Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.
Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.
Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.
Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.
Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.
Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.
Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhentikan ketika buliran bening berjatuhan dari ujung mata.
Lembaran berita kematian dirinya tak beringsut sedikitpun dari dua bola mataku yang masih dikuasai kebencian. Aku masih ingin melihat melihat penderitaannya meskipun kini iblis itu sudah tidak bernyawa.
Mata batinku masih terus membayagi dan menghantui ingatan ketika si iblis itu diam-diam menaruh sesuatu ke dalam minumanku hanya karena ia tidak ingin aku menyadari saat ia melakukan pembunuhan yang kejam itu. Raut wajah beringas seperti kriminal yang siap menghabisi nyawa korbannya terlihat jelas. Dengan kasar iblis itu membuang botol obat tidur di bawah kolong lemari dapur demi menutupi niat busuknya itu.
Aku sama sekali tidak menyangka Beni yang begitu kucintai tega membunuh anaknya sendiri. Namun, aku tidak boleh terlalu larut dalam kebaikan manusia seberengsek Beni.
Hari ini, kuputuskan untuk melaporkan bahwa pembunuh di balik kematian Andin dan Andita sudah ketahuan. Dan pelakunya itu bukanlah orang lain melainkan seseorang yang mereka sayangi sepenuh jiwanya.
Berat ternyata untuk menyebutkan nama manusia berhati iblis itu.
Rasanya ketika mengingat namanya saja seluruh jiwa ragaku berapi saking murkanya.
Sesaat aku termenung seorang diri, tiba-tiba semilir angin begitu sejuk menerpa badan. Ini, ini, wewangian yang sangat kukenal perlahan seperti menyeruak mengharumkan seluruh kamar mungkin juga seluruh ruangan rumah Nadia.
Meski setiap kali aku merasakan bulu kudung meremang akan tetapi kali ini terasa berbeda karena sosoknya telah berubah menjelma menjadi wanita berparas ayu nan jelita.
Beberapa detik aku merasakan kehangatan duduk di sampingnya, sempat heran juga kenapa suhu tubuhnya hantu tidak sedingin biasanya. Apa mungkin ini pengaruh energi tubuhku yang masih dalam pengendalian mata batin.
Sedetik kemudian aku mulai membuka interaksi dengan Maya.
"Bisa kah kamu menunjukkan aku di mana keluargamu, Maya?"
"Aku ingin memberitahukan orang tuamu tentang sebuah kebenaran yang mungkin akan mengejutkan mereka ketika mendengarnya."
"Baiklah, jika memang ini jalan terbaik agar ibu dan bapak bisa tenang dan nggak kehilangan akal memimikirkan anak gadis satu-satunya.
"Oh, iya, aku juga mau minta beberapa barang pribadi milik kamu sebagai bahan untuk dilakukan tes DNA terhadap si berengsek itu."
"Terima kasih, Adinda karena sudah membantu aku menemukan kebenaran dan semoga kamu bisa tetap melanjutkan hidup dan mungkin suatu saat bisa menemukan kebahagiaan lagi."
Percakapanku dengan Maya terhenti ketika bunyi ketokan pintu dari luar oleh Nadia. Dan gadis hantu pun menghilangkan dirinya dari kamarku beserta wangi melati yang menyengat.
"Mbak Adinda, aku boleh tidur di samping Mbak, nggak, malam ini? Soalnya entah kenapa perasaan tiba-tiba cemas dan rasanya takut gitu. Boleh, ya, Mbak?" Nadia meminta dengan tatapan matanya yang serius padaku.
"Boleh, boleh tapi dengan satu syarat," lanjutku.
"Apa, Mbakku sayang? Iya, iya, apapun syaratnya aku mau asalkan bisa tidur di sini ..." Nadia kelihatannya pasrah akan perkataanku selanjutnya.
"Mbak mau ke suatu tempat besok. Pokoknya kamu mau nggak mau harus temani Mbak, oke?" Aku membalas ucapannya tegas dengan permintaanku.
Akhirnya malam sunyi ini sedikit bercahaya karena senyuman ceria dari gadis cantik Nadia.
***
Setelah berkutat dengan kemacetan di jalan, akhirnya tiba juga kami di alamat tempat tinggal orang tua Maya. Saat kami mengetuk pintu dan langsung dibuka oleh seorang perempuan setengah baya yang memiliki wajah mirip dengan anak gadisnya.
Awalnya mereka tak percaya ketika aku memberitahu kebenaran tentang putrinya tapi setelah beberapa jam aku dan Nadia menunggu dan membujuknya. Akan tetapi kami tidak mendapatkan sambutan baik dari sang ibu. Sampai akhirnya aku mencoba untuk mempertemukan perempuan setengah baya itu dengan ibunya.
"Nak, apa kamu di sini?" tanya ibunya Maya dengan mimik wajah penuh harap. Sepertinya hingga detik ini mereka belum bisa melupakan kehilangan terhadap Maya.
"Iya ... Buk. Maya berada di sini untuk melihat ibu dan bapak. Maya sangat ingin kalian mengetahui kebenaran ketiadaan Maya di dunia ini. Dunia kejam pada Maya, Buk. Bahkan sahabat terbaik Maya tega menghancurkan kehidupan maya. Maya diperkosa oleh Beni, Buk. Tolong relakan Maya, Buk. Maya akan tetap menunggu ibu di surga, ya, jangan menangis lagi, Buk." Aku nyaris meneteskan buliran bening dari ujung mata ketika memndengar ucapan Maya yang memilukan itu.
Aku tahu, meskipun saat ini ibunya Maya tak bisa melihat sosoknya tapi, setidaknya ia masih mampu memggerakkan benda kecil yang ada di depan ibunya demi agar sang ibu mengetahui keberadaan dirinya.
Akhirnya setelah semua terungkap, kedua orang tua Maya mengikhlaskan kepergian putri kesayangannya kembali tenang di alamnya.
Dan aku pun diizinkan untuk memasuki kamar Maya yang sudah usang dimakan waktu. Hanya tersisa beberapa barang pribadinya saja seperti sisir rambut, serta bahan-bahan riasan wajahnya sewaktu ia gadis dulu.
Aku lalu mengambil sisirnya yang kebetulan masih menyisakan anak rambut gadis itu. Ternyata ibunya tidak ingin menghilangkan kenangan sedikitpun tentang putri kesayangannya. Begitu dijaga dan dirawat oleh sang malaikat tanpa sayap tersebut.
Kini kedua alat bukti telah kumiliki. Lantas kami bergegas menuju kantor polisi kembali demi mengakhiri kasus pembunuhan yang kejam yang pernah kualami di dunia ini.
Tak berapa lama, semua laporan telah diterima oleh pihak polisi. Dan setelah menunggu dalam jangka waktu yang lumayan lama, akhirnya aku bisa membuktikan bahwa Beni--suamikulah yang menjadi tersangka sesunggguhnya kasus pembunuhan ini. Lelaki itu pun sudah menemui ajalnya dan semua keterkaitan antara aku dan Beni dinyatakan bebas. Kemudian aku dan Nadia menghadiri acara pemakan Maya secara layak oleh pihak keluarga. Karena sebelumnya telah digali oleh warga daerah tempat tinggalku yaitu di bawah pohon yang selama ini orangcanggap angker.
Kenyataanpun terpecahkan, sehingga warga tidak pernah lagi menyebutnya pohon angker.
Tepat di pemakaman Maya, terlihat oleh mata batinku gadis berparas ayu nan jelita serta dua gadis kecil kesayanganku Andin dan Andita. Mereka tersenyum begitu menyejukkan jiwa raga dalam diriku.
Seperti sebelumnya, mereka saling bergandengan tangan dan berjalan hingga jauh dalam cahaya putih yang menyilaukan mata.
Harapan terbesarku semoga mereka bisa berbahagia di surga dan tetap setia menunggu kedatangan Namanya yang hampir mati merindukannya.
Karena perpisahan itu adalah akhir segalanya kecuali cukup amal baik yang kalian bawa untuk berharap bisa bertemu dengan orang-orang tercinta.
Selesai.
Akhirnya... Selesai juga cerita ini, yeiii
Sampai jumpa di cerita baru selanjutnya ya guys 🤗🤗🤗See you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Batin Adinda [Tamat]
TerrorAdinda yang menginginkan kebahagiaan dan ketenangan dalam keluarganya harus merasakan keanehan dan gangguan mahluk gaib. Semenjak kepindahan dirinya beserta keluarga ke rumah yang baru saja dibeli oleh Beni--suaminya, dua anak perempuannya, Andin da...