Menghibur Buah Hati

62 9 1
                                    

"Andin, Andita, Sayang? Sebagai permintaan maaf, papa mau ajak kalian jalan-jalan ke kebun binatang," ucap Beni lembut pada mereka. Aku lega, karena Beni mau memahami dua putrinya.

"Beneran, Pa? Asik ...," tanya Andin masih ragu dengan ajakan papanya barusan.

"Andita nanti mau main kejar-kejaran sama binatang-binatang yang lucu banget di sana. Boleh kan, Pa?" rengek Andita terlihat jelas di mata polosnya.

Aku bahagia melihat mereka bisa dekat dengan papanya sekarang. Tangan kokoh Beni perlahan memeluk kedua putri kami dengan hangat. Sedang aku mendekat sesaat setelah momen itu berlangsung.

"Mama ikut juga kan, Pa?" celetuk Andita berikutnya dengan memperlihatkan sederatan gigi yang berwarna putih sebagian karena sebagian lagi cokelat.

"Iya, dong, Sayang. Nanti kalo mama nggak ikut siapa dong yang jagain kalian. Pasti Papa kewalahan, bener kan, Sayang?" Aku menjawab sembari melirik ke arah Beni. Benar saja, suamiku meresponnya dengan ikut tersenyum padaku.

Usai menemani si kembar tidur, lalu aku dan Beni beranjak ke luar menuju arah ke kamar. Karena merasa kering di tenggorokan, aku menyuruh Beni duluan masuk ke kamar karena aku perlu mengambil air putih untuk menghilangkan rasa haus.

Tak berapa lama aku sampai juga di dapur dan sorot mataku entah kenapa spontan tertuju ke pintu belakang. Semilir angin menyambar wajah dan rambutku sehingga tersibak sesaat dan aku merasakan sepertinya hawa aneh kembali menyapa. Terdengar bisikan-bisikan yang membuat telinga ini terasa pekak. Namun, aku tetap fokus dengan tujuanku ke sini, kubuka lemari pendingin dan mengambil botol air mineral yang sudah kuisi sebelumnya dan sedikit makanan ringan yang masih tersisa untuk kubawa ke kamar. Beni sangat menyukai makanan ringan, suamiku biasanya menguntah sebelum tidur.

Sesaat kakiku bergerak melangkah, tiba-tiba seoerti ada bayangan putih di belakangku. Wangi melati menguar ke seluruh ruangan dan kali ini sosok putih itu berdiri menyamai langkahku. Perlahan ia tersenyum padaku dan mata sendunya membulat serta menghitam. Aku diam tanpa kata, seolah tak ingin ikut menganggunya dari pada putriku kembali kena akibatnya.

Anehnya, ketika kakiku melangkah dan sosok itu juga ikut melangkah hingga suara panggilan namaku terdengar dari kamar. Mungkin Beni yang memanggilku karena lama belum masuk ke kamar sedang ia menunggu di sana.

"Dinda! Sayang, kamu di mana?"

Astaga! Beni benar-benar memanggilku dari kamar. Tanpa berpikir lama, tanpa menoleh ke samping, aku berhegas masuk dke kamar. Aku mematung ketika sesuatu bayangan hitam berdiri di belakang suamiku. Mataku seolah membulat dan mulutku seperti membuka sendiri. Aku terkejut bukan main ketika bayangan hitam itu berdiri begitu lama di sana. Tapi, suamiki sama sekali tidak menyadarinya.

"Dinda, kamu kenapa kaget gitu, Sayang? Ada apa, sih, di belakangku?" tanya Beni penasaran.

"Emm ... Nggak ada apa-apa, kok, Sayang. Oh, iya, nih aku bawa makanan ringan buat kamu." Aku menjawab serta menyangkalnya sembari menyodorkan camilan buat Beni.

Benar saja, lepas kejadian itu, aku segera mengajak Beni untuk tidur cepat tanpa canda tawa lagi seperti malam-malam sebelumnya yang menjadi kebiasaan kami berdua.

Esok pagi, usai sarapan, aku dan sekeluarga bersiap-siap pergi ke kebun binatang seperti yang sudah dijanjikan oleh suamiku pada dua putri kami. Mereka berdua begitu bahagia jelas terlihat dari raut wajahnya.

Semua barang yang kubutuhkan telah masuk dalam mobil begitu juga Andin dan Andita telah berada di dalam mobil.

"Ma, kok, papa lama banget? Kami udah nungguin nih mau cepat-cepat sampai ke kebun binatangnya, Mama," ucap Adin melirih ke arahku yang tengan sibuk menyusun barang kecil dalam mobil.

"Sabar, Sayang. Mungkin papa agak lama siapnya. Oh, itu Papa udah dekat ke sini." Aku akhirnya melihat Beni berjalan mendekati mobil.

"Oke! Mari berangkat ...."

Rasa bahagia terus menyelimuti hati ini kala melihat kedua putriku saling melempar tawa. Sesekali ia mengusap pucuk kepala Andin dan juga Andita. Kami hampir satu jam berada di mobil dan tak berapa lama terlihat gerbang menuju ke kebun binatang yang sudah sangat dikenal di Kota Bogor ini.

Begitu mobil kami memasuki area hamparan luas terlihat  kawanan gajah melintas di taman yang sebagiannya terdapat telaga kecil dan tumbuhan sedang menghijau di sekitarnya.

Kemudian di sepanjang jalan itu juga terlihat beragam binatang lainnya seperti jerapah, zebra, rusa dan binatang lainnya.

Sewaktu beberapa jenit sebelum sampai di taman,  aku juga membeli beberapa buah-buahan sebagai makanan binatang-binatang tersebut. Benar saja begitu mobil berhenti Andin sangat antusias memberi makan monyet yang berkeliaran, ia melempar beberapa pisang sembari tertawa riang menatap aku dan Beni.

Sedang Andita suka sekali mengajakku untuk melihat kerumunan zebra dan jerapah. Entah, katanya mereka lucu dan warnanya hampir sama.

"Ma, Andita senang banget bisa main bareng zerapah di sini. Mama lihat kan, tadi mereka langsung mau makan waktu Andita ngasih

"Pa, ayo kita ke sana!" Sepertinya Andin sangat antusias mengajak papanya ke arah binatang kecil yang sedang berenang di telaga.

Beberapa menit kemudian, Andin juga menarik tanganku berjalan-jalan kecil di taman itu. Terlihat beberapa keluarga juga datang dan memberi makan binatang-binatang yang ia jumpai di sana.

Ketika aku sedang asik bermain dan tertawa dengan Andin dan Andita lalu kedua tangan mereka memelukku erat dan menciumi kedua pipiku. Entah kenapa aku merasa tatapan Beni tiba-tiba menjadi aneh ketika si kembar menciumi kedua pipiku dan memelukku erat. Aku kali ini mengira bahwa ia saat ini memang  bersikap pura-pura baik pada Andin dan Andita hanya karena  kejadian kemarin yang menimpa Andin.

Kedua bola mata Beni tampak sangat berbeda seolah aku melihat pribadi lain di sana. Ada apa sebenarnya dengan suamiku? Pertanyaan yang sama lagi-lagi menguasai benakku. Bahkan untuk beberapa saat langkah ia tak bergerak untu menghampiri kami di sini melainkan ia mematung bersama sederet pohon di sekitarnya.

Aneh! Kenapa bayangan hitam terus menempel di belakang Beni? Apa karena itu ia bersikap aneh? Sungguh begitu banyak pertanyaan mencoba memastikan pemikiranku pada suamiku sendiri. Seakan hati ini menolak untuk percaya dan meyakininya.

Harusnya di momen seperti ini Beni tidak mengabaikan kedua putri kami. Tuhan, beri pentunjuk untukku. Rasanya hati ini terus menolak untuk memgikuti jalan pikiran burukku. Semoga saja yang buruk-buruk terhidar dari keluarga kami.

Hari semakin gelap, tak terasa beberapa jam telah kami lewati bersama. Iya, mesiki kadang hati menolak mempercayai keanehan dan keanehan yang terjadi. Sunggu hari ini adalah hari penuh kebahagiaan juga juga kekecewaan datang bersamaan.

Yang pasti aku bersyukur karena masih bisa melihat senyum ceria di wajah kedua putri kembar ku. Meski sang papa acuh tak acuh. Namun setidaknya ia berbagi senyumnya dengan kami walau mungkin itu sangat terpaksa ia lakukan. Atau semua itu hanya kegalauan semata yang menguasai hatiku.

Bersambung ....

Terima kasih teman-teman yang sudah bersedia membaca kisah Adinda dan si kembar. Semoga suka ya. Jangan lupa vote dan follow ya. Makasih 😍😍

Follow aku di Ig juga
zika.amell

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang