Nasib Malang Putri Kembar Ku

75 9 1
                                    

Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.

Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.

Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?

Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.

Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?

Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begitu dingin. Bulir bening dari kelopak matanya masih membasahi pipi mulusnya. Aku tahu pasti menyakitkan ketika seusia mereka harus merasakan perlakuan kejam ini. Meski mungkin aku berpikir seribu teriakan dan meronta-ronta tak meluluhkan hati si pembunuh itu.

Kemudian kuseret satu persatu tangan mereka lalu kusatukan pada tempatnya. Iya, mereka terlihat cantik dengan tangan yang melengkapinya. Andita yang manis masih bisa kulihat senyum di wajahnya sekarang meski pucat pasi tanpa ada lagi aliran darah dalam tubuhnya.

Sesaat berikutnya dengan susah payah kaki ini melangkah menuju ke kamar karena papa mereka harus tahu kejadian mengerikan ini. Berderai air mata dengan bergetar seluruh tubuh dan membuka pintu kamar akan tetapi aku tidak melihat Beni di tempat tidur. Pikiranku mulai gusar dan panik ini tak terkendalikan.

"Beni! Beni!" Aku terus memanggil suamiku dengan suara teriakan yang akhirnya terlepaskan juga dari mulutku.

Kemudian Beni keluar dengan tergesa-gesa. Rupanya ia dalam kamar mandi tadi.

"Sayang! Ada apa? Kenapa kamu teriak histeris kayak gini?" Beni terlihat ikut panik melihat reaksiku begini.

"Andin,  Andita ...." Aku seperti tak bisa menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

"Tenang, ya, Sayang. Aku di sini, aku di sini sama kamu." Lalu karena panik Beni pun memelukku dengan Erat.

"Sekarang, cerita sama aku ada apa ini?"

"Andita sama Andin udah nggak ada, Ben! Mereka telah dibunuh ...."

Aku akhirnya mengeluarkan suaraku meskipun rasanya terlalu berat untuk mengungkapkan kenyataan bahwa putri kesayanganku telah tiada.

Mendengar itu semua akhirnya Beni berlari cepat menuju kamar Andin dan juga Andita. Kulihat ia berdiri mematung di sana. Dan beberapa detik kemudian ia memelukku lagi. Sesaat hatiku terasa tenang dalam pelukannya. Namun, beberapa saat kemudian, aku seperti melihat raut wajah Beni sangat berbeda dan itu baru kali ini ia memperlihatkannya karena sebelumnya aku tidak pernah melihat wajahnya dengan ekspresi itu.

Tanpa berpikir panjang lagi, aku dan Beni sepakat untuk melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib. Tak berapa lama, suara khas kedatangan polisi memenuhi indra pendengaran warga komplek rumah.

Suasana mencekam yang kualami di rumah ini sudah cukup membuatku menyesal karena pernah tinggal.

Malam ini sungguh menjadi malam yang paling membekas dalam ingatanku. Bahkan aku mengira mereka masih berlarian di dalam rumah ini.

Begitu para polisi datang diiringi warga setempat juga tidak mau ketinggalan ikut menyaksikan kisah tragis dua putri kecil ku yang malang nasibnya.

Di antara warga itu, Bu Ruby juga datang melihat keadaanku yang saat ini lemah tak berdaya.

Saat rumahku sudah dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melihat ke lokasi kejadian, mereka juga ikut memberi semangat padaku. Bahkan tadi aku sudah menghubungi Nenekku dan keluargaku di sana. Kuharap mereka segera datang karena ingin kutumpahkan segala perih yang begitu mengiris hati ini.

Seketika garis kuning telah melingkari area rumahku. Sedangkan mereka para petugas terus menggeledah seluruh kamar serta seluruh ruangan untuk mencari bukti pembunuhan mengerikan itu.

Kedua mayat putriku diangkat dan dibawa untuk dilakukan otopsi oleh pihak forensik.

Rasanya masih belum mampu aku menerima kenyataan hidup yang begitu kejamnya menimpa keluarga kami.

"Sayang, kita harus ikhlas, ya, kita doakan semoga Andin dan Andita bisa tenang dan damai di surga. Mungkin sampai di sini waktu kita untuk menjaga buah hati kita, Sayang. Kita harus percaya semua ini pasti ada hikmahnya." ucap Beni memberiku pengertian dan semangat untuk tegar menerima semua ini tanpa ada beban di hati.

"Tapi, mereka masih terlalu kecil untuk bisa menerima kekejaman ini, Ben!" Aku masih saja belum bisa menerima kepahitan ini. Mungkin bagi Beni--sebagai lelaki mereka bisa menyeimbangkan antara kenyataan dan mimpi tapi bagi kami kaun perempuan belum mampu terlalu cepat seperti ini untuk menerimanya begitu saja.

Wajah polos dan mata indah kedua putri kecilku  terlalu sulit untuk hilang dalam ingatan. Baru kemarin rasanya dua tangan ini merawat dan meninabobokan mahluk kecilku itu, kini hanya tinggal kenangan yang masih membekas di dalam relung hati yang terdalam.

Pelukan hangat sang suami kini tak lagi bisa kurasa sejak sayap-sayap cintaku pada buah hati ku mematah. Sungguh berat untuk kujalani hidup tanpa canda tawa si kembar. Entah berapa lama aku hidup dalam kenangan indah yang tercipta di antara kami. Mungkin tak kan pernah hilang aku.

Sembari menunggu pemeriksaan yang masih berlangsung di dalam rumah, lalu aku menepi sejenak ingin menarik napas yang tadinya begitu sesak kurasa di dada ini. Pekat malam begitu dingin hingga menusuk ke dalam tulang, memejamkan mata dan mencoba tenang beberapa detik.

Dalam mata tertutup, tiba-tiba ingatanku membayangi sebuah pohon besar tinggi menjulang dengan hawa hitam yang melingkarinya.

Tunggu! Tapi kenapa sosok perempuan bermata sendu itu terlihat mengeluarkan air mata terus menerus tanpa henti. Dan tetesan itu bening bukan seperti sebelumnya yang kulihat memgeluarkan darah.

Apa mungkin hantu perempuan itu ikut bersedih dengan kejadian yang menimpa si kembar? Ah, mana mungkin  hantu bisa memperlihatkan kebaikan bukan kah dalam alam mereka hanya memperlihatkan dendam terhadap manusia yang masih hidup?

Apa jangan-jangan kejadian yang menimpa Andin dan Andita ada hubungannya dengan pohon angker itu? Karena bukan sekali saja para warga di sini kehilangan sanak saudaranya melainkan mereka jarus menerima kenyataan hingga beberapa kali ketika mendapati tubuh kaku dan bersimbah darah menimpa mereka.

Apa ini semua bagian dari pembalasan mahluk jahat penunggu pohon angker itu?

Aku jadi mengingat perkataan Bu Ruby katanya jangan pernah mendekati pohon angker di halaman belakang rumahku.

Beberapa warga terlihat sudah kembali ke rumahnya dan tanpa ku sadari sosok bermata sendu dengan rambut panjangnya kini berdiri di sebalahku dengan kakinya yang mengambar di atas tanah. Namun, tak seorangpun manusia di sana menyadarinya.

Benar saja, mata batinku dapat merasakan kehadiran arwah dua putriku yang masih mengawasi rumah ini dan kini mereka terlihat begitu pucat dengan wajah tersenyum bahagia.

Adinda!" Terdengar suara seseorang memanggil nama ku dan dari suaranya begitu familiar untukku.

Bersambung....

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang