Darah Siapa Ini?

71 6 0
                                    

Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.

Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.

Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan  barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.

Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.

Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan si kembar saling melemparkan tawa ketika menonton acara kesayangannya.

Sembari menunggu suami pulang, aku juga duduk santai menemani Andin juga Andita. Karena sekarang mereka sering erat dengan papanya dari pada dengan aku--mamanya. Mungkin mereka merasa nayaman berada di dekat Beni terlebih saat ia mengerahkan semua energi untuk terus menjadi seorang papa hebat untuk mereka.

"Mama! Kak Andin nggak mau matiin televisi, Ma." Tiba Andita mengelendot padaku sembari memutar-mutar bola matanya yang bersinar terang itu.

"Lho, kenapa emangnya, Sayang? Kan ada Mama juga di sini mau nonton bareng kalian.

"Andita mau ditemani Kak Andin main lari-larian di halaman depan, Ma!" Lagi-lagi gadis kecil ini merengek sembari menempatkan dagunya di atas pangkuanku.

"Iya, Sayang. Ya, udah kalo Kak Andin nggak mau temenin biar Mama aja yang main lari-larian bareng kamu, ya?" Aku tersenyum lebar menatap dua bola mata Andita dan ia pun ikut mengulas senyum paling manis untukku.

Beberapa menit berikutnya, Andita langsung keluar dan berlari mengelilingi pekarangan rumah dan aku pun mengejarnya hingga sendiku terasa nyeri mungkin karena berusaha berlari cepat mengejarnya.

"Mama ... Ayo tangkap Andita, Ma!" seru si gadis kecil yang tingkah manjanya bukan main.

"Andita! Tunggu, Sayang ... Mama nggak kuat ngejarnya." Aku berhenti sejenak karena rasanya kelelahan mengejar gadis kecil itu yang tidak jauh dari depan aku berdiri.

"Ma, tenang aja, biar Andin yang ngejar Andita." ucap Andin yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.

"Oke, Sayang. Ingat jangan lari jauh-jauh, ya, Sayang. Atau kalau nggak udahan larinya karena Mama nggak mau kalian berlari ke arah pohon halaman belakang." Aku kali ini harus mengingatkan mereka agar tidak mengarah ke sana bermainnya.

Saat aku beranjak ke teras, mataku tak berhenti menatap kedua putri kecil ku yang sedang bersenang-senang di halaman. Kekompakan mereka selalu membuat diri ini iri. Apalagi saat aku melihat Andin begitu menyayangi Adiknya--Andita.

Tak bisa dibayangkan betapa bahagianya aku bisa menjaga dan melindungi mereka dari bahaya. Tak tahu mengapa mengingat kata bahaya, tiba-tiba saja itu mengingatkanku pada pesan kertas teror itu.  Perlahan pikiranku mulai bertanya-tanya mengapa harus keluargaku dan mengapa harus aku yang menemukan pesan misterius itu.

Dengan susah payah aku kembali berlari menghampiri ke dua putriku dan mengajak mereka segera masuk ke dalam rumah. Pun setelahnya aku mulai berkeliling ke seluruh ruangan untu menutup semua jendela lalu menguncinya. Aku harap Beni segera pulang dan itu aku merasa aman ketika suamiku berada di rumah.

"Mama, kenapa gelisah gitu? Mama takut sama siapa dan kenapa semua jendela ditutup, Ma?" tanya Andin karena gadis itu menatapku penuh keheranan. Mungkin ia sekadar ingin tahu apa artinya semua ini.

Gusar dan panik bercampur menjadi satu. Kulirik dari celah jendela rupanya gerimis mulai menitik dan membasahi setiap dinding di luar serta kaca yang bening menjadi berembun karena tetesan air langit itu.

Ternyata begitu cepat malam menyapa kami. Benar saja  terlihat si kembar memeluk kedua lenganku erat. Sementara aku masih terduduk di sofa di tengah-tengah ruangan. Astaga! aku melihatnya lagi, sosok yang sama pada waktu yang mungkin sudah tak terhitung lagi. Bisa jadi aku sudah sangat teramat biasa dengan pemandangan buruk ini. Tapi kali ini bukan itu yang ingin kubahas melainkan kan ada keanehan yang tidak biasa tergambar dari pemilik mata sendu itu.

Kedua sudut bibir pucatnya seakan mengucap bahasa isyarat. Aku menebaknya itu adalah ucapan "bahaya" yang keluar dari mulut penuh darah itu. Entah apa artinya itu semua. Sekali lagi, aku cukup terganggu dengan kehadirannya malam ini.

Sesaat kemudian terdengar suara mobil dari pintu luar. Beni pulang dan aku segera membuka pintu. Sedang Andin dan Andita masih mengekori kemanapun langkahku bergerak membawanya.

Ketika pintu terbuka, dua bola mata Beni langsung menatap lekat ke wajah si kembar. Entah, aku seperti menangkap aura gelap di sekitarnya. Namun, aku mencoba berpikir positif karena wajar di malam gerimis banyak hal mengganggu pikiran seseorang. Mungkin juga ia diganggu oleh hal gaib.

Beda. Beni sungguh berbeda malam ini dengan sikapnya yang mengacuhkan ke dua putri kembar kami.

Akhirya setelah makan malam aku pun menuntun si kembar masuk ke kamarnya berhubung cuaca di luar sangat dingin. Aku segera menyelimuti tubuh mereka di tempat tidurnya. Beberapa saat kemudia mereka tertidur dalam pekatnya malam.

Pun aku usai membereskan semua piring kotor, aku melangkah menuju kamar dan di sana terlihat Beni baru saja mau tidur. Kemudian perlahan aku membaringkan tubuhku di sebelah suamiku dengan memeluk hangat punggungnya. Entah, aku saat ini tidak ingin bertanya ada hal apa yang sedang menimpanya karena yang kutahu ia kelelahan dari pekerjaannya.

Beberapa jam berlalu saat aku menutup mata hingga aku terbangun karena merasakan kekeringan yang mendera di tenggorokan. Dalam ruangan dengan cahaya kecil, aku melangkah pelan bermaksud ingin minum segelas air putih.

Saat langkahku mulai berjalan, tiba-tiba kakiku menginjak sesuatu yang begitu lenketnya seolah menempel kuat di lantai. Lantas aku memeriksa telapak kakiku dan sontak jantungku serasa mau copot, aku melihat bercak darah yang begitu kental melumuri seluruh telapak kakiku. Astaga! aku mulai takut dan panik kenapa bisa ada darah di sini?

Tunggu! Ini, kan, mengarah ke kamarnya si kembar? Aku harus memeriksanya segera. Sebelumnya aku harus menyalakan lampu terlebih dahulu agar keadaan menjadi lebih terkendali. Sepersekian detik mulutku bagai dibungkam kuat, aku tak luasa berkata hingga aku melihat cairan merah mengental itu mengalir deras dari arah kamar si kembar. Tanpa pikir panjang, dengan tersengal-sengal aku belari ke kamar mereka.

Deg!

Sendi-sendi ini mendadak melemahkan seluaruh kekuatanku.

Tuhan! Apa aku sedang bermimpi?

Bersambung .....

Mata Batin Adinda [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang