“Sayang, Mama peringatin ya?Jangan keluar rumah tanpa izin dulu karena nggak aman, Sayang,” kataku dengan nada rendah tapi agak tegas.
“Iya, Ma. Tapi Andin masih boleh main sama Tante Maya kan, Ma?” tanya Andin serius menatap padaku dengan tatapannya yang begitu polos.
“Mama tadi nggak liat siapa-siapa, Sayang.” Aku mencoba bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa di hadapan mereka.
“Ada, Ma! Andita juga liat, ya, kan?” Andita melirik ke arah adiknya.
“Iya, Mama. Tadi Andita yang nanyain nama Tante Maya,” jawab Andita tersenyum kecil menatap tepat padaku.
“Ya, udah. Yuk masuk ke dalam, Sayang!” Akhirnya aku meraih ke dua tangan mereka dan mengajaknya melangkah menuju ruang makan.
Saat aku menutup pintu belakang, hawa aneh mulai kembali menyergap jiwa ini. Lagi, untuk kesekian kalinya aku mencium aroma melati yang menyengat. Rasanya masih tetap sama yang bercampur dengan bau anyir yang tak tertahan.
Di meja makan, terlihat Andin dan Andita tertawa dan saling memainkan botol minuman dengan menyemprotkan beberapa cipratan ke satu sama lain.
Sedang Aku masih dirundung kegelisahan yang dalam dan mungkin akan begitu selama masih menempati rumah ini. Namun, itu semua tidak terlalu kupermasalahkan asal dua putri ku bahagia bisa dekat dengan papanya aku sudah tidak perlu memikirkan hal yang lebih menakutkan lagi dari ini.
“Sayang, makan dulu gih! Nanti makanannya dingin lho.” Aku menyuruh mereka makan karena tidak ingin kedua putri ku masuk angin karena telat makan.
“Iya, Mama,” jawab Andin juga Andita secara bersamaan.
“Habisin ya, Sayang. Tahu, kan, kalo nggak habis, Mama nggak akan masakin lagi,” lanjutku sembari mengisi air putih dalam gelas kedua putri ku.
“Siap Mama ... Papa kok, belum pulang dari kantor ya, Ma?” tanya Andin polos. Aku menatap matanya yang tampak gelisah. Mungkin gadis kecil ku terlalu menghawatirkan papanya. Pun aku juga merasakan hal yang sama. Ah, mana tahu Beni masih sibuk sebab lembur di kantor.
Kenyataannya sekarang adalah melihat dua putri ku bahagia bisa dekat dengan Beni, Papanya. Walaupun aku harus menyembunyikan rahasia gelap rumah ini. Cukup aku saja yang bisa merasakan setiap hal yang menggangu pikiran bahkan mengurasi semua energi dalam diri. Usai makan, kedua putri ku kembali melanjutkan menonton acara kesukaan mereka
Kutatap wajah kedua putri ku lekat-lekat, benar saja aku tak mampu jika mereka hilang dari hidupku. Karena memiliki mereka adalah hal menakjubkan di dunia ini. Sesekali di sela-sela mereka menyendok makanannya kedua bibir mereka tertarik dan tersenyum padaku dengan penuh cinta. Hal kecil apapun yang mereka lakukan untukku, sungguh membuat diri ini tak ingin kehilangannya.
Akhirnya aku lega, makanan yang susah payah kumasak terbayarkan juga dengan lahapnya si kembar menghabiskannya. Karena biasanya juga aku yang bantu mengosongkan piring.
Aku memencet tombol dan mencari film yang disukai Andin dan Andita. Aku senang karena mereka bisa lalai di depan televisi artinya mereka tidak akan menanyakan kapan papanya pulang untuk beberapa saat.
“Sayang, mama tinggal sebentar, ya? Sepertinya ponsel Mama berdering.” Aku mendengar suara ponsel dari dapur karena tadi kelupaan membawanya akhirnya tinggal.
Aku langsung melangkah ke arah dapur. Sesampainya ke sana, aku menyalakan handphone dan anehnya tidak menandakan bunyi apa-apa. Lantas aku berbalik badan dan perlahan keluar.
Belum jauh aku melangkah, tiba-tiba kran air terbuka dan mengeluarkan cairan merah saat mataku tertuju ke wastafel—tempat biasa aku mencuci piring ketika selesai makan. Astaga, aku lebih kaget saat air yang menyerupai darah berubah menjadi putih seperti biasa.
Kemudian aku mencoba memeriksa ke seluruh sudut ruangan akan tetapi aku tidak dapat menemukan tanda apa-apa. Akhirnya kuberanikan diri membuka pintu belakang rumah.
Kira-kira pintunya baru terbuka beberapa centimeter, hawa dingin nyaris membekukan aliran darah dalam tubuhku. Meski demikian, aku tetap ingin mencari tahu lebih banyak tentang keanehan-keanehan yang terjadi di rumah ini. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh halaman belakang, lalu aku menutup pintu dan melangkah menghampiri si kembar.
Aku kembali menemani dua putri ku. Sesekali memeluk dan menggelitiki mereka berdua dan tetap saja terkekeh bukan main. Tak lama kemudian, aku melihat mata mereka yang begitu berat untuk memaksakan menonton. Akhirnya kutuntun si kembar ke kamar dan menemani mereka tidur.
“Ma, Papa belum pulang juga, ya?” tanya Andita lirih. Terlihat gadis kecil itu dari matanya yang begitu lelah menunggu.
“ Nggak, kok, Sayang. Paling sebentar lagi Papa juga pulang,” jawabku memberi pengertian pada Andita.
“Kok, Papa lembur terus, ya, Ma?” timpal Andin menatap ke arah ku. Gadis kecil itu juga berlaku manja padaku.
“Daripada capek nungguin Papa pulang, mendingan kalian dengerin dongeng peri cantik, gimana? tawarku berharap kedua putri kembar ku segera terlelap.
Tak lama aku membacakan mereka dongeng, lalu mereka tertidur dengan nyenyak.
“Semoga mimpi indah, Sayang.”
“Selamat malam.”
Beberapa menit berlalu, aku balik lagi ke ruang TV dan duduk sejenak menunggu Beni pulang. Astaga! Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat sekarang.
“MAYA”
Aku terpaku pada dinding bertuliskan nama seorang perempuan. Iya, sepertinya memang nama hantu perempuan itu Maya. Bibirku mendadak susah digerakkan. Samar-samar kulihat bayangan putih mengambang di atas kepalaku dengan tawanya yang melengking.
Aku juga semakin bingung dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya di rumah ini? Mengapa hantu perempuan itu terus mengganggu dan kerap kali menampakkan dirinya padaku. Dan yang tidak bisa aku tolerir, sosoknya mendekati kedua putriku.
Syukurlah, akhirnya ia menghilang juga saat deru mesin mobil mendekat ke arah rumah ini. Aku menyibak sedikit tirai jendela, ternyata Beni sudah pulang. Seketika pikiran ini terasa mengganggu berubah menjadi lega.
“Sayang, kok, kamu belum tidur?” tanya Beni begitu aku membuka pintu untuknya.
“Iya, Sayang. Aku belum ngantuk, lagian aku juga mau nunggu kamu pulang,” jawabku seadanya.
“Maaf banget, ya, Sayang. Tadi aku lagi ada rapat juga di kantor bersama dengan Pak Handoko yang nawarin rumah ini pada kita. Aku harus mengikutinya sampai selesai dulu, Sayang. Kamu nggak apa-apa kan?” jelas Beni panjang lebar sembari merangkul aku.
Aku segera menuntunnya ke kamar karena tidak ingin Beni melihat tulisan aneh tadi di dinding. Mungkin sebelum ia tahu aku harus segera menghapusnya. Usahaku berhasil membawa suamiku masuk ke kamar. Dan aku pura-pura keluar sebentar dengan alasan mengambil air putih untuknya.
Dengan cepat kuhilangkan tulisan mengerikan itu dengan membasahi kain lap. Pikiran ini sebenarnya masih berkecamuk dan gelisah tapi aku mencoba untuk tetap tenang. Sama sekali tidak ingin membuat suami dan kedua putri kembar ku kesusahan.
Biar aku saja yang mengalami ini semua karena aku yakin akan terbiasa dengan berbagai macam keanehan di rumah ini.
Bersambung ....Makasih semua yang sudah baca cerita ini. Jangan lupa vote dan follow ya teman-teman
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Batin Adinda [Tamat]
TerrorAdinda yang menginginkan kebahagiaan dan ketenangan dalam keluarganya harus merasakan keanehan dan gangguan mahluk gaib. Semenjak kepindahan dirinya beserta keluarga ke rumah yang baru saja dibeli oleh Beni--suaminya, dua anak perempuannya, Andin da...