“Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”
“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.
“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.
“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.
Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.
“Sayang, kamu pasti capek banget, ya, sini jasnya biar aku pegang sekalian dokumennya!” Aku menyapa lelakiku dan merangkul pinggangnya.
Sesaat Beni merebahkan tubuhnya di atas ranjang, aku membantunya membukakan dasi serta membuka kancing kemejanya lalu kuraih kaus polos untuk ia menggantinya.
“Aku baru mau bilang sama kamu, tadi siang Nadia—sepupunya aku datang ke rumah kita dan ia akan menginap selama dua hari di sini. Sayang, ku nggak keberatan, kan?” Aku duduk di samping Beni dan menatapnya serius.
“Oh, Ya? Hmm ... Nggak apa-apa, kok, Sayang. Aku malahan senang kamu nggak kesepian dua hari. Hehe, iya, kan Sayang?” Beni menanggapinya semangat dan tampak ada rasa bahagia di matanya.
“Kalo gitu, aku mau nyiapin makan malam dulu, ya, Sayang. Masih ada sisa olahan bumbunya, kan,Sayang?” tanyaku sebelum menutup pintu kamar pada Beni dengan mata berbinar.
“Masih, Sayang. Masakin yang sedap, ya, Sayang!” seru Beni saat aku menutup pintu dan suaranya masih saja terdengar.
Aku dengan langkah cepat meluncur ke dapur. Tapi, sebelum itu aku sempat menoleh ke ruang TV, ternyata si kembar masih asik dengan acara tontonannya. Gelak tawa mereka memenuhi satu ruangan rasanya.
Di dapur, aku mencoba membuka lemari es dan mengambil bumbu serta sayuran buat diolah sebentar lagi. Tak lupa ayam segar yang di freezer dan berakhir di penggorengan. Itu semuanya akan ku siapkan beberapa menit ke depan.
Sembari mencincang sayur dan daun bawang, aku sempat melongok ke luar jendela dan memindai ke seluruh halaman sejenak. Sepertinya sinar matahari mulai meredup menandakan magrib hampir tiba.
“Wah, dari harumnya aja udah enak, nih, Mbak.” Aku mendengar suara Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku tengah sibuk menggoreng.
“Iya, dong, ini kan Mbak buat spesial buat kamu, Nad. Nanti pasti kamu dua kali nambah makannya, hehe,” jawabku mencoba menggoda gadis berambut sebahu itu.
“Oh, Iya? Beneran nih, buat aku, Mbak? Jangan-jangan buat papanya si kembar. Ayoo ngaku?” lanjut Nadia malah balik menggodaku.
“Kalo itu udah biasa mah, Nad. Udah gak ada yang spesial lagi,” balasku sembari mencuci piring bekas bumbu tadi.
“Mau dibantuin nggak, nih?” tawar Nadia mengarahkan pandangannya padaku.
“Boleh, boleh. Mbak lebih senang dibantuin, hehe.”
“Mbak, kok, pohon besar di sana nggak ditebang aja, ya? Kan, bentuknya udah kayak hutan gitu, gelap dan nyeremin juga lho. Lihat, deh, Mbak!” Aku bisa merasakan keanehan yang dirasakan Nadia karena terganggu dengan keberadaan pohon yang dikenal angker itu.
Akhirnya, aku mencoba mencari alasan positif agar Nadia percaya padaku. Karena aku tidak ingin ia juga diganggu hanya karena memikirkan pohon angker itu saja. Menurut Nenekku bilang, bahwa yang dipikirkan terus menerus itulah yang akan terjadi sama seperti kita akan mengalami sendiri suatu saat nanti.
Setelah kami menyiapkan menu makan malam di atas meja, lalu aku melangkah masuk ke kamar untuk mengajak Beni ikut makan bersama. Tentunya Andin dan Andita itu biar jadi urusan Nadia setidaknya dua hari ini.
“Sayang,makan malam udah siap. Yuk, kita makan dulu!” ajakku sembari menarik tangan Beni karena ia masih di tempat tidur.
“Oke, Sayangku. Kalo masakan kamu, aku nggak mungkin nolak.” Beni bangkit dan mencium pipiku seketika hingga aku tersenyum bahagia menatapnya.
Saat aku dan Beni sudah berada di depan meja makan, terlihat di kembar dan Nadia sudah terduduk manis di sana. Kami akhirnya menikmati makan malam bersama. Andin dan Andita seperti biasa saling disuapi oleh Papanya. Sedangkan aku dan Nadia hanya bisa melempar senyum melihat tingkah laku mereka.
“Mbak beruntung banget punya keluarga kecil kayak mereka, ya?” Nadia melirik ke arah ku dan juga Andin dan juga Andita.
“Iya, Nad. Ini bagian yang istimewa dari hidup Mbak,” jawabku tersenyum bahagia pada gadis cantik yang lagi menyendok makanannya.
Selesai makan, lalu aku dan Nadia memindahkan semua bekas piring kotor dan kami mencucinya sampai beres semua tertata rapi di rak. Kemudian duduk bersantai sejenak bersama Beni dan juga si kembar.
“Tante, Tante! Malam ini Andin sama Andita boleh tidur di kamar Tante Nadia nggak?” tanya Andin semangat sembari tersenyum manis pada Nadia.
“Boleh, dong, Sayang. Kan Tante ke sini karena kangen banget sama kalian ....” Aku melihat Nadia menjawabnya serta menggelitik kedua putri ku hingga mereka tertawa tanpa henti.
Aku dan Beni melihat mereka juga ikut tertawa. Sepertinya kali ini Beni memberi kodenya, dan itu aku paham apa maksudnya. Tentu kalian juga paham bukan? Biasa ritual suami istri, tahu kan maksudku?
***
Esok paginya, ketika aku mengajak Nadia untuk berbelanja ke pasar yang terdekat, tiba-tiba gadis itu mendapat telepon dari kantornya katanya ia harus balik hari ini juga karena ada meeting mendadak. Dan seketika itu pula aku harus mengurungkan niatku untuk membuat rencana selama Nadia menginap.
Meski awalnya Andin dan Andita menahan Nadia balik akan tetapi setelah Beni membujuknya akhirnya mereka mengerti bagaimana situasi Tantenya itu. Kebetulan Beni hari ini tidak ada pekerjaan yang terlalu penting, artinya aku bisa menitipkan si kembar untuk dijaga oleh Papanya.
Saat aku mengantar Nadia, tiba-tiba aku terpikir Andin dan Andita. Perlahan tapi pasti kali ini pikiran aku sungguh sangat gelisah. Padahal mereka sudah aman bersama Beni tapi, entah kenapa aku merasa kuatir ingin segera kembali pulang. Namun, soal itu aku tidak ingin menceritakan pada Nadia dari pada nantinya ia juga ikut cemas seperti aku.
Setelah mengantar Nadia, aku tak ingin berpikir panjang lagi melainkan harus segera kuputar setir melesat jauh di depan gerbang rumah.
Beberapa menit berlalu, akhirnya aku sampai juga dan segera kuparkir mobil di garasi dan berlari menuju kamar si kembar dengan perasaan was-was yang menyelimuti. Aku semakin gelisah ketika mereka tidak ada di kamarnya lalu aku berlari ke kamarku sendiri. Dan seketika rasa cemas yang menguasai seluruh pikiran berakhir menghilang ketika aku dituju pada pemandangan indah di hadapan.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Batin Adinda [Tamat]
HorrorAdinda yang menginginkan kebahagiaan dan ketenangan dalam keluarganya harus merasakan keanehan dan gangguan mahluk gaib. Semenjak kepindahan dirinya beserta keluarga ke rumah yang baru saja dibeli oleh Beni--suaminya, dua anak perempuannya, Andin da...