Sosok Maya

60 7 0
                                    

Satu bulan tanpa terasa, aku dan keluarga kecil ku telah menempati rumah ini dengan berbagai macam pengalaman dan kenangan tentunya. Seperti saat Andin selalu mencariku hanya karena ingin dirapikan rambut panjangnya. Bahkan hampir setiap jam iya memintaku untuk memasang bando yang bergeser karena aktif selalu gerakannya. Aku juga mengingat saat Andita berlarian sendiri di tengah siang bolong. Begitu juga kala Beni memelukku erat di depan teras saat wajahku sedang cemberut. Ah, semua kenangan indah itu telah tercipta semenjak kami tinggal di rumah ini.

Di balik kenangan indah tentu saja menyertakan kenangan buruk selayaknya sebuah mimpi yang pemiliknya tak pernah bisa bangun bahkan saat ia mencoba untuk kesekian kali. Isak tangis sosok perempuan bermata sendu masih jelas menggema dalam rongga telinga ini seolah selalu terdengar saat dalam sunyi senyap malam yang dingin.

Wajah cantik dan seringai menakutkan masih membayangi dalam benakku hingga detik ini. Iya, aku hampir lupa dengan teror berdarah yang ia perlihatkan padaku. Mungkin untuk yang satu ini masih belum bisa kupecahkan dengan segala misteri di baliknya.

Terlebih saat Maya mengajak Andin dan Andita bermain di halaman pada waktu magrib. Itu lah mengapa aku ingin mencari tahu ada apa sebenarnya? Pesan apa yang ingin disampaikan padaku oleh si pemilik kaki mengambang itu? Kala mengingatnya perlahan bulu kudukku meremang dengan sendirinya. Tentu saja, aku masih mempunyai sisi ketakutan dalam diri meski punya mata batin.

Akan tetapi terlepas dari kenangan indah maupun kenangan buruk, aku tetap menghargainya. Bukankah di balik cobaan akan ada hikmahnya? Iya, semoga aku bisa mendapatkan hal yang sama.

“Ma ... Ma, Andin mau ketemu Tante Maya,” celetuk Andin nyaris buat aku membulatkan mata seketika.

“Sayang, Tante Maya lagi sibuk. Nggak mungkin bisa kita temui.” Aku merespon baik meski harus berbohong pada putri kecil ku. Karena bagaimana mungkin ia bisa bertemu dengan orang yang sudah mati.

“Tapi, Ma! Andin pingin main lari-larian sama Tante Maya. Emangnya, Mama tahu rumah Tante Maya di mana?” tanya Andin mulai merengek padaku dengan nada agak sedikit meninggi.

“Dengerin Mama, Andita! Mama bilang nggak, ya, nggak!” Astaga, akhirnya emosiku tersulut saking tidak bisa kutururi permintaan putriku.

“Mama jahat!” balas Andita sembari menahan tangisnya.

“Maafin Mama, ya, Sayang. Maksud Mama bukan gitu, Sayang.” Aku akhirnya memeluk Andita dan berucap maaf karena telah membentak seperti tadi.

“Mama janji, ya, kita nanti kapan-kapan main ke tempat Tante Maya,” lanjut Andita dengan tatapan polosnya padaku.

“Iya, Sayang. Mama nanti akan ajak kamu ketemu Tante Maya. Sekarang jangan nangis lagi, dong, Sayang. Nanti cantiknya putri Mama ilang lho.” Aku akhirnya mengiyakan bahwa suatu saat Andin bisa ketemu Maya. Entah itu bisa terjadi atau tidak.

“Oh, iya, Sayang. Kok, dari tadi Mama nggak lihat Adikmu—Andita sama Papa? Ke mana mereka, ya, Sayang?” tanyaku penasaran akan keberadaan suami dan putri ku.

“Tadi, Andita dibawa jala sama Papa, Ma. Katanya, mau beliin es krim buat kita,” jawab Andin semangat dan mendadak air bening di sudut matanya menghilang tanpa jejak.

“Kok, kamu nggak ikut sama mereka, Sayang?” tanyaku lagi.

“Kata Papa, Andin disuruh jagain Mama karena sendirian di rumah,” timpal gadi sekecil itu tersenyum.

“Eh, kayaknya, itu di luar—Papa sama Andita udah pulang, deh.” Aku mendengar deru mesin mobil dari luar. Dan bisa kupastikan Beni dan Andita di sana.

Akhirnya, kugait tangan Andin menuju arah pintu depan dan membuka pintu. Terlihat kebersamaan Papa dan putrinya begitu indah seolah tidak ingin terlewatkan. Senyum tipis antara mereka yang mengarah padaku dan Andin terasa hingga menyejukkan hati. Langkah Beni mengiringi langkah kecilnya Andita. Ah, sungguh pemandangan menganggukkan mata yang melihatnya.

“Kak Andin, ini es krim buat Kakak!”seru Andita yang mengulas senyum khasnya pada sang Kakak di hadapannya.

“Makasih, Adikku tersayang.” Jawab Andin sembari meraih tangan dan menggenggam erat es krim itu di tangannya.

“Sayang, aku juga punya es krim buat kamu, lho?” ucap Beni tersenyum menggoda padaku.

“Oh, ya, Sayang. Mana coba?” Aku membalas ikut menggoda lelakiku di hadapan kedua putri kembar kami.

“Cie ... Mama, Papa.” Senyum hangat serta ledekan si kembar ikut membuatku malu. Iya, mungkin itu wajar karena ketika aku kena rayuan beni seringkali menjadi malu sendiri.

***

Begitu banyak cerita kebahagiaan siang hari ini yang mewarnai hari-hari ku. Aku masih terpaku di depan meja makan karena baru saja kami menikmati makan malam bersama keluarga kecil ku. Detik demi detik terlewatkan, bahkan tanpa terasa kedua putri ku telah memasuki kamar untuk tidur.

Satu persatu piring kotor kuangkat lalu kucuci hingga semua piring, gelas, sendok tersusun rapi di rak. Saat hendak kututup keran air di wastafel, aku mencari kain lap dengan melangkah ke sebelah wastafel hingga keran air yang awalnya sudah tertutup kini terbuka sendiri. Sontak, aku kaget bukan main. Kulirik ke kiri dan ke kanan tapi, tidak ada siapa-siapa di ruang dapur.

Beberapa menit aku masih mematung, lantas kupalingkan wajah ke sisi jendela terlihat sosok terusan putih dengan rambut terurai berdiri membelakangiku. Perlahan kepalanya menoleh padaku dengan seringai yang sama seperti waktu aku melihatnya. Waktu itu, Andin dan Andita sedang bermain dan mengobrol dengannya sosoknya.

Aku mencoba untuk mendekati sosok mahluk itu. Saat langkahku mencapai tujuan kemudian dengan secepat kilat sosok perempuan itu menghilang tanpa jejak seperti menyelusup jauh ke dimensi lain.

Akhirnya, aku menutup pintu dapur dan beranjak menuju kamarku sendiri. Ketika ku berjalan, lagi-lagi suara isak tangis terdengar begitu menyayat hati. Seolah kegelapan yang memilukan menyelimutinya. Lantas kulanjut melangkah maju dan kedengarannya semakin tinggi dan terasa dekat dengan posisiku berdiri.

Akhirnya kini, langkahku sudah berada di depan pintu kamar. Kebetulan pintu sedikit terbuka, dengan begitu aku langsung bisa melihat seluruh isi kamar. Sosok perempuan cantik bermata sendu dengan seringai penuh dendam sedang berdiri di balik punggung suamiku. Tangisnya semakin sesegukan bagaikan hatinya yang sedang teriris begitu sakitnya.

Kakiku mulai bergetar bahkan kini seluruh tubuh ini serasa kaku saat ingin kugerakkan bagai tertahan di tempat. Mulut yang ingin kukeluarkan suara kini bungkam secara otomatis tanpa tahu penyebabnya. Seperti biasa beberapa saat aku mematung hingga sosok itu langsung lenyap ketika Beni bergerak mengganti posisinya.

“Sayang, sayang!” Aku memekik memanggil Beni dan mengguncangkan bahunya agar segera bangun.

“Sayang, kok, kamu pucat gitu mukanya? Tangan kami juga bergetar dan dingin banget.” Beni segera memelukku karena saking mencemaskan keadaan aku yang tiba-tiba berubah pucat dan kaku.


Bersambung ....






Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang