepertinya tanda hati melunak segera menyapaku. Kenapa jadi seperti ini, Tuhan? Apa sebegitu besarnya cintaku pada seorang lelaki bernama Beni? Sungguh mungkin otakku sedang mendadak tidak waras ini.

Kubalikkan badan dan kupalingkan wajah ke arah jendela di dekat perabotan rumaj yang berdiri tegak. Mataku terap menatap benda mati ini tanpa ingin menoleh ke arah lelakiku itu.

Benar saja, langkahnya tidak mengarah ke depan aku melainkan ke sisiku wakau itu agak jauh beberapa senti saja.

"Aku tahu, kali ini kamu mungkin nggak mau maafin aku lagi tapi, aku cuma ingin kamu tahu kalau ini semua terjadi karena aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku baru paham sekarang gimana sibuknya kamu mengurus si kembar dan kamu pasti capek dengan semuanya. Aku juga baru ngerti apa artinya menjadi seorang ibu yang dengan susah payahnya merawat, mendidik dan melindungi putri kecilnya. Aku-aku menyesal, Dinda. Jujur, aku mencintai kamu  juga Andin dan Andita. Please ... maafin kesalahanku ya, Sayang." Tanpa terasa buliran bening ini jatuh mengenai pipiku. Sungguh kali ini aku tak bisa lagi menahan untuk tidak memeluk segera lelakiku.

Tuhan, jaga hubungan kami agar selalu terjaga.

Bersambung ...

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang